Oleh Imaam Yakhsyallah Mansur
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَهَبْ لِيْ مُلْكًا لَّا يَنْۢبَغِيْ لِاَحَدٍ مِّنْۢ بَعْدِيْۚ اِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ ٣٥(النمل [٢٧]: ٣٥)
Baca Juga: Ekopedagogi Islam, Belajar dari Alam yang Tergenang
“Dia (Sulaiman) berkata, “Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak patut (dimiliki) oleh seorang pun sesudahku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi.” (QS. An-Naml [27]: 35)
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan, bahwa doa Nabi Sulaiman Alaihis salam pada ayat di atas menunjukkan keseimbangan antara permohonan ampunan dan permintaan kekuasaan. Ia tidak sekadar ingin memiliki kerajaan, tetapi terlebih dahulu menyadari pentingnya pengampunan dan kebersihan hati.
Kata وَهَبْ لِي مُلْكًا (anugerahkanlah kepadaku kerajaan) menekankan bahwa setiap keberhasilan, kedudukan, dan kekuasaan adalah anugerah Ilahi, bukan hasil semata kemampuan manusia. Nabi Sulaiman Alaihis salam memahami bahwa tanpa ridha Allah, sebuah kerajaan sebesar apapun tidak akan membawa manfaat bagi dirinya dan orang lain.
Sementara Prof. Yusuf Al-Qaradawi menyoroti aspek etika kepemimpinan dalam doa Nabi Sulaiman Alaihis salam di atas, bahwa kekuasaan harus diiringi tanggung jawab moral dan spiritual. Beliau tidak memohon kerajaan untuk kesenangan pribadi, tetapi untuk tanggung jawab yang luar biasa, memimpin manusia, jin, hewan, angin dan lainnya.
Baca Juga: Nabi Daud Alaihi Salam, Utusan Allah dan Raja Muslim
Dalam perspektif tasawuf, ayat ini menekankan keseimbangan antara dunia dan akhirat. Para sufi menjelaskan bahwa permohonan ampunan sebelum meminta kekuasaan adalah simbol kesucian hati.
Imam Al-Ghazali Rahimahullah menekankan bahwa hamba yang berhasil menyeimbangkan doa antara pengampunan dan permintaan duniawi adalah hamba yang bijak. Nabi Sulaiman Alaihis salam menjadi teladan dalam menjaga niat tetap murni meskipun ia memimpin kerajaan besar.
Ayat ini juga mengandung pesan teologis tentang sifat Allah sebagai Al-Wahhab (Yang Maha Pemberi). Nabi Sulaiman Alaihis salam menyadari bahwa kekuasaan, ilmu, dan kemampuan luar biasa adalah hadiah dari Allah Ta’ala semata.
Doa Sulaiman adalah cermin bagi setiap Muslim yang menginginkan keberkahan dunia dan akhirat, ampunan, dan ridha Allah Ta’ala sebagai tujuan utama. Sebagaimana Nabi Sulaiman Alaihis salam, beliau menjalankan kerajaan dengan prinsip keadilan dan ketundukan total kepada syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Baca Juga: Masjidil Aqsa Selalu di Hati Orang Beriman
Kerajaan Nabi Sulaiman Alaihi Salam
Wilayah kerajaan Nabi Sulaiman Alaihis salam terbentang dari tanah Syam (Palestina) hingga ke lembah Yaman, termasuk kerajaan Saba’ yang diperintah oleh Ratu Bilqis. Kisah ini menunjukkan bahwa pengaruh beliau bukan sekadar lokal, melainkan lintas bangsa dan wilayah.
Nabi Sulaiman Alaihis salam bukan hanya memerintah manusia, tetapi juga jin, hewan, dan bahkan angin. Kekuasaan yang luar biasa besar itu tidak dimaksudkan untuk berbangga-bangga, tetapi keinginan untuk mengabdikan bagi kemaslahatan umat dan untuk menegakkan syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kekuasaan Nabi Sulaiman Alaihis salam tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga mencakup aspek spiritual, sinergi antara kekuatan iman dan ilmu. Beliau diberi kemampuan memahami bahasa binatang, mengatur barisan jin untuk bekerja dalam pembangunan, dan menundukkan angin untuk mengantarkannya ke berbagai negeri.
Baca Juga: Solusi Dua Negara (Palestina-Israel) dalam Prespektif Sejarah
Melihat kebesaran kekuasaan Nabi Sulaiman Alaihis salam, Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menukilkan hadits dari sahabat Abu Hurairah Radhiallahu anhu:
“إِنَّ عِفْرِيتًا مِنَ الْجِنِّ تَفَلَّتَ عَلَيَّ الْبَارِحَةَ، لِيَقْطَعَ عَلَيَّ صَلَاتِي، فَأَمْكَنَنِيَ اللَّهُ مِنْهُ، فَأَرَدْتُ أَنْ أَرْبِطَهُ إِلَى سَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي الْمَسْجِدِ، حَتَّى تَصْبِحُوا فَتَنْظُرُوا إِلَيْهِ كُلُّكُمْ، فَذَكَرْتُ دُعَاءَ أَخِي سُلَيْمَانَ: (رَبِّ هَبْ لِي مُلْكًا لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ مِنْ بَعْدِي) فَرَدَدْتُهُ خَاسِئًا.” (متفق عليه)
“Sesungguhnya tadi malam seekor ‘ifrit dari bangsa jin datang menggangguku untuk memutuskan shalatku. Maka Allah memberiku kemampuan untuk menangkapnya. Aku ingin mengikatnya pada salah satu tiang masjid agar kalian semua bisa melihatnya di pagi hari. Tetapi aku teringat doa saudaraku Sulaiman: ‘Ya Rabb, anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak pantas dimiliki oleh siapa pun setelahku.’ Maka aku pun melepaskannya dalam keadaan hina.” (Muttafaqun alaih)
Imam Fakhruddin Ar-Razi Rahimahullah menyebut, kekuasaan besar Nabi Sulaiman Alaihis salam menunjukkan bahwa Allah Ta’ala berkuasa menundukkan seluruh unsur alam bagi hamba-Nya yang taat. Angin, air, logam, bahkan makhluk ghaib lainnya, atas izin Allah Ta’ala tunduk dan taat kepada perintahnya.
Baca Juga: Keluarga Sakinah, Tenang Bersama di Tengah Cobaan
Hal itu bukanlah bentuk kekuatan pribadi, melainkan bukti kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan demikian, kekuasaan Nabi Sulaiman bukan sekadar simbol kebesaran duniawi, tetapi manifestasi dari kekuasaan Ilahi yang berjalan melalui seorang hamba yang beriman dan berilmu.
Prof. Wahbah Az-Zuhaili berkomentar, kerajaan Nabi Sulaiman Alaihis salam adalah pionir konsep good governance dalam perspektif wahyu. Keadilan ditegakkan, pembangunan dijalankan dan kesejahteraan rakyat menjadi prioritas. Kekuasaan yang besar dan luas tidak menjadikannya sombong, melainkan semakin tunduk kepada Allah yang Maha Kuasa.
Para ulama juga menyoroti kebesaran kepemimpinan Nabi Sulaiman Alaihis salam yang berlandaskan hikmah. Beliau adalah raja yang bijaksana, mampu menegakkan hukum dengan adil, bahkan terhadap makhluk kecil seperti semut dan burung.
Kisah Nabi Sulaiman Alaihis salam adalah cermin kepemimpinan profetik (kenabian). Ia menyeimbangkan antara iman, ilmu, dan kekuasaan. Ia memimpin dengan cinta, bukan ambisi; dengan hikmah, bukan hawa nafsu. Kekuasaan baginya bukan tujuan, tetapi sarana untuk menegakkan kebenaran dan menyebarkan rahmat Allah Ta’ala kepada seluruh makhluk.
Baca Juga: Antara Perjanjian Hudaibiyah dan Gencatan Senjata di Gaza
Islamnya Ratu Bilqis
Salah satu episode paling menakjubkan dalam perjalanan kekuasaan Nabi Sulaiman Alaihis salam adalah pertemuannya dengan Ratu Bilqis dari negeri Saba’. Kisah berawal ketika burung hud-hud membawa kabar tentang sebuah kerajaan makmur yang dipimpin seorang wanita yang bersama kaumnya menyembah matahari. Peristiwa ini diabadikan dalam Surah An-Naml [27] ayat 20–44. Nabi Sulaiman Alaihis salam mengislamkan Ratu Bilqis bukan dengan pedang, melainkan dengan kebijaksanaan, mukjizat, dan keimanan.
Inilah penaklukan tanpa peperangan, kemenangan tanpa pertumpahan darah. Nabi Sulaiman menundukkan hati sebelum menaklukkan wilayah dan menjadikan mereka beriman kepada Allah Ta’ala sebagai tujuan dalam setiap misinya.
Imam Al-Qurtubi menyebutkan, Nabi Sulaiman mengirim surat yang penuh hikmah, berisi seruan kepada tauhid. Kemudian mengundang Bilqis dengan penuh kelembutan, sekaligus menunjukkan kehebatan mukjizatnya. Ia menampakkan kekuatan kerajaan dan kebesaran ilmu yang dimilikinya tanpa kesombongan, agar Bilqis menyadari bahwa kekuasaan duniawi tidak sebanding dengan kebenaran wahyu.
Baca Juga: Perdamaian di Gaza, Antara Asa dan Realita
Para ahli sejarah seperti Al-Tsa‘labi dan Al-Mas‘udi mencatat bahwa kerajaan Nabi Sulaiman Alaihis salam kala itu memiliki kemajuan teknologi luar biasa. Ia memerintahkan jin untuk membangun istana megah, singgasana bertatahkan permata, dan jalan-jalan dari kaca yang bening.
Angin dijadikan alat transportasi untuk membawa dirinya dari satu negeri ke negeri lain. Dalam istilah modern, hal itu dapat diinterpretasikan sebagai kekuatan energi dan aerodinamika. Maka tidak heran jika Ratu Bilqis kagum bukan hanya pada kekayaan, tetapi pada keteraturan dan kecanggihan peradaban yang dibangun atas dasar iman.
Ketika Bilqis datang memenuhi undangan, ia dibuat terpesona oleh kemegahan istana Nabi Sulaiman Alaihis salam. Dr. Wahbah Az-Zuhaili menyebutnya sebagai simbol kemenangan ilmu pengetahuan atas kesyirikan dan kebodohan.
Namun puncak kebesaran Sulaiman bukan pada mukjizatnya, melainkan pada kebijaksanaan spiritualnya. Ia tidak menundukkan Bilqis untuk memperluas kekuasaan atau merampas sumber daya Saba’, melainkan untuk mengajaknya mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Baca Juga: Ketika Sumud Flotilla Tak Sampai Gaza
Nabi Sulaiman Bukan Tukang Sihir
Orang Yahudi membuat fitnah besar dengan menuduh Nabi Sulaiman Alaihis salam sebagai tukang sihir. Tuduhan itu dilontarkan setelah Nabi Sulaiman Alaihis salam wafat. Menisbatkan perbuatan sihir sama sekali tidak layak disematkan kepada seorang nabi dan rasul Allah Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta‘ala telah menegaskan dalam Al-Qur’an bahwa Sulaiman Alaihis salam tidaklah kafir, melainkan setan-setanlah yang kafir karena mereka mengajarkan sihir kepada manusia. Allah Ta‘ala berfirman:
…،وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ… (البقرة [٢]: ١٠٢)
Baca Juga: Mewaspadai Parasit Bani Israil dalam Tubuh Kaum Muslimin
“…, Dan Sulaiman tidaklah kafir, tetapi setan-setan itulah yang kafir; mereka mengajarkan sihir kepada manusia….” (QS. Al-Baqarah [2]: 102)
Para ulama salaf seperti Ibnu Katsir dan Al-Qurthubi menegaskan bahwa fitnah itu muncul dari sekelompok orang Yahudi yang terpengaruh oleh ajaran setan. Mereka menulis mantra-mantra sihir dan mengakuinya sebagai “ilmu Sulaiman”.
Padahal Sulaiman sama sekali tidak mengajarkannya, bahkan membakar kitab-kitab sihir itu agar tidak menyesatkan manusia.
Menurut At-Thabari, fitnah itu berawal dari peninggalan setan yang dikuburkan di bawah singgasana Nabi Sulaiman Alaihis salam. Setelah wafatnya beliau, setan-setan menampakkan diri kepada manusia dan berkata bahwa kekuasaan Nabi Sulaiman Alaihis salam berasal dari sihir yang tertulis dalam lembaran-lembaran itu.
Baca Juga: Global Sumud Flotilla, Napak Tilas Perjuangan Sahabat Bebaskan Masjidil Aqsa
Ketika lembaran tersebut ditemukan, orang-orang bodoh di kalangan Bani Israil mempercayainya dan menuduh Nabi Sulaiman Alaihis salam sebagai pesihir. Maka turunlah wahyu Allah membantah mereka dan mengembalikan kehormatan nabi-Nya.
Ulama kontemporer seperti Syaikh Abdurrahman As-Sa‘di juga menjelaskan bahwa tuduhan sihir kepada Nabi Sulaiman Alaihis salam adalah bentuk pembalikan kebenaran oleh kaum yang dengki terhadap wahyu.
Mereka tidak mampu memahami bahwa mukjizat dan kekuasaan Sulaiman bukanlah hasil ilmu sihir, tetapi karunia Allah Ta’ala yang menunjukkan kekuasaan-Nya di bumi.
Ibnul Qayyim Al-Jauzi dalam kita Zādul Ma‘ād menegaskan bahwa antara sihir dan mukjizat terdapat perbedaan hakiki. Sihir bersumber dari kesyirikan dan tipu daya setan, sedangkan mukjizat bersumber dari iman dan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Kekuasaan beliau bukan hasil rekayasa sihir, tetapi manifestasi dari ketaatan dan doa yang diterima di sisi Allah Ta’ala.
Maka, siapa pun yang menuduh Nabi Sulaiman Alaihis salam sebagai pesihir, sejatinya telah mencampuradukkan antara cahaya dan kegelapan, antara wahyu dan sihir. Tuduhan itu adalah bentuk kekufuran terhadap risalah para nabi.
Haikal Sulaiman, Asal‐Usul dan Realita
Tuduhan lainnya yang juga diarahkan kepada Nabi Sulaiman Alaihis salam oleh kaum Yahudi adalah bahwa beliau membangun Haikal Sulaiman (Temple of Solomon) sebagai tempat peribadatan. Tuduhan ini telah menjadi bagian dari narasi panjang kaum Yahudi modern untuk mengklaim hak sejarah atas Baitul Maqdis dan Al-Aqsa.
Padahal, jika ditelusuri dari sumber sejarah kuno, Nabi Sulaiman Alaihis salam tidak pernah membangun “Haikal” dalam pengertian tempat ibadah kaum Yahudi sebagaimana mereka yakini, tetapi beliau membangun kembali Baitul Maqdis, yaitu rumah suci yang didirikan untuk menyembah Allah Ta’ala semata.
Bantahan tentang klaim Haikal Sulaiman disampaikan oleh beberapa sejarawan dan arkeolog Yahudi sendiri yang menyatakan bahwa bukti fisik untuk haikal semacam itu tidak ditemukan, atau sekurang-kurangnya sangat sulit diverifikasi.
Sejarawan Yahudi bernama Israel Finkelstein (dari Tel Aviv University) yang dalam karyanya bersama Neil Asher Silberman menyatakan bahwa “The archaeological evidence in Jerusalem for the famous building projects of Solomon is nonexistent. (It) did not identify ‘even a trace’ of the complex (Bukti-bukti arkeologis di Yerusalem mengenai proyek pembangunan terkenal yang dikaitkan dengan Nabi Sulaiman tidak ada. (Para arkeolog) bahkan tidak menemukan ‘satu jejak pun’ dari kompleks bangunan itu).”
Lebih lanjut, dalam publikasi populer The Bible Unearthed, Finkelstein dan Silberman mengemukakan bahwa struktur monumental yang dianggap sebagai milik Sulaiman atau Daud mungkin sebenarnya berasal dari periode kemudian dan bukan berasal dari masa kerajaan Sulaiman sebagaimana narasi tradisional.
Sejarawan lain, seperti Kathleen Kenyon, juga pernah menyatakan bahwa “the archaeological evidence is meagre in the extreme (bukti-bukti arkeologisnya sangat minim sekali)” ketika menelaah situs di Yerusalem yang dikaitkan dengan Haikal Sulaiman.
Dalam pernyataannya, dugaan bahwa Nabi Sulaiman membangun Haikal untuk peribadatan kaum Yahudi tidak terdapat bukti konkret. Bahkan ia menyebut istilah Haikal dalam narasi tersebut bersifat spekulatif.
Para ahli sejarah Islam, seperti Syaikh Raghib As-Sirjani menyatakan, penggunaan simbol “Haikal” hanya untuk membangkitkan spiritual dan politik Zionis Yahudi. Klaim Yahudi tentang “Haikal Sulaiman” adalah bagian dari upaya panjang untuk menghapus sejarah Islam di Palestina dan menggantikannya dengan mitos kebangsaan mereka.
والله أعلمُ بالـصـواب
Mi’raj News Agency (MINA)
Mi’raj News Agency (MINA)
















Mina Indonesia
Mina Arabic