Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Negara Penjajah, Arogansi Israel atas Nama Keamanan

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 31 detik yang lalu

31 detik yang lalu

0 Views

Israhel negara penjajah (foto: ig)

ISRAEL kerap mengklaim dirinya sebagai negara yang hanya membela diri dan mempertahankan keamanan warganya dari ancaman luar. Namun di balik narasi itu, sejarah mencatat bahwa entitas ini berdiri di atas tanah yang dirampas melalui penjajahan dan pengusiran rakyat Palestina. Sejak pendiriannya tahun 1948, Israel telah menggusur ratusan ribu warga Palestina dari rumah dan tanah mereka, menciptakan krisis pengungsi yang masih berlangsung hingga kini.

Retorika keamanan yang diusung Israel seringkali menjadi pembenaran atas berbagai tindakan brutal terhadap rakyat Palestina. Segala bentuk perlawanan rakyat Palestina terhadap penjajahan dituduh sebagai aksi terorisme, sementara agresi Israel seperti pemboman Gaza atau penggusuran paksa di Tepi Barat diklaim sebagai tindakan pertahanan diri. Ini adalah bentuk arogansi yang mengabaikan prinsip keadilan dan hukum internasional.

Israel membangun tembok pemisah yang membelah desa-desa dan memisahkan keluarga Palestina dengan dalih keamanan. Namun, banyak analis dan aktivis HAM melihat tembok ini sebagai alat untuk mencaplok lebih banyak wilayah dan memperkuat pendudukan. Tembok tersebut tidak hanya merampas tanah, tetapi juga menghancurkan ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat Palestina.

Pembangunan permukiman ilegal Israel di wilayah pendudukan juga menjadi bukti nyata penjajahan yang terus berlangsung. Permukiman-permukiman ini dibangun di tanah milik warga Palestina yang dirampas, dan kehadirannya dilindungi dengan kekuatan militer. Ketika warga Palestina mencoba melawan atau sekadar mempertahankan hak mereka, mereka dihadapkan pada kekerasan, penangkapan, dan pembunuhan.

Baca Juga: Tangan Berdarah Zionis, Pembantai Anak-Anak Gaza

Kebijakan check point yang dilakukan Israel di berbagai wilayah Palestina juga menjadi simbol nyata arogansi atas nama keamanan. Warga Palestina harus melewati ratusan pos pemeriksaan hanya untuk pergi bekerja, sekolah, atau rumah sakit. Seringkali mereka diperlakukan dengan tidak manusiawi, ditahan berjam-jam, bahkan kadang tidak diperbolehkan lewat tanpa alasan yang jelas.

Blokade atas Jalur Gaza yang sudah berlangsung lebih dari satu dekade merupakan bentuk kolektif hukuman yang melanggar hukum kemanusiaan internasional. Atas nama keamanan, Israel membatasi suplai makanan, bahan bakar, dan obat-obatan ke Gaza. Akibatnya, lebih dari dua juta orang hidup dalam kondisi kemiskinan ekstrem, kekurangan air bersih, dan fasilitas kesehatan yang minim.

Israel juga secara sistematis menghancurkan rumah-rumah warga Palestina. Penghancuran ini sering kali dilakukan tanpa pemberitahuan, dan dalih yang digunakan adalah karena rumah-rumah itu dibangun tanpa izin. Padahal, izin pembangunan sangat sulit didapatkan oleh warga Palestina di bawah kontrol otoritas Israel, yang secara diskriminatif membatasi hak hidup mereka.

Dalam sistem peradilan Israel, warga Palestina yang ditangkap kerap dijatuhi hukuman berdasarkan hukum militer, sementara warga Yahudi diproses di pengadilan sipil. Hal ini menunjukkan diskriminasi struktural yang menjadikan hukum sebagai alat pendudukan. Anak-anak Palestina pun tidak luput dari penangkapan dan penyiksaan di penjara militer.

Baca Juga: ​Amerika: Pelindung Penjahat Perang, Penjual Keadilan di Palestina

Media global sering kali menampilkan narasi yang berat sebelah, memosisikan Israel sebagai korban dan Palestina sebagai pelaku. Padahal, data dan laporan dari berbagai lembaga HAM menunjukkan pola penindasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan secara sistematis oleh Israel terhadap rakyat Palestina. Arogansi ini terus diperkuat oleh dukungan politik dan militer dari negara-negara besar.

Israel juga menggunakan teknologi pengawasan canggih untuk memata-matai warga Palestina. Drone, kamera pemantau, dan perangkat lunak mata-mata digunakan untuk mengontrol kehidupan masyarakat sipil. Hal ini bukan hanya pelanggaran terhadap privasi, tetapi juga memperdalam trauma psikologis rakyat Palestina yang hidup di bawah pengawasan konstan.

Dalih keamanan juga digunakan untuk menekan kebebasan berpendapat dan kebebasan beragama. Masjid Al-Aqsha sering kali diserbu oleh aparat Israel dengan alasan keamanan, padahal yang terjadi adalah penyerangan terhadap tempat suci umat Islam. Umat yang sedang beribadah dipukuli, ditangkap, bahkan ditembak.

Sistem apartheid yang dijalankan Israel menjadikan warga Palestina sebagai warga kelas dua di tanah mereka sendiri. Mereka tidak memiliki kebebasan bergerak, akses layanan publik yang memadai, maupun hak politik yang setara. Kebijakan pemisahan ini mencerminkan penjajahan gaya baru yang dibungkus dengan retorika demokrasi dan keamanan.

Baca Juga: Zionis Penjajah Abadi Tanah Para Nabi

Israel bukan hanya negara penjajah secara geografis, tetapi juga penjajah dalam tataran psikologis dan budaya. Identitas dan sejarah Palestina dicoba dihapus melalui kontrol atas kurikulum pendidikan, pelarangan simbol-simbol nasional, dan penghancuran situs bersejarah. Semua ini dilakukan untuk membentuk narasi tunggal yang menguntungkan pihak penjajah.

Dunia internasional sudah lama mengetahui fakta-fakta ini, namun banyak negara masih bungkam atau bahkan terus mendukung Israel secara politik dan ekonomi. Padahal, keberpihakan pada keadilan tidak boleh ditunda. Menutup mata terhadap penjajahan dan arogansi atas nama keamanan sama saja dengan menjadi bagian dari kejahatan itu sendiri.

Sudah saatnya dunia menyebut Israel sebagaimana adanya, yaitu negara penjajah yang menggunakan dalih keamanan untuk melegitimasi tindakan brutal dan pelanggaran HAM. Rakyat Palestina bukan teroris, mereka adalah korban dari sistem kolonialisme modern yang dilestarikan oleh kekuatan politik global yang tidak adil.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Membunuh dengan Mesin: Keterlibatan AI dan Platform Digital dalam Genosida Gaza

 

Rekomendasi untuk Anda