Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Niat Lillah, Sumber Keberkahan dalam Setiap Transaksi

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 3 jam yang lalu

3 jam yang lalu

0 Views

xr:d:DAF0NAF_iXs:3,j:8764414119933294018,t:23111504

DALAM kehidupan yang semakin kompetitif, niat seringkali menjadi hal yang terpinggirkan. Fokus pada keuntungan, pertumbuhan omzet, dan ekspansi usaha seringkali mengaburkan tujuan utama manusia diciptakan: beribadah kepada Allah. Padahal, dalam Islam, tidak ada satu pun aspek kehidupan yang luput dari bingkai ibadah, termasuk aktivitas ekonomi. Bisnis, jika dijalankan dengan niat lillah (karena Allah), bukan hanya menjadi jalan mencari nafkah, tetapi juga menjadi ladang amal yang luas.

Imam Al-Ghazali dalam karya monumentalnya Ihya’ Ulumuddin menegaskan bahwa niat adalah ruh dari setiap amal. Tanpa niat yang benar, amal sebesar apa pun tidak akan bernilai di sisi Allah. Beliau menjelaskan bahwa niat adalah pembedaan antara adat dan ibadah. Maka, berdagang tanpa niat lillah hanyalah aktivitas duniawi biasa. Namun, ketika disertai niat mencari rezeki halal, memberi manfaat, dan membahagiakan keluarga, aktivitas tersebut naik derajat menjadi ibadah.

Dalam perspektif Islam, tidak ada dikotomi antara dunia dan akhirat. Segala aktivitas, selama tidak melanggar syariat dan diniatkan karena Allah, dapat menjadi jalan ibadah. Termasuk dalam hal ini adalah kegiatan bisnis. Nabi Muhammad ﷺ sendiri adalah seorang pedagang sebelum diangkat menjadi Rasul. Bahkan, kejujuran, integritas, dan ketekunannya dalam berdagang menjadi salah satu sebab beliau mendapat gelar Al-Amin.

Bisnis yang diniatkan lillah menjadi refleksi dari penghambaan diri kepada Allah. Seorang pebisnis Muslim tidak hanya mencari keuntungan materi, tetapi juga berharap ridha Allah. Ia sadar bahwa setiap dirham yang ia hasilkan akan dimintai pertanggungjawaban. Dengan niat yang lurus, transaksi bisnis menjadi sarana menebar kebaikan, memperkuat ekonomi umat, dan membangun masyarakat yang adil serta berkeadaban.

Baca Juga: Jangan Jadi Generasi Rebahan

Keberkahan: Lebih dari Sekadar Keuntungan

Seringkali keberhasilan bisnis diukur dengan angka—berapa omzet, berapa cabang, dan seberapa besar aset yang dimiliki. Namun dalam Islam, keberkahan lebih dari itu. Keberkahan adalah bertambahnya kebaikan dalam suatu hal, baik secara lahir maupun batin. Bisa jadi seseorang tidak memiliki omzet miliaran, tapi hidupnya penuh ketenangan, keluarganya harmonis, anak-anaknya saleh, dan bisnisnya terus stabil.

Keberkahan tidak selalu terlihat, tetapi dapat dirasakan. Keberkahan menghadirkan rasa cukup (qana’ah), melahirkan rasa syukur, menjauhkan dari stres karena ambisi duniawi, serta menjaga hubungan yang sehat dengan pelanggan dan rekan bisnis. Seorang pengusaha yang menjalankan bisnisnya dengan niat lillah akan lebih mudah menerima ketetapan Allah—baik saat meraih untung maupun mengalami rugi. Ia tidak mudah gelisah, karena orientasinya bukan semata uang, tetapi keridhaan Ilahi.

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada tiap-tiap tangkai seratus biji.” (QS. Al-Baqarah: 261)

Ayat ini menunjukkan bahwa harta yang dikelola dengan niat baik dan digunakan untuk tujuan mulia akan dilipatgandakan keberkahannya. Bisnis yang dilandasi dengan niat lillah tidak akan sia-sia, bahkan meski hasilnya tampak kecil, karena Allah menilai dari niat dan ketulusan pelakunya.

Baca Juga: Generasi yang Terasing dari Nilai-Nilai Luhur Bangsa: Tantangan dan Solusi

Lebih dari itu, ayat ini menegaskan bahwa prinsip investasi dalam Islam bukan semata keuntungan duniawi, tetapi juga investasi akhirat. Dalam ekonomi Islam, keberkahan adalah parameter utama yang mendahului keuntungan.

Contoh Praktis Niat Lillah dalam Dunia Usaha

Pertama, Niat Memberi Nafkah Halal. Seorang pemilik toko kelontong yang berniat agar keluarganya makan dari rezeki yang halal dan tayyib, akan menjaga kejujuran dalam penimbangan, tidak mengambil keuntungan berlebih, serta menghindari produk haram. Ia sadar bahwa memberi makan keluarganya dengan rezeki halal adalah ibadah.

Kedua, Niat Membantu Sesama. Pengusaha konveksi yang sengaja mempekerjakan janda-janda atau ibu rumah tangga di sekitarnya karena ingin membuka lapangan kerja, adalah bentuk transaksi yang penuh keberkahan. Niat menolong orang lain akan menjadikan usahanya lebih dari sekadar sumber pemasukan.

Ketiga, Niat Menyebarkan Manfaat. Pebisnis teknologi yang menciptakan aplikasi edukatif untuk anak-anak Muslim dengan niat menanamkan nilai Islam sejak dini, meski keuntungannya tidak sebanding dengan aplikasi hiburan, tetap akan mendapatkan balasan besar dari Allah.

Baca Juga: Berniaga dengan Niat Lillah, Fondasi Bisnis Berkah

Aktivitas ekonomi bukan sekadar kerja mencari uang, tetapi dapat menjadi proses spiritual yang mendalam. Dalam transaksi bisnis yang dilandasi niat lillah, seseorang belajar tentang kejujuran, amanah, sabar, syukur, bahkan tawakal. Bisnis mengajarkan bahwa rezeki bukan semata hasil kerja keras, tetapi juga karunia Allah.

Setiap tantangan dalam bisnis adalah peluang untuk meningkatkan kualitas ruhani. Ketika stok barang menumpuk, saat pelanggan menghilang, atau ketika modal menipis—itu semua adalah ujian kesabaran dan keimanan. Niat lillah menjadikan semua itu tidak sia-sia, bahkan bernilai pahala jika dihadapi dengan benar.

Salah satu bahaya terbesar dalam dunia bisnis adalah penyimpangan niat. Seorang pebisnis yang awalnya ingin membantu sesama, bisa berubah menjadi tamak jika ia tidak terus memperbarui niatnya. Oleh karena itu, para ulama mengajarkan pentingnya muhasabah—evaluasi diri secara berkala. Setiap Muslim dianjurkan untuk memeriksa kembali tujuannya, terutama dalam urusan duniawi.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Baca Juga: Hari Pendidikan Nasional dan Konsep Pendidikan dalam Islam

Hadis ini tidak hanya berlaku untuk ibadah mahdhah seperti shalat atau puasa, tetapi juga untuk setiap aktivitas manusia, termasuk transaksi bisnis.

Niat yang benar akan melahirkan etika bisnis yang luhur. Beberapa prinsip yang mencerminkan orientasi lillah dalam bisnis antara lain: Kejujuran: Tidak ada manipulasi harga, tidak menyembunyikan cacat barang. Amanah: Menjaga janji, tepat waktu dalam pengiriman, dan tidak ingkar. Keadilan: Tidak menzalimi mitra atau karyawan, membayar upah dengan layak. Transparansi: Terbuka dalam proses transaksi, sehingga tidak ada yang dirugikan. Saling Ridha: Mengedepankan kesepakatan yang saling menguntungkan.

Etika inilah yang menjadi daya tarik utama bisnis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di masa muda. Banyak pelanggan yang loyal bukan karena harga murah, tetapi karena akhlak beliau yang mulia.

Keberkahan dalam Skala Mikro dan Makro

Niat lillah juga memberikan dampak sistemik. Dalam skala mikro, keberkahan dirasakan oleh pelaku usaha dan keluarganya. Dalam skala makro, niat yang tulus dari pelaku bisnis akan menciptakan ekosistem ekonomi yang adil, berkeadaban, dan berkeberlanjutan.

Baca Juga: Perjuangan Buruh Melawan Kebijakan Kerdil

Bayangkan jika seluruh pelaku usaha Muslim berniat membangun ekonomi umat, bukan hanya memperkaya diri sendiri. Akan terbentuk jaringan usaha yang saling membantu, bukan bersaing destruktif. UMKM akan diberdayakan, pengangguran akan berkurang, dan zakat akan mengalir deras membantu mustahik. Semua dimulai dari niat.

Banyak seminar bisnis membahas strategi pemasaran, manajemen, atau branding. Itu penting, tapi dalam Islam ada hal yang lebih utama: keberkahan. Dan keberkahan lahir dari niat yang benar, serta komitmen menjalankan usaha sesuai syariat.

Sukses bisnis dalam Islam bukan hanya tentang menjadi besar, tapi menjadi baik. Keuntungan besar tapi diperoleh dari cara yang haram akan membawa petaka. Sebaliknya, untung sedikit tapi dari cara halal dan niat lillah akan membawa keberkahan yang tak ternilai.

Bayangkan jika seseorang meninggal dalam kondisi sedang menjalankan bisnis yang niatnya lillah, menjalankan transaksi yang jujur, membantu pelanggan dengan hati, dan memberi manfaat untuk banyak orang. Maka, setiap kegiatan itu akan terus menjadi amal jariyah. Bahkan setelah wafat, bisnis itu bisa terus menyalurkan kebaikan jika diwariskan dengan benar.

Baca Juga: Melepas Dunia di Tanah Suci, Pelajaran Ikhlas dari Rangkaian Ibadah Haji

Inilah makna sejati dari bisnis sebagai jalan menuju surga. Bukan karena besar omzetnya, tapi karena setiap aktivitasnya terikat pada niat untuk mencari ridha Allah.

Di tengah persaingan bisnis yang ketat, di mana godaan untuk menempuh jalan pintas sangat besar, niat menjadi benteng utama. Niat lillah harus terus dijaga dan diperbarui agar tidak tergelincir pada ambisi duniawi semata.

Mari kita ingat kembali pesan Rasulullah ﷺ dan para ulama: bahwa amal tergantung niat. Jika niat kita benar, maka sekecil apa pun usaha yang kita lakukan akan bernilai besar di sisi Allah. Dan keberkahan adalah karunia yang hanya Allah berikan kepada hamba-Nya yang ikhlas.

Semoga setiap transaksi yang kita lakukan menjadi jalan untuk mendekat kepada Allah, bukan menjauh dari-Nya. Dan semoga bisnis kita bukan hanya membawa untung, tapi juga berkah yang melimpah, dunia dan akhirat.[]

Baca Juga: Buruh dalam Perspektif Islam: Sejarah, Hak, dan Relevansinya di Era Modern

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

MINA Preneur
Kolom
Indonesia