Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Negara Adidaya Lumpuh: Amerika Serikat Resmi Shutdown, Rakyat Terjerat Ketidakpastian

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 49 detik yang lalu

49 detik yang lalu

0 Views

Ironi itu begitu mencolok. Negara adidaya yang gemar mendanai perang di luar negeri, kini tak mampu mengurus keuangan rumah tangganya.(Foto: ig)

Pagi yang dingin di Washington D.C. mendadak berubah mencekam. Bukan karena badai salju, bukan pula karena ancaman teror, melainkan karena pemerintah federal Amerika Serikat resmi tutup. Kata “shutdown” kembali menjadi headline di seluruh media, mengguncang rakyatnya, sekaligus mempermalukan negeri yang selama ini mengklaim diri sebagai pemimpin dunia.

Ratusan ribu pegawai federal terbangun dengan rasa panik. Mereka tidak tahu apakah hari ini harus bekerja atau tinggal di rumah tanpa gaji. Gedung-gedung pemerintahan mendadak sepi, program sosial terhenti, dan pelayanan publik lumpuh. Amerika seolah menarik diri dari rakyatnya sendiri.

Ironi itu begitu mencolok. Negara adidaya yang gemar mendanai perang di luar negeri, kini tak mampu mengurus keuangan rumah tangganya. Anggaran yang diperebutkan oleh Partai Demokrat dan Partai Republik berubah menjadi senjata yang menembak rakyat sendiri.

Di balik drama politik ini, ada kisah manusia yang memilukan. Pegawai negeri sipil yang kehilangan pemasukan, keluarga miskin yang tak lagi bisa menerima bantuan pangan, hingga pasien-pasien sakit kronis yang penelitiannya dihentikan karena laboratorium ditutup. Shutdown bukan sekadar istilah teknis, melainkan tragedi kemanusiaan.

Baca Juga: Bantuan Udara adalah Rudal Jenis Baru

Politisi di Capitol Hill saling tuding. Sementara rakyat di jalanan hanya bisa mengelus dada. Demokrasi yang mereka banggakan ternyata rapuh, dan retaknya selalu berulang. Dunia pun menyaksikan bagaimana negara yang kerap menggurui bangsa lain ternyata tersandung oleh masalah paling mendasar: mengurus anggaran.

Amerika Tersandung di Panggung Dunia

Dampak shutdown meluas jauh melampaui batas negara. Pasar saham global bergejolak, investor gelisah, dan negara-negara sekutu mempertanyakan stabilitas Amerika. Bagi musuh-musuh geopolitik, ini adalah bahan tertawaan. “Adidaya rapuh,” begitu kira-kira sindiran yang terdengar di banyak forum internasional.

Mengerikan sekaligus memalukan. Amerika yang selalu menuntut stabilitas dari negara lain, justru menghadirkan ketidakpastian bagi rakyatnya sendiri. Dunia menyaksikan dengan mata terbuka bahwa kekuatan superpower itu ternyata bisa roboh hanya oleh satu kata: deadlock.

Namun, di balik wajah muram ini, rakyat Amerika mulai sadar. Mereka menyadari bahwa elit politik tidak lagi berpihak pada mereka. Demonstrasi kecil bermunculan, opini publik menguat, dan tuntutan agar pemerintah segera kembali bekerja semakin keras menggema. Ada harapan kecil yang tumbuh di tengah kegelapan.

Baca Juga: Influencer Dibayar, Palestina Berdarah: Perang Sunyi di Media Sosial

Krisis selalu melahirkan kesadaran. Shutdown ini mengajarkan bahwa kekuatan sejati bukan pada politisi, melainkan pada rakyat yang berani menuntut hak. Jika suara rakyat cukup kuat, tembok Capitol yang megah pun bisa goyah.

Tetapi hingga saat itu tiba, rakyat masih harus menanggung penderitaan. Ribuan keluarga tak punya kepastian. Veteran perang kehilangan akses bantuan. Petani tidak mendapat subsidi. Mahasiswa kesulitan membayar kuliah. Semua terhimpit dalam permainan elit yang penuh ego.

Pertanyaan besar pun menggema: bagaimana mungkin negara yang selalu berbicara tentang “hak asasi manusia” tega membiarkan warganya kelaparan karena pertengkaran politik? Dunia berhak menyudutkan Amerika, karena kegagalan ini adalah bukti telanjang bahwa mereka tidak lebih baik dari negara-negara yang kerap mereka hina.

Shutdown bukan sekadar krisis anggaran, melainkan krisis moral. Sebuah demokrasi yang kehilangan nurani, yang mengorbankan rakyat demi ambisi partai. Dan ketika demokrasi kehilangan moral, ia berubah menjadi panggung sandiwara yang menakutkan.

Baca Juga: Baitul Maqdis: Pusat Peradaban Islam yang Terlupakan

Bagi bangsa lain, tragedi ini adalah peringatan. Jangan pernah meniru sistem politik yang lebih sibuk mempertahankan kursi daripada menyelamatkan rakyat. Belajarlah dari kejatuhan Amerika: adidaya bisa runtuh jika rakyatnya hanya dijadikan bidak catur.

Hari ini, dunia menyaksikan bagaimana Amerika bukan lagi teladan. Ia hanyalah negara biasa yang tersandung oleh keserakahan elitnya. Dan di balik keruntuhan itu, ada pelajaran besar: kekuatan sejati bangsa bukan di tangan politisi, melainkan pada keberanian rakyat menjaga masa depan mereka sendiri.

Shutdown hanyalah kata teknis di atas kertas, tetapi di lapangan ia berarti perut lapar, rumah gelap, dan masa depan yang digadaikan. Inilah wajah Amerika yang sebenarnya: megah di luar, rapuh di dalam.

Dan dunia pun berhak berkata: jika Amerika tak mampu mengurus dirinya sendiri, bagaimana mungkin mereka layak memimpin dunia?[]

Baca Juga: Pesantren Al-Kahfi Somalangu: Warisan 600 Tahun Islam Nusantara

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda