Swiss, MINA – Perusahaaan Nestlé telah melihat keraguan di kalangan konsumen dan preferensi terhadap merek lokal di Timur Tengah sejak dimulainya perang Israel yang menghancurkan Jalur Gaza yang terkepung, kata CEO Nestlé dalam panggilan telepon dengan wartawan yang dikutip dari MEMO, Jum’at, (23/2).
Awal bulan ini, Unilever dari Inggris melaporkan pertumbuhan penjualan kuartal keempatnya di Asia Tenggara terdampak oleh pembeli di Indonesia yang memboikot merek perusahaan multinasional tersebut sebagai respons terhadap situasi geopolitik di Timur Tengah.
Selain itu, pada awal bulan ini, jaringan restoran cepat saji asal Amerika, McDonald’s juga mengatakan pihaknya gagal mencapai target penjualan untuk pertama kalinya dalam hampir empat tahun pada kuartal terakhir, hal ini dipengaruhi oleh lemahnya pertumbuhan penjualan pada bisnisnya di Timur Tengah, di tengah krisis yang terjadi di Timur Tengah, gelombang boikot yang dipicu oleh dukungan cabang perusahaan di Israel terhadap serangan tentara di Gaza.
Perusahaan makanan cepat saji raksasa ini adalah salah satu dari beberapa merek Barat yang menyaksikan protes dan kampanye boikot karena posisinya yang pro-Israel dalam perang di Gaza.
Baca Juga: Amnesty International Sebut Israel Lakukan Genosida di Gaza
Penjualan merek di pasar pengembangan internasional yang dilisensikan oleh McDonald’s meningkat 0,7 persen pada kuartal terakhir, jauh lebih rendah dari perkiraan pertumbuhan sebesar 5,5 persen, menurut data dari London Stock Exchange Group.
Pada Januari, CEO McDonald’s, Chris Kempczinski, mengatakan sejumlah pasar di Timur Tengah dan negara lain di luar kawasan tersebut mengalami dampak nyata terhadap bisnis akibat perang di Gaza, selain itu mereka juga mengklaim masyarakat mendapatkan “informasi yang salah” tentang merek tersebut. (T/B03/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Yordania Kecam Upaya Israel Duduki Wilayah Suriah