Oleh: Rana Setiawan, Wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Istilah “Nakbah” (“bencana” dalam bahasa Arab) memunculkan kenangan dari dua peristiwa penting dalam sejarah Palestina dan dunia; pembentukan sepihak Negara ‘Zionis’ Israel pada tahun 1948 dan pengusiran sekitar 800.000 warga Palestina dari tanah air leluhur mereka.
Kata ‘Nakbah’ tidak hanya datang untuk melambangkan tragedi yang menimpa warga Palestina pada tahun 1948, tetapi juga dari cobaan dan kesengsaraan rakyat Palestina yang terus bertahan di bawah dekade panjang penjajahan Israel hingga saat ini.
Nakbah adalah kisah tragedi kemanusiaan: pemindahan paksa sekitar 800.000 warga Palestina dan penghancuran sebagian besar warisan politik, ekonomi dan budaya Palestina guna membuat jalan bagi negara Yahudi untuk memproklamirkan diri.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Istilah “Nakbah” pertama kali digunakan untuk menggambarkan bencana oleh seorang cendikiawan terkemuka Suriah Constantin Zureiq (1919-2000) dalam bukunya, “The Meaning of Nakba/Arti ‘Nakbah’,” yang diterbitkan pada tahun 1948 untuk menggambarkan perkembangan perang Arab-Israel 1948.
Bagi Zureiq, perang di Palestina adalah “Nakbah” sejak awal; pukulan ganda, baik mengokohkan nasionalisme Arab dan perjuangan anti-kolonialis. Palestina adalah bagian dari “bangsa Arab” yang diimpikan oleh para pemimpin Arab kontemporer.
Anaheed al-Hardanm, seorang sosiolog Berlin Institute Jerman untuk Penyelidikan Budaya, berpendapat bahwa, sementara persepsi Zureiq tentang Nakbah tidak diragukan lagi menekankan perpindahan warga Palestina, namun masalah ini tidak menjadi perhatian utamanya.
Sebaliknya, Nakbah hanya salah satu elemen dari sekian banyak faktor sebagai fondasi berdirinya negara sepihak ‘Zionis’ Israel – di tanah Palestina –; murni sebuah “Bencana”.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Dari sudut pandang geopolitik, penjajahan terhadap Palestina merupakan sebuah pukulan yang menghancurkan gagasan tentang batas, supranasional serikat Arab.
Dalam esai yang dimuat 2013 lalu berjudul “Palestinian Memories: The 1948 Nakba/Kenangan Palestina: Nakbah 1948,” al-Hardanm berpendapat gagasan “Nakbah” berkembang atas dasar kesadaran bersama rakyat Palestina/Arab melalui beberapa tahap dari 1948 hingga saat ini.
Pada 1980-an, misalnya, ide Nakbah menjadi terkait khusus dengan permasalahan rakyat Palestina dan kurangnya perhatian Arab, yang belum terjadi sekitar empat dekade sebelumnya.
Namun, mengingat pengabaian para pengungsi Palestina yang mengikuti Perjanjian Oslo I 1993 – yang ditandatangani oleh Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Israel- istilah ‘Nakbah’ telah menjadi lebih terkait pada nasib diaspora rakyat Palestina.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Pembantaian
Nakbah Palestina mencakup berbagai peristiwa, dari pendudukan tanah Palestina oleh sebagian kelompok Zionis bersenjata dan perpindahan dari sekitar 800.000 warga Palestina, hingga penyitaan tanah yang berlangsung sampai hari ini.
Hal ini juga termasuk penghancuran lebih 675 kota dan desa Palestina; transformasi kota Palestina menjadi kota Yahudi; pengusiran suku Badui yang pernah menghuni wilayah Negev (di tempat yang sekarang menjadi selatan Israel); upaya penghapusan identitas nasional Palestina; dan penggantian nama tempat Arab dengan bahasa Yahudi.
Pada saat itu, jumlah penduduk Palestina adalah 1,4 juta, tinggal di 1.300 desa dan kota Palestina, di mana penjajah Israel berhasil menduduki 774 desa dan kota.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Nakbah juga berlaku untuk sekitar 70 pembantaian dan kekejaman yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Zionis terhadap warga Palestina, menyebabkan lebih dari 15.000 kematian penduduk Palestina, baik wanita dan anak-anak.
Jumlah warga Palestina yang tinggal di tanah yang diduduki pada tahun 1967 adalah sekitar 4,6 juta, termasuk 2,8 juta di Tepi Barat yang diduduki dan 1,8 juta di Jalur Gaza. Pengungsi Palestina di kedua daerah merupakan 43,1 persen dari total penduduk.
Ambisi Napoleon
Sementara para politisi Palestina telah memilih 15 Mei 1948 untuk menandai “Hari Nakbah,” tragedi kemanusiaan, hari yang mengingatkan saat kelompok-kelompok bersenjata Zionis menyerang kota-kota dan desa-desa Palestina dan meneror penduduk mereka untuk melarikan diri dari rumah mereka.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Nakbah dimulai saat Kementerian Luar Negeri Inggris yang dipimpin Arthur James Balfour pada 2 November 1917 menyerukan “pembentukan sebuah rumah nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina.” Kemudian dikenal sebagai “Deklarasi Balfour”.
Inggris memberlakukan Deklarasi Balfour ketika pasukan Inggris, yang dipimpin oleh Field Marshal Edmund Allenby, menginvasi dan menduduki Kota Al-Quds pada Desember 1917.
Penaklukan Kota Al-Quds secara efektif mengakhiri pemerintahan Kekhilafahan Turki Utsmani – kalah dalam Perang Dunia Pertama – atas Palestina, membuka jalan bagi dominasi organisasi dan partai Zionis, memimpin di antara yang disebut “Badan Yahudi.”
Peneliti lain, bagaimanapun, berpendapat bahwa Nakbah Palestina merupakan pengingat peristiwa bersejarah lebih jauh lagi.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Rawan Damen, seorang sutradara pemenang penghargaan dari film dokumenter berjudul “Al-Nakba,” berpendapat bahwa Nakbah adalah peringatan pada peristiwa 1799, ketika rencana kolonialis ambisius Napoleon Bonaparte termasuk gagasan mendirikan entitas Yahudi di Palestina.
Pada tahun 1799, saat Perancis menduduki Malta, tentara Perancis di bawah Napoleon berkemah di luar Acre. Napoleon mengeluarkan surat menawarkan Palestina sebagai tanah air bagi orang Yahudi di bawah perlindungan Perancis.
Proyek itu gagal karena Napoleon dikalahkan dan terpaksa menarik diri dari wilayah Timur Jauh.
Ide itu lalu digemakan Inggris pada tahun 1840 dan kemudian difasilitasi oleh Mandat Britania atas Palestina (1922-1948), yang memberikan ‘Badan Yahudi’ keleluasaan untuk merebut tanah Palestina dan memulai imigrasi Yahudi besar-besaran ke wilayah itu.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Mandat untuk Penjajahan
Pada tahun 1945, para pemimpin Zionis mulai membangun kelompok-kelompok Yahudi bersenjata untuk mengantisipasi konfrontasi yang datang dari penduduk Palestina di daerah itu.
Rencana “Mei 1946”, misalnya, disusun oleh Haganah, organisasi paramiliter Yahudi yang kemudian menjadi inti dari tentara Israel, cikal bakal dari IDF (Israeli Defense Force).
Pada 29 November 1947, Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi yang menyerukan pembagian Palestina menjadi sebuah negara Yahudi dan satu Palestina.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Resolusi itu disambut oleh pihak Zionis, tetapi mengalami penolakan oleh rakyat Arab pada umumnya dan rakyat Palestina pada khususnya.
Hari berikutnya, Haganah menyerbu semua lokasi yang ditunjuk oleh rencana pembagian PBB untuk negara Yahudi.
Dengan penghentian Mandat Inggris pada 14 Mei 1948, dipersenjatai organisasi Zionis – yang dipimpin oleh David Ben-Gurion (yang kemudian menjadi perdana menteri pertama Israel) – menyatakan pembentukan negara Israel dan kembalinya orang Yahudi ke apa yang ia sebut sebagai “tanah air bersejarah.”
Deklarasi ini diikuti oleh masuknya tentara Arab – dari Mesir, Suriah, Irak dan Transyordania – ke Palestina, yang akhirnya dikalahkan. Perang berakhir pada 3 Maret 1949, setelah Dewan Keamanan PBB menyatakan Israel anggota penuh PBB.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Mitos Zionis
Ada tiga mitos Zionis utama yang berusaha untuk membenarkan invasi dan penjajahan bersejarah atas Palestina. Yang pertama adalah gagasan tentang “tanah tanpa orang untuk orang-orang tanpa tanah” – sebuah konsep dihidupkan kembali oleh penulis Zionis Inggris Israel Zangwill.
Propaganda Zionis digunakan untuk membenarkan pendudukan didasarkan pada klaim bahwa Palestina adalah sebagian besar tidak berpenghuni, pada dasarnya menyangkal keberadaan penduduk Palestina.
Mitos lain Zionis yang paling menonjol adalah bahwa ‘Israel’ telah ada di Palestina 2070 tahun yang lalu. Pada tahun 1897, Organisasi Zionis Dunia mengadakan konferensi pertama di Basel, Swiss, di mana Theodor Herzl -diklaim sebagai “pendiri Zionisme modern”- mulai meletakkan prinsip-prinsip pembangunan negara Yahudi di Palestina.
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Herzl berusaha menggalang persetujuan internasional untuk proyek Zionis dan berhasil memenangkan dukungan Inggris.
Sebuah mitos Zionis lainnya adalah bahwa penduduk Palestina menjual tanah mereka dengan sukarela – klaim yang digunakan untuk membenarkan dasar pendirian ‘Israel’.
Hal ini terlepas dari kenyataan bahwa kepemilikan tanah Yahudi dalam sejarah Palestina tidak melebihi 5 persen pada saat itu.
Surga yang hilang
Nakbah akan tetap menjadi simbol perpindahan massa ratusan ribu warga Palestina pada tahun 1948. Juga simbol dari orang-orang yang terus bertahan dengan harapan untuk kembali ke tanah air mereka.
Resolusi PBB 194 menetapkan bahwa “pengungsi yang ingin kembali ke rumah mereka dan hidup damai dengan tetangga mereka harus diijinkan untuk melakukannya pada tanggal yang dilaksanakan paling awal.”
“Kompensasi harus dibayarkan untuk properti mereka -penduduk Palestina yang memilih tidak kembali- dan untuk kehilangan atau kerusakan harta benda di bawah prinsip-prinsip hukum internasional, harus diberikan baik oleh pemerintah atau otoritas yang bertanggung jawab.”
Selama 67 tahun setelah Nakbah, jumlah pengungsi Palestina -termasuk anak-anak dan cucu-cucu mereka- sekarang melebihi 12,1 juta jiwa yang tersebar di seluruh dunia, mengacu laporan akhir tahun 2014 dari Biro Statistik Palestina yang diumumkan pekan ini.
Sebagian besar penduduk Palestina tinggal di kamp-kamp pengungsi kumuh di Tepi Barat yang diduduki dan Jalur Gaza yang diblokade serta di negara-negara tetangga Arab, seperti Suriah, Lebanon dan Yordania.
Hingga Mei 2014, jumlah pengungsi yang tercatat oleh UNRWA adalah 5.490.000 jiwa. Sekitar 29 persen dari mereka tinggal di 58 kamp di Gaza, Tepi Barat, Yordania, Suriah dan Lebanon.
Jumlah ini tidak termasuk pengungsi yang dipaksa keluar dari rumah mereka antara tahun 1949 dan 1967, atau mereka dipaksa keluar dari rumah mereka oleh pendudukan Israel selama perang 1967.
Penduduk Palestina, yang tidak meninggalkan rumah mereka dan menjadi warga negara Israel berjumlah 154.000 jiwa pada tahun 1948. Jumlah penduduk mereka telah meningkat menjadi 1,5 juta pada 2014.
Pada akhir 2014, kepadatan penduduk di Jalur Gaza adalah 4.904 penduduk per kilometer persegi, sementara di Tepi Barat yang diduduki itu 500 warga per kilometer persegi. (R05/R01)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)