OKI Desak Moldova Batalkan Pemindahan Kedubes ke Yerusalem

Jeddah, MINA – Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mendesak untuk membatalkan rencana pemindahan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke .

OKI juga mendesak para pejabat di negara Eropa Timur untuk membatalkan rencana mereka.

Organisasi yang beranggotakan 57 negara itu, dalam pernyataan yang dirilis PNN News, Sabtu (15/6), menyerukan pemerintah Moldova untuk “membalikkan keputusan ini dan menghormati kewajiban hukum dan politiknya di bawah hukum dan resolusi internasional.”

Ia juga mendesak Moldova untuk mengambil posisi yang mendukung peluang membangun perdamaian berdasarkan solusi dua negara, serta meningkatkan keamanan dan stabilitas di kawasan Timur Tengah dan di seluruh dunia.

“Langkah ilegal ini merupakan pelanggaran Dewan Keamanan dan resolusi Majelis Umum PBB tentang Yerusalem, yang menegaskan penolakan terhadap segala tindakan yang akan merugikan situasi historis, hukum, dan politik kota Yerusalem yang diduduki,” pernyataan OKI.

Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Kementerian Luar Negeri Palestina, dalam dua pernyataan terpisah, mengecam keputusan Moldova, dan menggambarkannya sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional.

Hanan Ashrawi, anggota Komite Eksekutif PLO, mengatakan dalam sebuah pernyataan, Moldova harus diperlakukan sebagai “negara nakal” karena terlibat dalam kejahatan Israel.

“Komite Eksekutif PLO mengecam keras keputusan Moldova yang melanggar hukum untuk memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Yerusalem yang diduduki,” ujarnya.

Ini adalah tindakan permusuhan tanpa pamrih terhadap rakyat Palestina dan hak-hak mereka serta surat dan semangat hukum internasional, Piagam PBB, dan resolusi PBB yang relevan,” tambah Ashrawi.

Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Palestina mengatakan, mantan perdana menteri Moldovan, Pavel Filip, mengambil keputusan sesaat sebelum jatuhnya pemerintahannya, dan dimaksudkan untuk mendapatkan dukungan dari Amerika Serikat dan Israel di hadapan pihak-pihak lain yang telah sepakat untuk membentuk pemerintahan baru di negara tersebut.

Filip “telah melibatkan negaranya dalam pelanggaran hukum internasional dan Piagam PBB untuk mempertahankan kekuasaan di tangannya atau untuk memenangkan dukungan AS dan Israel,” kata kementerian itu dalam sebuah pernyataan.

Keputusan diambil setelah krisis politik di bekas negara Soviet itu, dan Mahkamah Konstitusi mencabut kekuasaan Presiden Igor Dodon dan menunjuk Filip sebagai presiden sementara.

Dia kemudian dengan cepat membubarkan parlemen negara itu dan menyerukan pemilihan cepat yang akan diadakan pada bulan September.

Moldova, mendeklarasikan kemerdekaan dari Uni Soviet pada 27 Agustus 1991, yang kemudian ditimpa krisis dan kekacauan politik.

Negara ini mengalami pergantian delapan perdana menteri dalam enam tahun terakhir. (T/RS2/RI-1)

Mi’raj News Agency (MINA)