Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

NU-Majma’ Fikih Islam Sudan Gelar Seminar Internasional Metodologi Fatwa

Rana Setiawan - Senin, 7 Maret 2016 - 23:14 WIB

Senin, 7 Maret 2016 - 23:14 WIB

438 Views

(Foto: PCNU)
(Foto: PCNU)

(Foto: PCINU)

Khartoum, 28 Jumadil Awal 1437/7 Maret 2016 (MINA) – Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Sudan, Sabtu (5/3), menyelenggarakan Seminar Internasional bertajuk Metodologi Fatwa, dengan tema “Metodologi Fatwa Perspektif Majma’ Fikih Sudan dan Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama.

Bekerjasama sama dengan Majma’ Fikih Sudan, sebuah lembaga nasional yang menangani perkara fatwa hukum Islam di Sudan, seminar diselenggarakan di Aula  Muktamar Holy Quran Society Khartoum Sudan.

Seminar ini menghadirkan narasumber dari Majma’ Fikih pada bidang fatwa Syekh Muhmmad Ibrahim Muhammad Hamid sebagai perwakilan dari Syekh Prof. Dr. Ishom al Bashir, Mufti Sudan yang dijadwalkan menjadi narasumber akan tetapi  berhalangan hadir karena sedang sakit. Sedangkan narasumber dari pihak Nahdlatul Ulama adalah Dr. Muhammad Afifullah al Rifa’i, yang juga sebagai salah satu mustasyar PCINU Sudan.

Sebagai Moderator Ribut Nur Huda, selaku ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama Sudan (LAKPESDAM).

Baca Juga: Erdogan Umumkan ‘Rekonsiliasi Bersejarah’ antara Somalia dan Ethiopia

Acara yang berlangsung sekitar tiga setengah tersebut diawali dengan penampilan Jamiyyah Syifaul Qulub grup Rebana PCINU Sudan, kemudian pembukaan dari pembawa acara, setelah itu pembacaan ayat suci al Quran dan lagu Indonesia Raya, dilanjutkan dengan sambutan yang disampaikan oleh H. Sidik Ismanto, BS  Rais Syuriah PCINU Sudan.

Sambutan juga disampaikan oleh  Djumara Supriadi yang mewakili Duta Besar RI untuk Sudan dan Eritrea yang berhalangan hadir.

Aula Muktamar yang berkapasitas kurang lebih seratus tujuh puluhan orang tersebut penuh dengan peserta yang hadir dari berbagai negara selain dari Indonesia sendiri, seperti Suriah, Thailand, Filipina, Sudan, Nigeria, Somalia dan negara Afrika yang secara umum adalah kalangan Mahasiswa.

Adapun WNI yang hadir adalah sebagian staf KBRI Sudan, perwakilan PPI Sudan, delegasi kekeluargaan yang terdapat di Sudan dan seluruh warga Nahdliyin Sudan.

Baca Juga: Trump: Rakyat Suriah Harus Atur Urusan Sendiri

Seminar yang bertepatan dengan rangkaian acara Hari Lahir Nahdlatul Ulama yang ke-90 oleh PCINU Sudan,  dan telah diselenggarakan sejak sebulan lalu ini juga sebagai penutupan proyek kajian mingguan LAKPESDAM tentang Metodologi Istimbath (Ushul Fikuh) Madzhab empat, yang mana makalah hasil kajian tersebut akan dibukukan di akhir periode.

Narasumber pertama Syekh Muhammad Ibrahim menyampaikan bahwa Indonesia dan Sudan sama-sama memegang madzhab tasawuf.

Beliau yang pernah berkunjung ke Indonesia pada tahun 2011 ke PBNU Jakarta atas nama oraganisasi Darul Arqom Sudan mengenal dengan baik organisasi NU di Jakarta.

Di samping itu ia menyampaikan bahwa NU merupakan organisasi terbesar di Indonesia bahkan di seluruh dunia. Menurut beliau jumlah warga NU jauh lebih banyak dari jumlah penduduk Sudan sebanding dua kali lipat atau bahkan lebih.

Baca Juga: Agresi Cepat dan Besar Israel di Suriah Saat Assad Digulingkan

“Saya telah berkunjung ke Indonesia, dan juga ke Kantor Nahdlatul Ulama di Jakarta atas nama Organisasi Darul Arqam beberapa tahun lalu, dan saya melihat bahwa Nahdlatul Ulama adalah Organisasi Keagamaan terbesar di Dunia yang anggotanya melebihi penduduk Sudan dua kali lipat”, ujar Direktur Utama Organisasi Darul Arqam tersebut.

Syekh Muhammad Ibrahim sebagai pendiri Dewan Zakat Sudan dan pernah menjadi ketua dewan penasehat dalam lembaga zakat nasional tersebut menyatakan bahwa dibentuknya Majma Fikih merupkan tuntutan zaman.

Ia menegaskan, kapasitas berfatwa di zaman sekarang tidak cukup hanya kapasitas di bidang Fikih melainkan harus dilengkapi dengan kapasitas di bidang-bidang yang lain seperti Kedokteran, Ekonomi dan lainnya sebagaimana yang ada di Majma’ Fikih.

Menurut beliau, sebuah masalah apabila dikaitan dengan hukum Islam dibutuhkan pemahaman tentang masalah tersebut secara baik dan benar sebagaimana aturan dalam at Takyif al Fiqhy. Kebutuhan zaman ini menuntut adanya spesialis dalam menjernihkan masalah. Beliau mengutip kaidah para ahli ushul bahwa, “hukum atas sesuatu adalah bagian dari tashawur (konsepsi)nya”.

Baca Juga: Parlemen Brasil Keluarkan Laporan Dokumentasi Genosida di Gaza

Kebutuhan mendesak akan didirikannya majma fiqh adalah  karena ketidakmampuan masing-masing individu untuk berfatwa dan berijtihad. Di awal berdirinya, Majma Fikih hanya terbatas fatwa bidang Ahwal Syakhsiyah seperti fatwa tentang nikah, talak dan sejenisnya. Kemudian cakupannya semakin meluas seiring berjalannya waktu.

Sekarang terdiri dari beberapa lembaga sebagaimana fakultas-fakultas kehidupan. Majma’ fiqh di Sudan, menurut beliau merupakan majma’ terbaik di dunia. Komponen yang ada di dalamnya juga harus melalui persetujuan presiden.

Metodologi yang digunakan dalam majma fiqh bertitik tolak dari al Qur’an, Hadist, dan seluruh madzhab fikih yang menjadikan al Qur’an dan hadist sebagai sumber primer dan urutan terakhir menggunakan ijthad secara kolektif meskipun dalam beberapa persoalan ibadah menggunakan ijtihad fardy (individual).

Narasumber kedua adalah Dr. H. Muhammad Afifullah al Rifa’i, yang menjelaskan tentang metodologi istinbath hukum NU yang dikenal dengan tradisi bahstul masail.

Baca Juga: Bank dan Toko-Toko di Damaskus sudah Kembali Buka

Sebagai Mustasyar NU Sudan yang lulusan doktor Sudan, ia mengatakan memahami perbedaan hasil tajribah (eksperimentasi) antara NU di Indonesia dan Majma Fikih di Sudan yang berimplikasi pada perbedaan madzhab dan metodologi ijtihad kolektif (jama’i) para ulama.

Bahstul Masail NU di Indonesia dalam perjalanan sejarahnya mengalami dinamika dengan ciri khasnya yaitu bermazhab secara qouli dengan rujukan primer madzhab syafi’i. Perkembangan berikutnya, cara qouli mengalami perkembangan sesuai tuntutan zaman.

Persoalan yang tidak ada solusi secara eksplisit dalam kitab-kitab mu’tabaroh ditempuh dengan jalan ilhaqi atau mencari persoalan yang belum ada dengan yang sudah ada dalam kitab kuning atas dasar pertemuan illat. Apabila belum mencukupi baru ditempuh dengan jalan ijtihad jama’i secara metodologis melalui metode analisis nash (bayani), metode analisis illat (qiyasi) dan metode analisis maqoshid dan konsepsi realitas (maqoshidi).

Setelah pemaparan kedua narasumber, dilanjutkan dengan tanya jawab untuk para peserta yang terlihat antusias dan banyak memberikan apresiasi kepada dua institusi tersebut. Setelah itu, acara ditutup dengan doa dan foto bersama.(L/K06/R05-P2)

Baca Juga: Ratu Elizabeth II Yakin Setiap Warga Israel adalah Teroris

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: AS Pertimbangkan Hapus HTS dari Daftar Teroris

Rekomendasi untuk Anda

MINA Preneur
Kolom
Khadijah
MINA Health