Oleh: Shazia Yousuf, English News Desk dari Anadolu Agency di Kashmir
Di sebuah toko kayu yang kumuh di pasar Nawab Bazar, ibukota Srinaga, Kashmir, Muzaffar Ahmad Jan (29) sibuk memilah tumpukan kulit Karakul di sudut tokonya.
Topi Karakul yang terbuat dari kulit domba, sedang populer di kalangan politisi Kashmir. Jan kini sedang membuat model topi yang sering dipakai oleh pemimpin perlawanan senior Kashmir, Syed Ali Shah Geelani.
“Geelani menelepon saya beberapa hari yang lalu dan memesan,” kata Jan, bangga. “Saya membuat semua topi Karakul untuknya, dan dia bukan satu-satunya pemimpin. Saya membuat topi untuk hampir semua pemimpin dan politisi Kashmir yang suka memakai Karakul.”
Baca Juga: Tak Ada Tempat Aman, Pengungsi Sudan di Lebanon Mohon Dievakuasi
Kata “Qaraqul” berarti bulu hitam di Turki. Bulu yang digunakan untuk membuat topi diambil dari domba Astrakhan, Broadtail, Qaraqulcha atau Persia.
Toko Jan adalah salah satu dari beberapa outlet yang tersisa di kota yang terus membuat topi Karakul, dari model Rusia, Turki, Afghani, Persia hingga Jinnah.
Sedangkan tutup kepala tradisional Kashmir India seperti turban, populer di kalangan kelas atas, dan songkok yang masih populer di kalangan kurang mampu. Adapun topi Karakul diperkenalkan sebagai penutup kepala untuk pemimpin dan politisi, simbol kebanggaan dan pamor.
Di Pakistan dan Kashmir yang dikuasai India, Karakul yang populer adalah cap Jinnah, dinamai dari pendiri Pakistan, Mohammad Ali Jinnah. Di India, versi yang sedikit berbeda disebut cap Gandhi.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Di Nepal, di mana orang-orang keturunan Indo-Arya memakainya, Karakul disebut Topi Dhaka. Demikian pula di Afghanistan, Karakul tetap merupakan bagian penting dari pakaian kerajaan, sejak mantan raja negara Amanullah Khan (1892-1960) memakainya.
Bahkan saat ini, politisi dan topi Karakul berjalan beriringan di Kashmir India. Jan mengatakan, kepopuleran topi Karakul memuncak dalam masalah politik.
“Kadang-kadang seorang politikus, khusus memesan topi Karakul-nya lebih tinggi dari beberapa politisi saingannya. Itu sebabnya saya selalu bertanya tentang ketinggian topi (kepada pemesan),” kata Jan.
Domba Karakul pertama kali dilaporkan sejak berabad-abad lalu dari padang pasir Kyzylkum, sekitar Black Lake dekat kota kuno Bukhara, sekarang bernama Uzbekistan.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Industri kulit Karakul menyebar ke Afghanistan, Namibia dan ke bagian Asia Tengah. Saat ini Afghanistan adalah produsen Karakul terbesar di dunia.
Meskipun Karakul digunakan secara internasional oleh merek-merek desainer terkenal untuk membuat topi, tas, jaket, mantel panjang dan sepatu, perdagangannya mengundang kontroversi dan dihujani pertanyaan-pertanyaan dari berbagai organisasi Hak Hewan, karena domba Karakul segera dibunuh setelah mereka lahir, sementara yang lain mengklaim janin domba Karakul diaborsi untuk menghasilkan kulit Karakul yang bagus.
Jan mengakui, biaya dan kualitas kulit Karakul lebih tinggi bila dari seekor anak domba muda, karena kulit Karakul lebih tipis dan bersinar. Namun dia mengatakan, kulit diambil dari janin yang diaborsi secara alami.
“Seandainya ada unsur manusia yang terlibat dalam proses (aborsi), saya tidak akan membuat begitu banyak topi Karakul bagi para pemimpin agama dan ulama Islam,” kata Jan, menunjukkan bahwa tidak hanya politisi yang memakai tutup kepala buatannya.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
“Kami mendapatkan kulit sebagian besar dari Afghanistan dan Asia Tengah,” kata Jan.
Dalam masyarakat Kashmir, mengenakan topi Karakul adalah tindakan simbolis yang tidak populer di kalangan pemuda, tetapi tetap menjadi tradisi di kalangan sebagian pengantin laki-laki, yang masih memakai topi Karakul ketika mendatangi rumah mertuanya pertama kali.
“Saya diberi topi Karakul oleh ayah saya pertama kali ketika berumur 14 tahun,” kata penyair dan sejarawan kota tua Srinagar, Zareef Ahmad Zareef. “Pada saat itu, topi adalah simbol kedewasaan dan ketenangan serta martabat tertentu kepada remaja yang memakainya.”
Tapi kini tak satu pun anak-anak yang memakai topi Karakul dan generasi tua bertanggung jawab atas serbuan fashion barat yang menghancurkan tradisi lokal.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
“Sekarang semuanya memakai jeans dan tidak ada yang mau menjadi dewasa terlihat mirip orang tua. Sama dengan banyak budaya dan tradisi kita, topi Karakul juga sedang sekarat,” kata Zareef.
Meskipun konsumen topi Karakul menyusut di Kashmir, namun Jan mengatakan, permintaan dari luar daerah meningkat pesat.
Hal itu disebabkan para pengrajin topi mengirim saham ke pasar luar dan berbagai pameran, atau bekerja secara online menawarkan layanan pembuatan topi Karakul.
Jan adalah satu-satunya orang dari generasi keluarga besarnya yang memutuskan untuk meneruskan bisnis keluarga yang sudah puluhan tahun.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Ribuan kulit Karakul telah melewati tangan Jan menjadi produk siap pakai, tapi ia sendiri tidak pernah melihat domba Karakul dengan matanya sendiri. Karenanya dia bercita-cita suatu saat nanti akan melakukan perjalanan ke Afghanistan, pusat pengembangbiakan domba Karakul.
“Saya ingin melihat domba Karakul dengan mata saya. Saya ingin melihat seperti apa hewan-hewan ini. Saya dan nenek moyang saya telah makan dari mereka,” ujarnya. (T/P001/R11)
Sumber: Anadolu Agency
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel