New Delhi pulih dari kekerasan selama beberapa hari yang digambarkan sebagai yang terburuk dialami ibu kota India itu dalam beberapa dasawarsa.
Hingga Jumat, 28 Februari 2020, sedikitnya 37 orang telah tewas dan lebih dari 200 lainnya terluka sejak kerusuhan dimulai pada hari Ahad (23/2) di sebagian besar wilayah berpenduduk Muslim di timur laut Delhi.
Protes terhadap undang-undang kewarganegaraan baru, yang digambarkan oleh para kritikus “memecah belah, diskriminatif dan bertentangan dengan konstitusi sekuler negara itu”, meletus pada bulan Desember 2019 dan diikuti oleh orang-orang dari semua agama dan minoritas di seluruh India.
Pemerintah nasionalis Hindu pimpinan Perdana Menteri Narendra Modi telah dikritik karena gagal memadamkan kekerasan sepekan akhir Februari 2020. Partai-partai oposisi menyerukan pengunduran diri Modi yang dinilai bertanggung jawab atas penyimpangan keamanan.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Pemicu kekerasan
Kerusuhan itu dipicu setelah aksi damai selama berpekan-pekan di New Delhi menentang UU Amandemen Kewarganegaraan (CAA) yang mendiskriminasi umat Islam, diserang oleh gerombolan Hindu-nasionalis.
Beberapa bagian ibu kota menjadi pusat kekerasan pada Ahad, 23 Februari, setelah seorang politisi pemimpin Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa memperingatkan umat Islam agar tidak melanjutkan aksi duduk atau menghadapi risiko kemarahan para pendukung BJP.
Selama empat hari berikutnya, Karawal Nagar, Seelampur, Maujpur, Bhajanpura, Vijay Park di Delhi timur laut, Jafrabad, Chandbagh, Mustafabad dan Yamuna Vihar menyaksikan bentrokan sengit antara umat Hindu dan Muslim.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Korban Jiwa
Kekerasan sejauh ini telah merenggut nyawa setidaknya 37 orang dan menyebabkan lebih dari 200 orang terluka. Baik warga Hindu dan Muslim telah menjadi korban. Dikatakan, banyak orang yang mati karena luka tembak.
Selain pertempuran jalanan, ada juga penghancuran besar milik umum dan pribadi selama empat hari, dengan rumah-rumah, toko-toko dan masjid dibakar.
Para jurnalis mengunggah insiden itu di media sosial ketika massa memaksa warga yang didatanginya mengungkapkan apa agama mereka, termasuk orang yang hampir dipaksa untuk melepaskan celana panjangnya, sebuah metode yang digunakan untuk mengidentifikasi pria Muslim dalam episode kekerasan komunal sebelumnya di negara mayoritas Hindu itu.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Sebelum pecahnya kekerasan terbaru di Delhi, laporan media lokal mencatat, setidaknya 30 kematian terkait dengan protes anti-CAA selama berbulan-bulan, kebanyakan korban ada di Uttar Pradesh, negara bagian utara yang dihuni oleh populasi Muslim yang besar.
Polisi telah dituduh tidak bertindak ketika gerombolan Hindu mengamuk, membunuh orang dan merusak properti, termasuk masjid. Namun, polisi dan pemerintah membantah tuduhan itu.
Bagaimana reaksi pihak berwenang?
Di lingkungan di seberang timur laut Delhi, polisi memberlakukan hukum era kolonial Inggris pada hari Selasa, yang disebut Bagian 144, yang melarang pertemuan lebih dari empat orang di seluruh negara bagian.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Ketika angka kematian meningkat, Sonia Gandhi, presiden sementara partai oposisi utama, Kongres Nasional Hindu, mengkritik pemerintah federal dan lokal karena menjadi “penonton bisu” terhadap kekerasan.
Gandhi menyerukan pengunduran diri segera Menteri Dalam Negeri Amit Shah, seorang pendukung kuat CAA.
Sementara itu, Ketua Menteri Delhi Arvind Kejriwal menuntut agar pemerintah federal memanggil tentara setelah menggambarkan situasi itu “mengkhawatirkan”.
Setelah tiga hari diam, Modi menyerukan agar ketenangan, “perdamaian dan harmoni” dipulihkan.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
“Saya mengimbau saudara dan saudari saya di Delhi untuk menjaga perdamaian dan persaudaraan setiap saat. Penting bahwa ada ketenangan dan keadaan normal dipulihkan paling awal,” tulisnya di Twitter.
Apa itu UU CAA?
Disahkan pada bulan Desember 2019, Undang-Undang Amendemen Kewarganegaraan India (CAA) memudahkan jalan bagi non-Muslim dari negara tetangga mayoritas Muslim untuk mendapatkan kewarganegaraan India.
Ini bertujuan memberikan kewarganegaraan kepada orang-orang Hindu, Parsis, Sikh, Buddha, Jain, dan Kristen yang “dianiaya”, yang tiba di India sebelum 31 Desember 2014, dari Bangladesh, Pakistan atau Afghanistan.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Undang-undang tersebut dilihat oleh oposisi mendiskriminasi umat Islam dan telah memperdalam kekhawatiran bahwa pemerintahan Modi merusak tradisi sekuler India dan memaksakan agenda nasionalis Hindu pada negara.
Sejak memenangkan masa jabatan kedua tahun lalu, pemerintah Modi telah mencabut otonomi parsial Kashmir, satu-satunya negara bagian mayoritas Muslim di India. Modi juga mengatakan ingin melakukan pendaftaran warga negara secara nasional untuk menyingkirkan “penyusup” yang akan mengancam warga Muslim pendatang yang tidak memiliki dokumen sah.
Namun, BJP membantah memiliki niat jahat terhadap 180 juta Muslim India. (AT/RI-1/P2)
Sumber: Al Jazeera
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin