Nasihat Kehidupan Bagi yang Tertimpa Musibah

oleh Widi Kusnadi, Dai Ponpes Al-Fatah, Bogor

Dalam kehidupan ini, setiap manusia pasti akan mengalami kesusahan, kesulitan, dan .  Tidak ada perjalanan hidup manusia di dunia ini yang mulus tanpa rintangan dan kesulitan. Kesulitan, kesusahan dan bencana itulah yang dinamakan .

Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan musibah kepada manusia dalam kehidupannya di dunia adalah sebagai ujian, untuk menguji keimanan mereka kepada Allah. Dalam Al-Quran, setidaknya ada 77 kali penggunaan kata musibah, yang tersebar pada 56 ayat di dalam 27 surah.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, musibah diartikan dengan kejadian menyedihkan yang menimpa, atau malapetaka, atau bencana. Sedangkan dalam kamus bahasa Arab al-Munawwir, musibah berasal dari kata ashaba yang diartikan sebagai bencana atau malapetaka.

Dalam kitab Jami’ Sahih al-Bukhori dikatakan; “Barang siapa yang dikehendaki Allah SWT untuk mendapat kebaikan, maka dia akan ditimpa musibah. Yakni diuji dengan berbagai bencana, supaya Allah SWT memberikan pahala kepadanya. Musibah adalah perihal yang turunnya atau kehadirannya pada manusia tidak disukai”.

Al-Qurtubi dalam tafsir Jami’ li Ahkam Al-Qur’an  mengatakan bahwa musibah adalah segala sesuatu yang mengganggu orang mukmin dan menjadi bencana baginya. Musibah biasanya diucapkan oleh seseorang ketika mengalami malapetaka, walaupun malapetaka tersebut bersifat ringan maupun berat. Serta sering digunakan untuk kejadian-kejadian buruk yang tidak disukai.

Sementara itu, menurut M Quraish Shihab, musibah tidak selalu terikat dengan bencana, tetapi mencakup segala sesuatu yang terjadi, baik itu bersifat positif maupun negatif, baik anugerah berupa sesuatu yang menyenangkan maupun bencana (menyusahkan).

Empat Sifat Musibah

Musibah yang dialami manusia setidaknya memiliki empat sifat. Hal ini hendaknya diketahui oleh setiap manusia, khususnya ummat Islam agar dalam menghadapinya dapat mengambil sikap yang tepat sesuai tuntunan Allah dan rasulNya sehingga Allah memberikan pahala dan anugerah yang besar kepada yang tertimpa musibah.

Pertama, musibah adalah sebuah kepastian dan dialami semua manusia yang hidup di dunia. Semua sudah tercatat di langit pada catatan Allah, ‘lauhul mahfudz’. Karena sifatnya yang pasti, maka kita harus mempersiapkan diri sebaik mungkin, membekali diri dengan ilmu sehingga bisa menyikapinya secara tepat. Allah berfirman:

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ۬ فِى ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِىٓ أَنفُسِكُمۡ إِلَّا فِى ڪِتَـٰبٍ۬ مِّن قَبۡلِ أَن نَّبۡرَأَهَآ‌ۚ إِنَّ ذَٲلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌ۬

Tiada suatu musibahun yang menimpa di bumi dan [tidak pula] pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab [Lauh Mahfuzh] sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (QS Al-Hadid [57]: 22).

Kedua, musibah itu adalah sesuatu yang serba sulit, maka jika manusia tidak memiliki ilmu yang cukup, sudah tentu ia tidak akan lulus menjalaninya. Tanpa ilmu yang memadai, tentu manusia akan menderita kerugian yang besar, bahkan kecelakaan dan kesengsaraan dunia akhirat. Maka, membekali diri dengan ilmu yang cukup adalah sebuah keharusan bagi manusia dalam kehidupan ini. Allah berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِ ۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ ﴿البقرة : ۱۵۵﴾

Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar”. (QS. Al-Baqarah[2]: 155)

Ketiga, semakin sulit dan susah musibah yang dirasakan manusia, maka semakin tinggi pahala yang akan ia dapat di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebaliknya, semakin ringan musibah yang dirasakan, maka sedikit dan rendah pula pahala yang ia akan dapat. Sebagaimana para Nabi dan Rasul, mereka menerima musibah yang sulit. Tidak semua manusia sanggup memikulnya. Akan tetapi, balasan dan pahala mereka di sisi Allah juga sangat besar.

Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah:

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً

“Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Lalu, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab,

« الأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الأَمْثَلُ فَالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ »

“Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.”

Keempat, sesulit apapun musibah, pasti manusia bisa mengatasinya. Tidak mungkin Allah memberi masibah kepada manusia jika ia tidak kuat menanggungnya. Maka kadar dan takaran musibah yang dialami manusia berbeda-beda karena memang kemampuannya juga berbeda. Maka jika kita sudah tahu bahwa musibah yang kita alami itu sudah diukur takarannya secara cermat dan tepat, maka kita optimis pasti akan bisa memaluinya dengan baik. Kita juga tidak perlu iri dengan nasib orang lain yang kita anggap lebih baik dari keadaan kita karena semua memiliki ujian dan cobaan dengan kadar masing-masing. Allah berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا ۗ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya”. (QS. Al-Baqarah[2]: 286).

Takziah

Salah satu sunnah yang diajarkan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa salam ketika ada saudara, kerabat, tetangga atau ikhwan kita yang tertimpa musibah, terutama adalah dengan kita bertakziah kepada keluarganya. Takziah ialah salah satu akhlak muslim terhadap orang yang sedang mendapatkan musibah.

Kata “takziyah”, secara etimologis merupakan bentuk mashdar (kata benda turunan) dari kata kerja ‘aza. Maknanya sama dengan al-aza’u, yaitu sabar menghadapi musibah kehilangan. Dalam Kamus Al-Munawir, takziah berarti menghibur, menyatakan bela sungkawa, menyampaikan duka cita, dan menyabarkan keluarga orang yang meninggal.

Takziah juga berarti menguatkan. Sedangkan secara istilah, takziah adalah menganjurkan seseorang untuk bersabar atas beban musibah yang tengah menimpanya, mengingatkan kepada keluarganya atas keutamaan bersabar atas musibah dan mendoakan ampunan bagi mayit dan kesabaran bagi keluarga yang ditinggalkan.

Ulama salaf, Imam Al-Khirasyi memberikan definisi takziah dengan : “Menghibur orang yang tertimpa musibah dengan pahala-pahala yang dijanjikan oleh Allah, sekaligus mendoakan mereka dan mayatnya”.

Sedangkan Imam Nawawi berkata, “Takziyah adalah memotivasi orang yang tertimpa musibah agar bisa lebih bersabar, dan menghiburnya supaya bisa melupakannya, meringankan tekanan kesedihan dan himpitan musibah yang menimpanya.”

Doa bertakziah

Adapun doa ketika seseorang bertakziah sebagaimana dijelaskan oleh beberapa ulama adalah sebagai berikut:

Ibnu Qudamah berkata, “ Nabi SAW pernah melayat seseorang dan mengucapkan رَحِمَكَ اللهُ وَاٰجَرَكَ “Semoga Allah merahmatimu, dan memberimu pahala”.” (H.R Tirmidzi).

Dalam keterangan lainnya, Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa salam juga mencontohkan doa sebagai berikut:

أَعْظَمَ اللهُ أَجْرَكَ وَ أَحْسَنَ عَزَاءَكَ وَ غَفَرَ لِمَيِّتِكَ

Artinya :

“Mudah-mudahan Allah membesarkan pahalamu, menghibur hatimu sebagus-bagusnya, dan memberi ampunan kepada keluargamu yang meninggal.”

Adapun doa yang lebih lengkap adalah:

Bacaan Doa di Sisi Jenazah Arab

اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ اْلأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ، وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ

“Ya Allah, ampunilah ia, kasihanilah ia, berilah ia kekuatan, maafkanlah ia, dan tempatkan di tempat yang mulia (surga), luaskan kuburannya, mandikan ia dengan air salju dan air es.”

“Bersihkan ia dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau membersihkan baju putih dari kotoran, berilah ganti rumah yang lebih baik dari rumahnya (di dunia).”

“Berilah ganti keluarga (atau istri di surga) yang lebih baik daripada keluarganya (di dunia), istri (atau suami) yang lebih baik daripada istrinya (atau suaminya), dan masukkan ia ke surga, jagalah ia dari siksa kubur dan neraka.” (HR. Muslim).

 “Ya Allah, ampunilah ia, kasihanilah ia, berilah ia kekuatan, maafkanlah ia, dan tempatkan di tempat yang mulia (surga), luaskan kuburannya, mandikan ia dengan air salju dan air es.”

“Bersihkan ia dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau membersihkan baju putih dari kotoran, berilah ganti rumah yang lebih baik dari rumahnya (di dunia).”

“Berilah ganti keluarga (atau istri di surga) yang lebih baik daripada keluarganya (di dunia), istri (atau suami) yang lebih baik daripada istrinya (atau suaminya), dan masukkan ia ke surga, jagalah ia dari siksa kubur dan neraka.” (HR. Muslim).

Hikmah Takziyah

Di samping pahala, juga terdapat kemaslahatan bagi kedua belah pihak. Antara lain meringankan beban musibah yang diderita oleh orang yang dilayat, memotivasinya untuk terus bersabar menghadapi musibah dan berharap pahala dari Allah SWT, memotivasinya untuk ridha dengan ketentuan atau qadar Allah dan menyerahkannya kepada Allah.

Selain itu, hikmah takziyah juga untuk mendoakan keluarganya agar musibah tersebut diganti oleh Allah dengan sesuatu yang lebih baik serta melarangnya berbuat niyahah (meratap), memukul, atau merobek pakaian, dan lain sebagainya akibat musibah yang menimpanya.

Sedangkan waktu takziyah, menurut jumhur ulama, diperbolehkan sebelum dan sesudah mayit dikebumikan.

Hikmah kematian

Jika kita mendengar ada seseorang yang tertimpa musibah, terutama kematian, maka  Allah memerintahkan kita untuk mengucap  اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَ (Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan sesunguhnya kepadaNya kita semua akan kembali).

Bagi orang beriman, kematian sesungguhnya adalah pintu gerbang menuju kehidupan abadi yang penuh dengan kenikmatan yang hakiki. Kematian adalah pintu masuk menuju surga yang kekal dan abadi. Maka bagi mereka, kematian bukan bencana, tetapi merupakan anugerah dan rahmat dari Allah Yang Maha Kuasa.

Kematian juga bisa menjadi sarana bagi mereka untuk lepas dari segala rasa sakit. Jika dalam hidupnya, seseorang diuji dengan musibah sakit, mungkin sudah bertahun-tahun lamanya ia derita, sudah sekian lama dan ke mana-mana ia berobat, namun belum kunjung mendapat kesembuhan, maka yang dapat memutus rasa sakit itu adalah kematian. Bagi orang-orang yang bersabar dan ridha dengan ujian sakit itu, kematian adalah hadiah terbaik dari Allah supaya ia dapat lepas dari rasa sakit yang ia derita.

Sementara itu, bagi mereka para pejuang, aktifis, relawan kemanusiaan, atau mereka yang bekerja giat, ulet dan tekun selama hidupnya, maka kematian adalah sarana bagi mereka untuk beristirahat dari segala aktifitas mereka. Allah mencukupkan usaha yang ia lakukan dan saatnya bagi mereka menikmati buah dari hasil perjuangannya yang ia persembahkan ikhlas untuk Allah semata.

Pun juga bagi mereka para istri yang mendukung perjuangan suaminya, anak-anak yang konsisten membantu perjuangan Sang Ayah, Bapak dan (atau) Ibu yang mendukung perjuangan anak-anaknya, maka jika menemui ajalnya, maka Allah mencukupkan dukungannya itu dan Allah pasti akan balas dukungan itu dengan pahala terbaik di sisiNya.

Kecuali bagi mereka orang-orang kafir dan munafik, maka bagi mereka siksa sebagai akibat dari perilaku buruknya di kehidupan dunia. Bagi mereka, kematian adalah awal dari kesengsaraan yang tiada bertepi dan kecelakaan yang tidak dapat mereka lari darinya.

Kematian juga sebenarnya merupakan sarana terjadinya keseimbangan alam ini. Bayangkan jika tidak ada orang yang mati, sudah pasti dunia ini akan penuh sesak dengan manusia. Jika tidak ada kematian, niscaya manusia akan kekurangan makanan, kekurangan tempat tinggal, pakaian, dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.

Teori Malthus (1998) yang menyatakan bahwa produksi pangan itu seperti deret hitung (berdasar penjumlahan), sementara pertumbuhan penduduk seperti deret ukur (berdasarkan perkalian). Maka jika jumlah penduduk terus meningkat, tanpa adanya kematian, sudah pasti, produksi pangan tidak akan dapat mencukupi kebutuhan pangan manusia.

Jadi, dengan adanya kematian, maka ketersediaan pangan bagi manusia akan dapat tercukupi sehingga kehidupan bisa berjalan normal dan keseimbangan alam akan terwujud. (A/P2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Widi Kusnadi

Editor: Widi Kusnadi

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments are closed.