Jeddah, MINA – Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menegaskan kembali penolakannya atas segala upaya yang berusaha menghubungkan Islam dengan terorisme.
Dalam keterangan resmi yang dikutip MINA, Rabu (11/11), organisasi dunia kedua terbesar setelah PBB, dengan keanggotaannya yang terdiri dari 57 negara Islam atau berpenduduk Islam itu, juga mengingatkan posisinya yang teguh mengutuk semua tindakan terorisme terlepas dari ras atau agama para pelakunya.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Misi Pengamat Tetap OKI untuk Uni Eropa mewakili Sekretariat Jenderal Organisasi dalam Pertemuan Dimensi Manusia Tambahan (SHDM) ke-3 Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa (OSCE) yang diselenggarakan secara virtual pada 9-10 November 2020 dengan tema “Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Peran Teknologi Digital dan Sipil Aktor Masyarakat dalam Memajukan Hak Asasi Manusia untuk Semua.”
“Kami mengungkapkan keprihatinan bahwa kebebasan beragama atau berkeyakinan tetap berada di bawah ancaman secara terus menerus, sejalan dengan tren Islamofobia yang berkembang, serta bentuk-bentuk rasisme dan diskriminasi lainnya,” tegas Misi Pengamat Tetap OKI untuk Uni Eropa dalam keterangan tertulisnya.
Baca Juga: Putin Punya Kebijakan Baru, Hapus Utang Warganya yang Ikut Perang
Berkenaan dengan ketegangan di Eropa saat ini terkait dengan kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama, OKI, sambil menggarisbawahi dukungannya terhadap kebebasan berekspresi, mengingatkan bahwa kebebasan berekspresi bukanlah hak mutlak tetapi tunduk pada “kewajiban dan tanggung jawab secara khusus.”
Penyataan tersebut juga menegaskan hal iIni mengindikasikan bahwa Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR) pada Oktober 2018 telah memutuskan bahwa meremehkan doktrin agama seperti penghinaan terhadap Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam sama sekali tidak ada hubungannya dan tidak dilindungi oleh dalih kebebasan berekspresi serta dapat dituntut.
OKI juga menegaskan kembali dukungannya terhadap Resolusi Dewan HAM PBB (UNHRC) 16/18, yang memberikan kerangka kerja kebijakan antar pemerintah untuk mencegah dan memerangi intoleransi, diskriminasi, stigmatisasi, hasutan untuk melakukan kekerasan dan kebencian atas dasar agama atau keyakinan.
Pada 24 Maret 2011, Dewan Hak Asasi Manusia PBB dalam gerakan yang sangat signifikan bergeser dari melindungi keyakinan ke perlindungan bagi orang beragama dan kepercayaan dengan adopsi suara bulat tanpa suara menolak yakni Resolusi 16/18 yang diperkenalkan oleh Pakistan.
Baca Juga: Jadi Buronan ICC, Kanada Siap Tangkap Netanyahu dan Gallant
Di antara banyak poin spesifiknya, Resolusi 16/18 tentang Pemberantasan intoleransi, stereotip dan stigmatisasi negatif, dan diskriminasi, hasutan untuk melakukan kekerasan, dan kekerasan terhadap orang berdasarkan agama atau kepercayaannya, menyoroti hambatan bagi masyarakat yang toleran secara beragama dan memberikan rekomendasi tentang bagaimana hambatan tersebut bisa diatasi.
Resolusi tersebut menyerukan kepada semua negara anggota untuk mendorong kebebasan beragama dan pluralisme, untuk memastikan agama minoritas terwakili dengan baik, dan mempertimbangkan untuk mengadopsi langkah-langkah untuk mengkriminalisasi segala hasutan untuk segera melakukan kekerasan berdasarkan agama atau kepercayaan.
Rekomendasi lainnya termasuk membuat program pemerintah untuk mempromosikan toleransi dan dialog antaragama, melatih pegawai pemerintah untuk peka terhadap kepekaan agama, dan terlibat dalam inisiatif penjangkauan pelaksanaan resolusi.(T/R1/P1)
Baca Juga: Rusia Serang Ukraina Pakai Rudal Korea Utara
Mi’raj News Agency (MINA)