Nova Iriansyah: Sawit di Aceh Tak Merusak Lingkungan, Walhi Beberkan Fakta Lapangan

Banda , MINA – Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh, saat diwawancara Rabu (17/7) oleh sejumlah jurnalis dalam kunjungannya ke desa Sikundo, kabupaten Aceh Barat menegaskan, tidak ada perkebunan kelapa sawit di Provinsi Aceh yang merusak lingkungan.

Dirinya menyesalkan adanya informasi negatif yang beredar di luar negri, terkait kondisi perekebunan sawit di Aceh.

Nova menambahkan, isu sawit yang merusak lingkungan membuat harga sawit milik petani di Aceh anjlok saat dijual ke Eropa.

“Tidak mungkin masyarakat Aceh merusak lingkungan, kalau perusakan lingkungan dilakukan, maka minyak kelapa sawit petani Aceh tidak akan dibeli oleh negara luar,” kata Nova Iriansyah.

Menurut Nova, isu kerusakan lingkungan akibat sawit hanya fitnah belaka. Dampak yang dilancarkan pihak tertentu terhadap komoditas kelapa sawit di Aceh, juga telah berimbas pada turunnya harga jual minyak kelapa sawit (CPO) milik petani yang ada di daerah ini.

“Sawit di Aceh ditolak oleh negara luar termasuk di kawasan negara Uni Eropa,” kata Nova.

Ia meyakini rendahnya harga jual minyak kelapa sawit milik masyarakat terjadi akibat fitnah soal lingkungan.

Total luas lahan kebun kelapa sawit di Aceh mencapai lebih dari 140 ribu hektare lebih, sebanyak 51 persen kebun kelapa sawit adalah milik rakyat atau petani. Sedangkan sisanya sebanyak 49 persen, merupakan lahan perkebunan milik perusahaan atau pengusaha.

Ia mengaku bersama pejabat kementerian RI, terbang ke  Belanda, guna meyakinkan para investor, kalangan pengusaha, dan pemerintah di kawasan Uni Eropa tersebut bahwa kelapa sawit (CPO) dari  Aceh  ditanam tanpa merusak lingkungan.

Ia berharap kampanye negatif terhadap kelapa sawit yang ditanam oleh masyarakat Aceh tidak lagi terjadi, karena justru merugikan masyarakat di daerah ini karena berimbas terhada turunnya harga jual dan tidak laku di pasar internasional.

Pernyataan Nova tersebut, justru dibantah Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Aceh , menurutnya hal tersebut berbanding terbalik dengan fakta di lapangan yang ditemukan .

Menurutnya, sebahagian besar perkebunan kelapa sawit dikuasai oleh perusahaan, hanya sebahagian kecil saja milik masyarakat. Mirisnya, selama ini masyarakat lebih banyak menjadi buruh di perkebunan-perkebunan kelapa sawit milik perusahaan.

Secara penguasaan lahan, komoditas kelapa sawit menduduki peringkat pertama dalam sektor perkebunan di Aceh, mencapai 39,43%. Dibandingkan dengan komoditas karet 15,29%, kopi 12,28%, kelapa 10,34%, kakou 10,34%, kemudian 7,04% untuk komoditas pala, kemiri, cengkeh, dan tebu.

Walhi Aceh mencatat, penguasaan ruang kawasan untuk sektor perkebunan mencapai 1.195.528 ha, terdiri dari perkebunan besar 385.435 ha dan perkebunan rakyat 810.093 ha.

Dari jumlah tersebut, Kabupaten Nagan Raya menempati urutan pertama penguasaan lahan untuk perkebunan seluas 82.252 ha (20,91%), kemudian disusul Kabupaten Aceh Timur 60.592 ha (15,41%), dan Kabupaten Aceh Singkil 55.441 ha (14,10%).

Muhammad Nur menambahkan, kehadiran perkebunan kelapa sawit di Aceh menjadi ancaman bagi masyarakat yang berada disekitar HGU milik perusahaan.

Kasus yang kerap kali terjadi adalah konflik lahan masyarakat dengan perusahaan. Selain itu juga terganggunya keseimbangan ekosistem yang berdampak buruk bagi kestabilan lingkungan sekitar.

Pembukaan lahan dengan cara membakar masih sering dilakukan sehingga menimbulkan dampak yang serius bagi pencemaran lingkungan. Tidak hanya itu, terganggunya koridor satwa memicu terjadinya peningkatan konflik satwa di tengah masyarakat.

Dalam rentan waktu lima tahun terakhir, Walhi Aceh mendapatkan sejumlah permasalahan terkait perkebunan kelapa sawit di Aceh, seperti sengketa lahan masyarakat dengan HGU perkebunan kelapa sawit yang sampai hari ini belum kunjung selesai dan telah berdampak serius terhadap hilangnya wilayah kelola rakyat di Aceh, seperti yang terjadi antara masyarakat Trumon Timur dengan PT. Asdal Prima Lestari di Aceh Selatan, dan beberapa kasus lainnya di Abdya, Bireuen, Aceh Tamiang, Nagan Raya, dan Aceh Barat.

Dampak yang dirasakan masyarakat tidak hanya hilang wilayah kelola, juga terjadi ancaman dan intimidasi terhadap warga yang mencoba memperjuangkan haknya, bahkan berujung pada tuntutan hukum.

Begitu pula halnya dengan pengelolaan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di Aceh yang banyak dikeluhkan oleh masyarakat. WALHI Aceh mendapatkan sejumlah laporan dari masyarakat terhadap keluhan tersebut, seperti dugaan pencemaran limbah PKS yang ada di Birem Banyeum Aceh Timur, Nagan Raya, Subulussalam, dan Aceh Singkil.

Dimana dampak dari pencemaran tersebut telah mencemari sumber air masyarakat, mengganggu kehidupan masyarakat akibat bau tidak sedap, serta gagal panen.

Selain permasalahan yang kerap bersinggungan dengan aspek hak asasi manusia, hadirnya perkebunan kelapa sawit di Aceh juga bagian dari faktor penyebab kemiskinan.

Buktinya, Aceh Singkil yang menduduki posisi ketiga luas perkebunan di Aceh pernah ditetapkan sebagai daerah termiskin di Indonesia oleh Presiden Jokowidodo.

Sebenarnya, kenapa CPO Aceh tidak tembus pasar eropa bukan karena kampanye hitam sebagaimana disampaikan oleh Plt Gubernur Aceh.

Akan tetapi, CPO Aceh dan Indonesia secara umum dihasilkan dengan praktik tidak benar secara lingkungan dan hak asasi manusia.

Seperti ketentuan dalam Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) untuk produksi minyak kelapa sawit berkelanjutan, kebijakan RSPO mencakup diantaranya, tidak ada deforestasi, tidak melakukan penanaman di lahan gambut, tidak membuka lahan dengan cara membakar, pengurangan emisi gas rumah kaca, penghormatan terhadap hak asasi manusia, tidak boleh menggunakan paraquat (pestisida yang telah dilarang di Uni Eropa), dan terakhir adalah peningkatan transparansi dan ketelusuran. Berdasarkan fakta yang ditemukan WALHI Aceh, pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Aceh masih jauh dari standar yang ditetapkan oleh RSPO.

Untuk itu, Walhi Aceh meminta kepada Pemerintah Aceh untuk memperbaiki tata kelola perkebunan kelapa sawit di Aceh.

Langkah awal yang harus dilakukan adalah melanjutkan moratorium perkebunan kelapa sawit, bukan sebaliknya membuka kran investasi sektor perkebunan kelapa sawit ditengah pengelolaan yang carut marut saat ini.

Kemudian, Pemerintah Aceh menyelesaikan konflik perkebunan antara masyarakat dengan pemilik HGU sebelum konflik tersebut membesar dan semakin parah. Karena sejarah Aceh membuktikan, kejayaan Aceh didapatkan bukan melalui komoditas kelapa sawit melainkan dengan komoditas lain, seperti pala, lada, kelapa, pinang, cengkeh, kopi, dan lain sebagainya yang merupakan komoditas ramah lingkungan. (L/AP/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)