Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Sekelompok migran yang diyakini sebagai etnis Uighur, ditemukan oleh polisi imigrasi Thailand di sebuah perkebunan karet wilayah Selatan pada bulan Maret, kemudian dinyatakan sebagai imigran ilegal.
Kelompok migran itu mengaku sebagai warga negara Turki, tetapi kuat dugaan mereka benar-benar warga Uighur. Sedikit pun mereka tidak memiliki dokumen-dokumen kewarganegaraan.
Kasus inilah yang memicu pemerintah Turki mengajukan diri untuk menampung kelompok tersebut dan berniat membawanya ke Ankara.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Organisasi kemanusiaan internasional, Human Rights Watch (HRW) memuji permintaan pemerintah Turki untuk menampung mereka yang ditemukan sudah berada di sebuah kamp perbatasan Thailand, Songkhla.
Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu Rabu mengatakan, ia telah mengirim surat pemberitahuan kepada pemerintah Thailand dan Menteri Luar Negeri Cina, serta menyatakan “Turki ingin menampung orang-orang Uighur”.
Etnis Uighur utamanya tinggal di daerah otonomi Xinjiang di Cina, di mana mereka secara resmi diakui sebagai salah satu dari 56 etnis minoritas.
Mereka seharusnya bebas pergi
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Phil Robertson, Wakil Direktur HRW Divisi Asia, mengatakan kepada Anadolu Agency pada Kamis (27/11), organisasinya yakin bahwa mereka harus diizinkan untuk pergi.
“Oleh karena pemerintah Turki telah menyatakan siap menerima mereka, sulit bagi kita untuk memahami mengapa Thailand tidak mengizinkan kelompok ini dipulangkan ke Turki,” katanya.
Wakil Presiden Kongres Uighur Dunia, Seyit Tumturk mengatakan, ia telah bertemu dengan anggota kelompok di Thailand dan mereka semua mengaku kepadanya sebagai warga Turki, bukan Cina, dan mereka semua berbicara bahasa Turki.
Dia menegaskan, etnis Uighur mengalami penyiksaan dan penindasan di Cina hanya karena ingin memenuhi keyakinan agama mereka sebagai Muslim.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
“Mereka harus dikirim ke Turki atau negara lain yang aman,” kata Tumturk. “Jika tidak, mereka akan ditembak atau disiksa dan dibunuh.”
Sementara itu Robertson mengatakan, Konsulat Jenderal Cina di Songkhla telah berbicara secara terbuka tentang situasi itu, dan menyatakan kelompok itu adalah warga Uighur dan harus dikirim kembali ke Cina.
Pada Maret lalu, Wakil Kepala Misi Kedubes Turki di Bangkok, Ahmet Akay mengatakan, pihaknya telah mengirim utusan ke Songkhla untuk membantu mengidentifikasi mereka.
“Saya diperintahkan untuk menemukan identitas mereka. Temuan saya akan diteruskan ke markas saya. Sejauh yang saya tahu, mereka tidak memiliki dokumen,” katanya kepada Anadolu Agency.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Kabur atau dijual?
Pihak berwenang Thailand telah memisahkan perempuan dan anak-anak dari laki-laki dewasa dan memulai proses verifikasi kewarganegaraan.
Sebanyak 169 wanita dan anak-anak, ditempatkan di penampungan sosial di Songkhla, sedangkan laki-laki ditahan di beberapa penjara polisi imigrasi.
“Orang-orang telah ditahan di penjara imigrasi yang panas, kotor, dan sempit,” kata Robertson. “Jelas, mereka sama sekali tidak nyaman ditempatkan dalam kondisi seperti itu.”
Dari 169 perempuan dan anak-anak yang ditempatkan di penampungan sosial, 137 orang telah melarikan diri.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Robertson tidak percaya dengan asumsi pemerintah Thailand yang meyakini anggota kelompok itu telah diperdagangkan ke negara ketiga.
“Kami tidak mendengar apa-apa lagi tentang kelompok ini. Namun, kami tidak percaya tuduhan pemerintah Thailand bahwa mereka dibawa pergi oleh para pedagang. Jelas, mereka kabur dari penampungan Kementerian Pembangunan Sosial dan Keamanan Manusia karena mereka ingin pergi.”
Selain di daerah otonomi Xinjiang Uighur Cina, komunitas Uighur tersebar dalam jumlah kecil di Jerman, Belgia, Belanda, Norwegia, Swedia, Rusia, Afghanistan, Pakistan, Arab Saudi, Kanada, Amerika Serikat, dan Turki.
Organisasi hak asasi manusia, aktivis dan pengamat mengatakan, mereka dikenakan pembatasan agama, budaya dan bahasa, yang menyebabkan mereka melarikan diri dari Cina dan membuat tuntutan mereka akan adanya sebuah negara terpisah, semakin kuat.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Mereka sering menjadi korban penyelundupan manusia karena terobsesi mencari kehidupan yang lebih baik. (T/P001/R11/R01)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Sumber: Anadolu Agency
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel