Nilai Rabbani dan Pengaruhnya Pada Akhlak Ekonomi Muslim

Taufiqurrahman, Redaktur Arab Kantor Berita MINA

Tujuan aktifitas tidak terletak pada kesejahteraan duniawi semata. Kesejahteraan hanyalah salah satu sarana meraih kebahagiaan akhirat. Ekonomi dalam Islam bertujuan untuk mencapai kemuliaan hidup di akhirat. Kesejahteraan yang dinikmati harus digunakan untuk semakin dekat dengan Allah. Mulia di dunia, mulia di akhirat. (Rais Abdullah, 2020)

Untuk mencapai tujuan itu Islam membuat aturan-aturan yang membatasi kegiatan ekonomi muslim dalam koridor nilai-nilai amanah, kejujuran, keadilan, kedermawanan, kesetaraan, keseimbangan, kesederhanaan dan nilai moral lainnya. Nilai-nilai itu diikat oleh satu nilai utama yaitu nilai Rabbani.

Semua kegiatan ekonomi; produksi, distribusi dan konsumsi, dalam Islam dibangun di atas dasar nilai-nilai Rabbani dan bertujuan untuk menegakkan nilai-nilai itu (Qardhawi, 1995).

Upaya menegakkan nilai-nilai mulia itu ke dalam kegiatan ekonomi melalui penerapan syariat Islam dibangun di atas kesadaran bahwa dia adalah hamba dari Dzat Yang Maha Esa, Allah Ta’ala. Kesadaran kelak Allah akan memperhitungkan setiap perilaku hambaNya. Menjanjikan untuknya pahala karena ketaatannya terhadap perintahNya dan mengancamnya dengan siksa karena dosa memaksiatiNya.

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (277) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ (279)

{Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (277) Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman (278) Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (279) (QS Al Baqarah 277 – 279)

Ketiga ayat di atas menunjukan keutamaan zakat dan keburukan riba. Zakat yang merupakan rukun ke tiga Islam adalah salah satu aktifitas ekonomi utama umat Islam. Allah menyandingkan antara zakat sebagai penguat ikatan antar manusia dengan shalat sebagai penguat ikatan antara manusia dengan Allah. Dia menjanjikan pahala dalam penunaian zakat.

Zakat bukan hanya aktifitas distribusi harta semata. Lebih dari itu ada nilai-nilai keadilan, kedermawanan, kesetaraan dan keseimbangan di dalamnya. Bagi muzakki zakat berfungsi mensucikan jiwanya dari sifat-sifat buruk (akhlak buruk) seperti kikir (Ahmad Muhammad, 2012) dan membersihkan hartanya dari keharaman serta menumbuhkannya. Dengan itu jiwa dan hartanya bertumbuh dan suci. Pertumbuhan yang suci ini mendatangkan ridha Allah Ta’ala.

Jika zakat menumbuhkan, sebaliknya riba merupakan kanker bagi perekonomian. Alih-alih menumbuhkan, riba justru meruntuhkan perekonomian. Ada unsur kedhaliman, ketidakpedulian dan ketimpangan di dalamnya. Karena itulah Allah mengancam pelakunya dengan perang. (Marwini, 2017) Az Zarqa, Vol. 9, No. 1, Juni 2017. Kontroversi Riba Dalam Perbankan Konvensional dan Dampaknya Terhadap Perekonomian.

Mereka yang terlibat dalam aktifitas riba adalah orang-orang yang kikir, berhati sempit, berhambakan harta, saling berebut materi dan berbagai sifat hina lainnya. (Sa’id al Qahthani, 2010).

Poin penting dari dua contoh aktifitas ekonomi di atas adalah adanya kesadaran ukhrawi berupa janji pahala dan ancaman siksa yang mendorong seorang muslim mewujudkan akhlak ekonomi Islam. Ia menghindari riba bukan hanya karena tidak sesuai dengan prinsip kejujuran, keadilan dan kedermawanan namun juga karena ketiadaan nilai-nilai itu berakibat jauhnya dirinya dari Allah Ta’ala dan dekatnya dengan siksaNya.

Seorang muslim menunaikan zakat bukan hanya karena ingin mewujudkan prinsip keadilan, kedermawanan, kesetaraan & keseimbangan. Nilai-nilai mulia itu ia sadari menjadi sarana mendekatkan dirinya dengan Allah Ta’ala dan menjauhkannya dari siksaNya. Itulah tujuan utamanya.

Demikian halnya dengan semua aktifitas ekonomi yang mencakup produksi, distribusi dan konsumsi. Islam mengatur semua aktifitas itu dalam koridor prinsip-prinsip mulia di atas dan jauh dari kedhaliman, gharar (menipu) dan riba. Sehingga dengan ketaatan seorang muslim terhadap syariat Islam yang mengatur itu membuatnya dekat dengan Allah Ta’ala.

Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

“التاجر الصدوق الأمين مع النبيين والصديقين والشهداء والصالحين”

“Seorang pedagang yang jujur dan dipercaya kelak (di hari kiamat) bersama para Nabi, orang-orang yang jujur, para syuhada dan orang-orang shalih (di surga).” (HR At Tirmidzi dari Abu Said al Khudry)

Maka aktifitas ekonomi bagi muslim bukan untuk urusan dunianya saja. Adanya prinsip-prinsip mulia tersebut mencirikan adanya sisi ukhrawi di dalamnya. Sehingga perintah untuk berdagang secara syar’i, misalnya, ditaati bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan duniawi semata. Lebih jauh dari itu untuk mewujudkan nilai-nilai mulia tersebut yang mengantarkan dirinya kepada ridha Allah Ta’ala.

Seorang muslim melakukan produksi karena perintah Allah (Qardhawi, 1995) :

هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ (15)

“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS Al Mulk ayat 15)

Seorang muslim melakukan aktifitas konsumsi karena perintah Allah :

يا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (168)

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS Al Baqarah ayat 168)

Inilah keunggulan ekonomi Islam. Ia merupakan sistem yang dibangun di atas dasar syar’iat dengan segala ciri khasnya; adil, setara dan seimbang. Ia menyeimbangkan urusan duniawi dan ukhrawi. Menyeimbangkan kehidupan individu dan masyarakat. Menyeimbangkan antara ruh dan jasad, antara akal dan hati. (Ahmad az Zein, 2018).

Sumber :

  • Abdullah, Rais. (2020). Al Iqtishad al Islamy, Mabadiuhu, Khashaishuhu, wa al Farq bainahu wa baina an Nudhum al Iqtishadiyah al Ukhra. Diakses dari : https://www.academia.edu/29533134/
  • Al Qardhawi, Yusuf. 1995. Daur al Qiyam wa al Akhlaq fi al Iqtsihad al Islamy. Kairo : Maktabah Wahbah.
  • Muhammad, Ahmad. (2012). Az Zakat wa Atsaruha al Iqtishadi wa al Ijtima’iy fii Mu’alajati at Tadakhum an Naqdy wa I’adati Tauzi’ ad Dakhl. Majallah Kulliyah asy Syari’ah wa al Qanun, 14 (2758-2759), 451 – 590.
  • (2017). Kontroversi Riba Dalam Perbankan Konvensional dan Dampaknya Terhadap Perekonomian. Jurnal Hukum Islam dan Bisnis Az Zarqa, 9 (1).
  • Al Qahthani, Sa’id. 2010. Ar Ribaa Adhraruhu wa Aatsaruhu fi Dloui al Kitab wa As Sunnah. Riyadh : Daar ar Rusyd.
  • Az Zein, Ahmad. (2018). Atsaru at Tasyri’at al Iqtishadiyah al Islamiyyah fi Binaai Iqtishad ad Daulah. Khourtum : Markaz Tashil al ‘Uluum wa Kulliyat al Iqtishad wa al ‘Uluum al Idariyah.