Oleh: Imam Shamsi Ali/Presiden Nusantara Foundation & Presiden Muslim Foundation of America, Inc.
Ahad 24 September yang baru lalu, masyarakat Muslim kota New York dan Tri State Area (New York, New Jersey dan Connecticut) melangsungkan perhelatan akbar tahunannya. Barangkali inilah satu-satunya kegiatan Muslim di bagian timur Amerika yang bersifat lintas etnis, ras dan latar belakang negara asal. Acara itu adalah parade tahunan komunitas Muslim yang lebih dikenal dengan The Annual United America Muslim Day Parade. Acara ini dikelolah oleh sebuah yayasan yang juga saya pimpin saat ini sebagai presidennya, Muslim Foundation of America, Inc.
Perhelatan besar ini dimulai sejak tahun 1985 jauh sebelum saya sendiri menginjakkan kaki di bumi Amerika. Itu berarti sudah sekitar 33 tahun yang lalu. Tapi parade tahunan yang kemarin itu adalah yang ke 32 karena di tahun 2001 parade ini dibatalkan disebabkan serangan terror 11 September di kota New York tahun itu. Saya sendiri mulai bergabung dengan parade ini di tahun 1997 dan menjadi ketua pelaksana di tahun 1998. Pada tahun 2002 setahun setelah serangan terror itu tak seorang pun yang berminat, atau tepatnya berani, untuk memimpin parade tahun itu. Maka dengan terpaksa dan berat hati saya kembali mengambil alih kepemimpinan parade setahun setelah serangan terror itu.
Sejak saya menjadi ketua parade Muslim di kota dunia ini, saya merasakan berat dan banyak tantangan yang dihadapi. Mulai dari kompetisi internal komunitas Muslim, di mana masing-masing kelompok merasa paling mampu dan berhak menjadi pemimpin. Persaingan ini nampak lebih kental terlihat di antara tiga kelompok mayoritas Muslim New York; Arab, Asia Selatan dan Afro Amerika (kulit hitam). Maka ketika ada seseorang yang lain dari ketiga komunitas mayoritas itu, memang diharapkan bisa menjadi penyambung ketiga komunitas itu. Di situlah awalnya saya kemudian diminta atau tepatnya dipaksakan untuk menjadi ketua parade ini.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Ternyata tantangan itu tidak juga kunjung selesai. Belakangan tumbuh tuduhan lain bahwa ini adalah parade komunitas Muslim Pakistan untuk tujuan politik tertentu. Karena memang hampir setiap tahun peserta terbesar adalah Pakistan dan Asia Selatan termasuk Bangladesh.
Ada juga yang mempertanyakan penamaan parade ini dengan Muslim Parade. Karena semua parade yang ada di kota ini hampir tidak ada yang memakai nama agama tertentu. Misalnya parade Kristen atau Katolik, parade Yahudi, parade Hindu, dan seterusnya. Lalu kenapa ada panamaan itu dengan asosiasi agama (Islam)?
Permasalahan lain yang timbul juga adalah aspek hukum fiqhiyahnya. Apakah parade ini dapat diterima sebagai sesuatu yang Islami? Atau apakah parade ini masuk dalam kategori inovasi yang dilarang dalam agama (bid’ah)?
Demikian seterusnya. Parade ini menghadapi tantangan-tantangannya dari waktu ke waktu dan dalam bentuk yang berbeda. Bahkan komunitas Syiah d New York ikut bersuara dengan menuduh bahwa parade ini adalah parade wahabi (Saudi) sebagai simbol permusuhan kepada komunitas Syiah (Iran).
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Unconventional way
Ketika saya menjadi ketua parade Muslim di tahun 1998, saya melakukan beberapa perubahan yang justeru dinilai agak ekstrim oleh sebagian. Saat itu isu terbesar adalah isu politik antara Saudi yang dituduh mewakili kelompok wahabi dan Iran yang memang menganut Syiah.
Setelah memikirkan tantangan-tantangan yang komunitas Muslim hadapi di Amerika saya berkesimpulan bahwa sangatlah tidak bijak untuk terpecah, sebagai umat, walau memang ada perbedaan-perbedaan fundamental itu. Antara Sunni dan Syiah misalnya, terdapat perbedaan mendasar di antara kedua kelompok ini. Tapi karena di hadapan kita adalah non Muslim yang perlu diberikan pemahaman akan kebersamaan umat Muhammad SAW, saya kemudian terpikir mengikutkan komunitas Syiah dalam parade ini.
Tapi ketika saya memunculkan ide itu para Imam dari kalangan Sunni banyak yang protes. Apalagi mereka yang berasal dari Asia Selatan (Pakistan, India dan Bangladesh). Maka tantangan saya selanjutnya adalah meyakinkan mereka bahwa parade ini adalah simbol “wihdah” (kesatuan) umat. Minimal dari sudut pandang hubungan publik (public relations) komunitas Islam Amerika.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Untuk mewujudkan itu, langkah pertama yang saya lakukan adalah merombak kepanitiaan parade Islam. Di susunan kepanitiaan saya bentuk “religious advisory council” atau majelis penasehat keagamaan dengan mendudukkan imam-imam yang berpengaruh dari kedua pihak. Saat itu ada 4 komunitas berpengaruh di kota New York. Arab, Afro Amerika, Asia Selatan, dan satunya lagi khusus dari Komunitas Syiah. Dari keempat kelompok komunitas ini saya meminta kesediaan satu imam yang paling dihormati untuk duduk sebagai penasehat.
Alhamdulillah dengan izin-Nya juga parade Islam tahun itu menjadi sebuah perhelatan terbesar dalam sejarahnya. Apalagi kali ini dipimpin oleh seorang imam yang bukan dari kalangan mainstream (mayoritas) kelompok komunitas Muslim di kota ini.
Pilihan saya dalam menyatukan kelompok-kelompok Muslim di kota New York ini tentu bukan tidak menemukan tantangannya pula. Saya banyak mendapat pertanyaan, bahkan tuduhan, jika saya sudah syiah, atau minimal pro syiah dan Iran. Tapi saya juga menyadari bahwa tanpa keberanian untuk melakukan di luar jalur yang biasa (unconventional) parade Islam ini tidak bergerak ke mana-mana, baik secara kwantitas maupun kwalitas. Salah satu tujuan utama parade ini adalah untuk menyampaikan pesan ke Amerika bahwa umat Islam di negara ini esksis dan bersatu. Maka dengan menyatukan semua elemen besar kalangan umat menjadi bukti nyata dari pesan itu.
Keluar dari zona menyenangkan
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Setelah beberapa tahun saya dipercaya memimpin parade Islam di kota dunia ini, rasanya kembali terjadi stagnasi (kebekuan). Secara jumlah peserta mengalami naik turun. Kadang besar dan kadang juga menurun drastis. Tapi yang terpenting adalah parade Islam rasanya mengalami erosi makna dan misi. Saya merasakan sebuah kehampaan dalam acara ini. Seolah hanya sebuah perjalanan yang tidak mengenal arah tujuannya.
Oleh karenanya di tahun 2017 ini dengan segala permasalahan yang dihadapi umat ini, saya kembali ingin melakukan sesuatu yang lain. Kali ini tidak saja membawa bersama berbagai kelompok komunitas Muslim dalam acara besar ini. Tapi saya merasa masanya untuk komunitas ini berani keluar dari zona nyamannya (comfort zone) yang menidurkan.
Lebih 20 tahun saya tinggal di negara ini, mengalami pasang surut Islamophobia. Menyaksikan realita paradoks di hadapan mata. Bahwa di satu sisi Islam menghadapi tantangan yang luar biasa. Tapi di sisi lain diakui oleh semua bahwa Islam adalah agama dengan perkembangan tercepat. Tapi yang saya kemudian sadari adalah bahwa ternyata Islamophobia atau ketakutan kepada Islam itu dominannya disebabkan oleh “ketidak tahuan” (ignorance).
Tuduhan kepada agama ini dan pemeluknya beragam. Dari agama Timur Tengah dan padang pasir, keterbelakangan dan kemiskinan, kebodohan, kekerasan dan terorisme, hingga kepada tuduhan bahwa Islam itu adalah agama konflik dan perpecahan. Di mana ada konflik di situ ada Islam. Dan karenanya Amerika harus berhati-hati dengan Islam karenya hanya akan membawa konflik dan keterbelakangan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Apalagi pasca terjadinya kekerasan di sebuah kota negara bagian Virginia, Charlottesville, sebagai akibat langsung dari kemenangan Donald Trump dengan dukungan warga Amerika yang rasist. Bahkan sejak kampanye hingga menduduki Gedung Putih, Donald Trump mengambil berbagai kebijakan yang jelas merugikan segmen tertentu masyarakat Amerika. Secara umum pemerintahan Donald Trump dianggap minimal memberikan angin segar ke tendensi rasisme, khususnya dari kalangan White Supremacy, KKK dan New Nazi.
Secara khusus komunitas Muslim telah mengalami kekerasan cukup lama. Berbagai kasus hingga pembunuhan telah dialami oleh komunitas Muslim. Salah satunya yang masih teringat jelas adalah pembunuhan seorang imam di kota New York beberapa bulan lalu.
Mempertimbangkan semua ini, saya kemudian mengambil kebijakan untuk keluar dari zona nyaman parade Islam selama ini. Bahwa selama ini kita merasa nyaman dan aman berjalan bersama sesama Muslim. Bahkan karena merasa nyaman kita seringkali memilih untuk tidak peduli dengan persepsi dan perasaan orang lain di sekitar kita.
Pertama, saya menetapkan bahwa tema parade Islam tahun ini adalah “Building Bridges” (membangun jembatan). Pilihan ini sekaligus sebagai bentuk resistensi kepada kebijakan pemerintahan Donald Trump yang dinilai “Building Walls” (membangun dinding/pemisah) antar komunitas.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Kedua, saya mengambil kebijakan bahwa untuk pertama kali dalam sejarah parade Islam, kita akan mengundang pemimpin-pemimpin non Muslim untuk menjadi “Honorary Grand Marshal” (tamu kehormatan) dalam parade sekaligus menjadi pembicara-pembicara tamu.
Di luar perkiraan ternyata inisiatif ini mendapat sambutan yang luar biasa. Baik dari kalangan Muslim dan juga dari kalangan non Muslim. Tapi yang paling menggembirakan adalah bahwa untuk pertama kalinya parade Islam diberitakan oleh berbagai media mainstream Amerika, termasuk New York Times dan Daily News.
Sejujurnya saya akui bahwa memang salah satu tujuan strategi penting dari menghadirkan pemimpin non Muslim, khususnya Yahudi, di parade ini adalah untuk membawa parade ini dari parade komunitas menjadi parade nasional (diakui sebagai bagian dari Amerika). Dan dengan pengakuan ini berarti secara tidak langsung juga merupakan affirmasi pengakuan akan eksistensi komunitas Muslim sebagai bagian integral dari kota New York dan Amerika.
Perlu keberanian
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Pada akhirnya memang umat ini dituntut untuk berani dan mampu melakukan hal-hal di luar kebiasaannya (unconventional). Melakukan kebiasaan itu adalah hal biasa. Tapi melakukan hal-hal di luar yang biasa itu adalah luar biasa. Tentu dengan catatan bahwa unconventional thing (hal di luar kebiasaan) itu tetap berada dalam batas-batas al-Haq (kebenaran) yang kita yakini.
Tidak kalah pentingnya umat ini juga dituntut untuk mampu keluar dari zona nyamannya dan memulai langkah yanh lebih menantang. Salah satu zona nyaman kita adalah bekerjasama dengan sesama komunitas. Hal itu nyaman karena memang sudah demikian seharusnya dan tidak perlu ada kekhawatiran dan kecurigaan. Tapi di saat kita mampu keluar dari zona nyaman itu dan menjalin kerjasama dengan orang-orang yang berbeda dari kita maka itu adalah juga luar biasa.
Dan karenanya walau secara kwantitas jumlah peserta biasa saja, bahkan mungkin lebih kecil dari biasanya, saya menganggap parade Ahad lalu itu sangat istimewa. Keistimewaannya ada pada keberanian penyelenggara untuk melakukan hal-hal yang unconventional dan keberanian keluar dari zona nyaman dengan menghadirkan tokoh-tokoh agama sebagai Honorary Grand Marshal (tamu-tamu kehormatan) parade Islam itu.
Apakah umat menerima keputusan itu? Sebagaimana mestinya dalam sebuah kehidupan komunal di mana saja, ada yang setuju tapi ada pula yang tidak setuju. Saya sebagai ketua pelaksana justeru mengambil sisi positifnya. Bahwa perbedaan itu tidak saja merupakan fenomena demokrasi yang hidup. Tapi sejatinya perbedaan merupakan tanda-tanda kehidupan. Bukankah tanda-tanda tabiat alam yang hidup dihubungkan “ikhtilaf”? Lihat misalnya “ikhtilaf alsinatikum wa alwanikum” (perbedaan bahasa dan warna kulit). Juga “ikhtilaf al-lael wa an-nahaar” (pergantian siang dan malam).
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Oleh karenanya bangsa yang hidup adalah bangsa yang siap menerima perbedaan. Dan disaat bangsa menganggap perbedaan sebagai ancaman (threat) maka bangsa itu boleh jadi sedang berada di ambang kematiannya.
Bravo Muslim Parade! (R07/P1)
Mi’raj Islamic Agency (MINA)
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin