Setiap tanggal 26 Desember, pemerintah Aceh, pemerintah kabupaten/kota di Aceh dan seluruh masyarakat Aceh, mengenang kembali peristiwa tsunami yang terjadi pada tahun 2004 silam.
Tsunami menerjang Aceh dan Kepulauan Nias, Sumatera Utara, pada 26 Desember 2004 setelah terjadi gempa bumi bermagnitudo 9,3 dengan tinggi gelombangnya diperkirakan mencapai 30 meter, yang berpusat di Samudra Hindia. Diperkirakan kecepatan gelombang tsunami Aceh mencapai 360 kilimeter per jam atau sekitar 100 meter per detik.
Gelombang air laut itu turut menghantam wilayah Malaysia, Thailand, Sri Langka, Banglades, India, Maladewa, Myanmar, Madagaskar, Somalia, Kenya, Tanzania, Seychelles, Afrika Selatan, dan Yaman.
Tentunya, gelombang yang begitu tinggi dalam hitungan beberapa menit langsung meluluhlantakan kawasan pantai hingga permukiman.
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Pemerintah Aceh memusatkan acara peringatan 18 tahun tsunami Aceh di Kuburan Massal Siron, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar.
Kuburan massal Siron salah satu tempat saksi betapa dahsyatnya tsunami 2004 silam, ada 40.000 lebih para syuhada yang dimakamkan.
Selain Siron, kuburan massal korban tsunami Aceh lainnya adalah di Lambaro, Lhok Nga dan Ulee Lheu. Umumnya, kuburan massal korban tsunami Aceh tidak memiliki batu nisan. Hal ini karena banyak korban tsunami Aceh yang tidak teridentifikasi.
Penulis berkesempatan mengunjungi Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh, dalam rangka city tour pada rangkaian Rapat Kerja Nasional (Rakernas) ke-2 Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), pada Sabtu (12/11/2022).
Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina
Masjid tersebut merupakan monumen Tsunami Aceh 2004 silam yang tetap berdiri kokoh walau bangunan di sekitarnya rata dengan tanah akibat bencana yang melanda 18 tahun silam.
Meski terjangan tsunami begitu dahsyat, Masjid Baiturrahman tetap berdiri kokoh kendati bangunan maupun pohon di sekitarnya sudah roboh.
Memang masjid ini bukan satu-satunya di Aceh yang masih berdiri tegak saat diterjang tsunami, karena keistimewaan Masjid Baiturrahman ini juga terletak dari nilai historisnya. Masjid ini merupakan simbol agama, budaya, semangat, kekuatan, perjuangan dan nasionalisme rakyat Aceh. Masjid ini adalah landmark Kota Banda Aceh sejak era Kesultanan Aceh.
Salah satu bukti kemegahan budaya Islam di Aceh dengan hadirnya Masjid Baiturrahman yang menjadi titik penting bertemunya umat Islam di Bumi Serambi Mekkah itu. Banyak kegiatan-kegiatan penting yang telah terselenggara di tempat ini. Masjid ini selesai dibangun pada 1881. Sejak berdirinya, masjid itu telah beberapa kali mengalami pemugaran.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Sejarah Masjid Baiturrahman
Dilansir dari Kemdikbud Ristek, Masjid Baiturrahman adalah masjid yang berada di jantung Kota Aceh yang telah didirikan pada tahun 1022 H/1612 Masehi.
Masjid tersebut dibangun ketika Sultan Iskandar Muda memerintah. Namun, ada pula yang meyakini Sultan Alauddin Jonnan Mahmudsyah menjadi tokoh lain yang mendirikannya pada 1292 M.
Masjid Baiturrahman memiliki berbagai fungsi untuk masyarakat Aceh, seperti tempat shalat, pengajian, dan acara besar keagamaan lainnya. Namun, penjajah kolonial Belanda pernah membakar masjid ini ketika melakukan penyerangan ke Koetaradja yang saat ini dikenal sebagai Banda Aceh.
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam
Pembakaran tersebut terjadi pada 10 April 1873 dan peristiwa ini menyebabkan pertempuran antara masyarakat Aceh dan Belanda.
Akibatnya, pada 14 April 1873, Belanda harus kehilangan salah satu panglima bernama Major General Johan Harmen Rudolf Köhler.
Masjid Baitturahman yang terbakar lantas dibangun ulang oleh Gubernur Jenderal Van Lansberge yang berjanji kepada masyarakat Aceh.
Peletakkan batu pertama pembangunan ulang masjid ini dilakukan pada Kamis 13 Syawal 1296 H/9 Oktober 1879 M oleh Tengku Qadhi Malikul Adil.
Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina
Arsitektur Masjid
Adapun pembangunan Masjid Baiturrahman dilakukan pada 1879-1881 M dengan mengusung arsitektur yang mengadaptasi gaya moghul. Perluasan kemudian dilakukan pada tahun 1935 di bagian kanan-kiri dengan tambahan dua kubah. Perluasan ini membuat Masjid Baiturrahman memiliki 5 kubah dan 2 kubah baru kembali bertambah pada 1975.
Bangunan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh merupakan bangunan cagar budaya dunia dengan kontruksi luar dalamnya merupakan keaslian elemen bangunan dari zaman pra kemerdekaan.
Masjid Raya Baiturrahman tampak semakin megah dengan didirikannya 12 payung raksasa dengan diameter 12 meter yang diresmikan oleh Wakil Presiden saat itu, Jusuf Kalla pada Mei 2017.
Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata
Selain itu, masjid yang menggunakan balok beton ini juga diganti dengan marmer agar lebih sejuk. Desain payung raksasa sekilas menyerupai Masjid Nabawi di Madinah.
Sementara di sisi depan masjid, terdapat lima kubah berwarna hitam. Keberadaan kubah ini menambah kesan arsitektur Islam yang sejak dulu memang terkenal bangunan kubah yang megah.
Sementara menurut informasi Dunia Masjid, keseluruhan arsitektur masjid merupakan gabungan gaya sejumlah negara.
Gerbang utama yang menyerupai gaya rumah klasik Belanda berada tepat di depan pintu utama yang dibatasi serambi bergaya arsitektur masjid-masjid di Spanyol. Adapun pintu yang menjadi sekat menuju ruang utama masjid bergaya khas arsitektur kuno India.
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
Memasuki bagian ruang utama masjid akan terlihat hamparan luas ruang berlantai marmer berwarna dominan putih dari Italia. Ruang utama juga dipenuhi tiang penyangga berwarna putih dengan sedikit aksen hiasan di bagian bawahnya. Warna putih ini membuat ruang utama terkesan semakin lapang.
Bagian dalam kubah utama yang tepat berada di bagian tengah ruang utama dilengkapi lampu gantung yang memuat 17 titik lampu penerang. Lampu gantung hias juga terlihat di mihrab masjid, tepat di titik tengah bagian depan ruangan.
Fungsi masjid saat ini semakin berkembang seiring penerapan syariat Islam di Nangroe Aceh Darussalam. Bukan hanya sebagai tempat ibadah dan pendidikan agama, kini Masjid Raya Baiturrahman juga dijadikan sebagai media pengembangan potensi sosial kemasyarakatan.(A/R1/P1)
Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah