NATO Tolak Qatar Sebagai Anggota Baru

Brussels, MINA – Harapan untuk bergabung dengan ditolak oleh aliansi militer Atlantik Utara beranggotakan 29 negara itu, sebab  keanggotaan dibatasi hanya untuk negara-negara Eropa dan Amerika Utara, sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian pendiriannya tahun 1949.

Kemudian keanggotaan baru dibatasi untuk negara Eropa saja, sehingga beberapa negara baru Eropa Timur eks komunis dapat bergabung di pakta ini.

Seorang ahli pertahanan Timur Tengah menyatakan penolakan aspirasi Qatar sebagai “semata-mata pernyataan sikap”, Arab News melaporkan, Rabu (6/6).

Harapan jadi anggota NATO dinyatakan Menteri Pertahanan Qatar, Khalid bin Mohammed Al-Attiyah, dalam sebuah wawancara baru-baru ini.

Namun seorang pejabat di kantor pusat NATO di Brussels, Belgia, mengatakan tidak ada kemungkinan negara Teluk menjadi anggota penuh.

“Menurut pasal 10 dari Pakta Washington, hanya negara-negara Eropa yang bisa menjadi anggota baru NATO. Qatar adalah mitra NATO yang berharga yang telah terjalin lama. Mereka telah berkontribusi terhadap misi ISAF (Pasukan Bantuan Keamanan Internasional) kami di Afghanistan dan telah menawarkan pengangkutan udara ke Resolute Support Mission in Afghanistan di Afghanistan,” ujarnya.

Al-Attiyah mengatakan kepada “Altalaya”, majalah resmi Kementerian Pertahanan Qatar, “Qatar hari ini telah menjadi salah satu negara paling penting di kawasan dalam hal kualitas persenjataan.”

“Mengenai keanggotaan, kami adalah sekutu utama dari luar NATO … Keinginan  kita adalah keanggotaan penuh jika kemitraan kita dengan NATO berkembang dan visi kita jelas.”

Dia menambahkan, “NATO menghargai kontribusi Qatar dalam memberantas terorisme dan pembiayaannya.” Di Qatar juga ada pangkalan militer Amerika Serikat.

Qatar dituduh oleh negara-negara Arab lainnya mendukung kelompok teror dan telah diboikot oleh Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Mesir selama lebih dari satu tahun terakhir.

Menteri Pertahanan Qatar – yang juga wakil perdana menteri – berbicara pada peringatan pertama boikot itu, dan waktunya bukan kebetulan, kata Michael Stephens, peneliti pada think-tank yang berbasis di London Middle East Studies at the Royal United Services Institute (RUSI).

“Setiap orang merasa dipompa dan melenturkan otot-otot mereka dan saling menarik. Semua ini tidak harus dianggap serius,” kata dia.

Al-Attiyah telah menyarankan Qatar bisa “menjadi tuan rumah salah satu unit NATO atau salah satu pusat spesialisasinya.”

Tapi Stephens mengatakan tawaran itu tidak mungkin atau tidak perlu. Komando Sentral Amerika Serikat (Centcom) sudah memiliki markas modern di Doha dan “sudah dikaitkan ke NATO,” kata Stephens.

Dia menambahkan, “GCC (Negara-negara Kerja Sama Teluk) sebagai sebuah blok akan lebih bisa berkontribusi. Gagasan bahwa tidak ada orang lain di wilayah ini kecuali Qatar yang bisa … yah, itu tidak mungkin.”

Qatar dapat mencoba untuk memainkan perannya sebagai sekutu dekat Turki, yang merupakan anggota NATO, tetapi semakin tegang hubungan dengan negara-negara lain dalam aliansi, terutama atas tindakannya di Suriah.

Turki juga mendapat manfaat ekonomi dari krisis antara Qatar dan negara-negara tetangganya. Dengan satu-satunya perbatasan darat di Qatar dengan Arab Saudi tertutup, barang-barang diterbangkan dari Turki. Tetapi emirat tidak membutuhkan bantuan militer.

“Arsitektur keamanan Qatar sudah memadai. (Karena) Itu tidak perlu dibuat dengan cara seperti ini,” kata Stephens.

“Karena konflik antara Qatar dan GCC sekarang bercokol, (pernyataan Khalid bin Mohammed Al-Attiyah hanya sikap.” (T/R11/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0