Oleh : Ali Farkhan Tsani, Duta Al-Quds Internasional, Redaktur Senior Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency)
Para pejuang Palestina meluncurkan Operasi Badai Al-Aqsa (‘Amaliyyah Thufan Al-Aqsa), yang mengejutkan dan membuat pasukan pendudukan Israel gentar dan gempar.
Operasi Badai Al-Aqsa yang dikomandoi Muhammad Deif dari Jalur Gaza, dimulai pada Sabtu pagi selepas shalat Subuh berjama’ah, 7 Oktober 2023.
Menurut laporan Pasukan Pertahanan Israel (Israel Defense Forces/IDF) pada Kamis, 12 Oktober 2023, korban tewas di pihak Israel sampai pada hari keenam, sedikitnya melewati 1.300 orang, terdiri dari tentara, polisi, warga sipil lelaki, dan turis dari sejumlah negara.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Lainnya, lebih dari 3.300 orang terluka, serta sekitar 200 orang ditangkap dan disandera di Jalur Gaza. Nasib mereka pun belum diketahui.
Sementara di pihak Palestina, serangan jet tempur Israel yang membombardir wilayah padat penduduk di Jalur Gaza, telah mengakibatkan warga Palestina gugur mencapai 1.354 jiwa dan 6.049 orang luka. Dari jumlah tersebut, 60 persen korban adalah wanita dan anak-anak. (Data Kamis sore, 12 Oktober 2023).
https://minanews.net/korban-israel-lampaui-1-300-orang-idf-bersiap-perang-jangka-panjang/
Komandan Tertinggi Pasukan Izzuddin Al-Qassam, Muhammad Deif mengobarkan semangat juang para pejuang untuk menyerang wilayah pendudukan di Israel Selatan.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Dalam pidatonya yang penuh semangat, Komandan Deif menyatakan, para petinggi pendudukan Israel terus melakukan kejahatan setiap hari, terutama di Masjid Al-Aqsa dan Kota Tua Yerusalem.
“Pasukan pendudukan meningkatkan serangan mereka ke halaman Masjidil Aqsa, menginjak-injak kesuciannya dengan sepatu mereka, dan menyerang para wanita yang ditempatkan di sana dengan memukul dan menyeret mereka berulang kali, menyeret orang tua, anak-anak, dan remaja, dan menghalangi warga Palestina kami untuk beribadah di Al-Aqsa,” ujar Deif.
Deif menambahkan, “Entitas Zionis Israel menduduki tanah Palestina, menggusur rakyat serta menghancurkan kota-kota dan desa-desa, membunuh anak-anak, wanita dan orang tua yang tidak bersalah. Pendudukan juga mengabaikan semua norma-norma internasional, serta hukum hak asasi manusia. Sementara para pemimpin dunia tidak bergerak.”
“Kami telah memperingatkan sebelumnya, para pemimpin pendudukan untuk tidak melanjutkan kejahatan mereka, dan kami mendesak para pemimpin dunia untuk mengambil tindakan untuk mengakhiri kejahatan pendudukan terhadap kesucian kami, rakyat kami, tawanan kami, dan tanah kami, dan memaksa pendudukan mematuhi hukum internasional dan resolusi internasional,” imbuhnya.
Baca Juga: Serangan Israel Targetkan Rumah Sakit dan Gereja di Lebanon
Para pemimpin pendudukan tidak menanggapi, dan para pemimpin dunia tidak bergerak. Sebaliknya, kejahatan yang dilakukan oleh pendudukan meningkat dan melintasi semua perbatasan, terutama di Yerusalem dan Masjid Al-Aqsa, lanjutnya.
Kelemahan Intelijen Israel
Para analis militer mengatakan, badan keamanan Israel gagal dalam perkiraan intelijen dan dalam skenario untuk menghadapi kejutan dari Operasi Badai Al-Aqsa.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengumumkan, melalui rekaman pidatonya, “Israel terancam perang.”
Baca Juga: Dua Tentara Israel Tewas dalam Pertempuran di Gaza Utara
Para analis membandingkan bagaimana perang-perang sebelumnya teridentifikasi oleh intelijen militer. Mulai dari Operasi Pedang Al-Quds (Saef Al-Quds) tahun 2021, perang tahun 1973, perang tahun 1982, dan Perang Lebanon Kedua tahun 2006.
Para analis menyebutkan kegagalan intelijen Israel terlihat dari keterkejutan pertahanan militer Israel dan kurangnya kesiapan tentara Israel untuk menghadapi skenario seperti itu. Termasuk tidak menyangka adanya infiltrasi militan dari Gaza ke selatan, serta kurangnya kesiapan front dalam negeri untuk membela warga sipil dan menjamin keselamatan mereka.
Alih-alih kecolongan dalam intelijen, pasukan militer Israel pun melakukan serangan besar-besaran membabi buta terhadap wilayah padat penduduk di Jalur Gaza. Militer Israel beralasan sebagai serangan balasan dan menuduh pasukan perlawanan Palestina di Jalur Gaza menggunakan fasilitas umum dan perumahan penduduk sebagai tempat persembunyian.
Editorial Al Jazeera, menyebutkan kegagalan intelijen badan keamanan Israel terlihat juga dari banyaknya tentara yang tewas terbunuh dalam aksi serangan. Di samping beberapa perwira tinggi tertangkap, lainnya tersandera sebagai tawanan, dan aksi cepat serangan dari darat, laut hingga udara. Kendaraan tank lapis baja pun berhasil dilumpuhkan.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Sementara perisai canggih Iron Dome pun tak sanggup menahan gempuran ribuan roket-roket yang meluncur bagaikan badai yang memporak-porandakan langit wilayah pendudukan Israel.
Perkiraan analis, untuk menutupi kelemahan itu, Israel pun minta bantuan sekutu utamanya, Amerika Serikat, dan berencana melakukan operasi darat ke Jalur Gaza.
Mantan Kepala Divisi Intelijen Militer Israel “Aman”, Amos Yadlin, mengkritik keras badan keamanan Israel, menunjukkan bahwa Operasi Badai Al-Aqsa adalah kegagalan yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi intelijen militer dan berbagai badan intelijen Israel.
Motor gerakan perlawanan Brigade Izzuddin Al-Qassam, sayap militer gerakan Hamas, mengejutkan Israel dengan serangan terbuka di wilayah selatan, dan menguasai 10 kota dan pemukiman di sekitar perbatasan Gaza.
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Amos Yadlin menjelaskan bahwa Israel membayar harga mahal atas kegagalan intelijen dengan mengumumkan jumlah korban tewas dan cedera, serta menurunnya prestise Israel secara regional dan global, dengan kehilangan kendali atas wilayah yang luas di Palestina bagian selatan.
Operasi Badai Al-Aqsa tentu saja tidak serta merta begitu saja terlaksana. Semua simulasi dilakukan ketika sejumlah 12 faksi perlawanan Palestina akhir September lalu menggelar Latihan tempur bersama.
Ke-12 faksi tersebut mengaku, uji tempur secara rutin telah digelar selama empat tahun berturut-turut. Mereka berusaha mengesampingkan perbedaan yang ada dan menunjukkan titik persatuan.
Operasi Multi-Domain
Baca Juga: Pasukan Hamas Targetkan tujuh Kendaraan Militer Israel
Kejutan Badai Al-Aqsa, disebut sebagai taktik paling canggih yang pernah dilakukan gerakan perlawanan Palestina.
Aksi perlawanan ini menggunakan udara, laut dan darat dalam istilah militer yang dikenal sebagai “operasi multi-domain”.
Para pejuang Palestina melakukan serangan awal terhadap pos pengamatan Israel dengan menggunakan drone, sebelum serangan roket besar-besaran menghancurkan pertahanan Iron Dome Israel.
Berikutnya adalah infiltrasi fisik yang belum pernah terjadi sebelumnya, menyerang Israel dari berbagai arah, menyerang sasaran militer Israel, menembak dari jarak dekat dan menculik tentara dan membawanya ke Jalur Gaza, serta merampas peralatan militer Israel. Demikian seperti dikutip dari laporan Al Jazeera.
Baca Juga: Yair Lapid Serukan Sanksi Yahudi Ultra-Ortodoks yang Tolak Wajib Militer
Perencanaan aksi-aksi besar serangan pun dilakukan gerakan perlawanan dengan tersembunyi, pada saat pemerintahan Israel sedang mengalami ketegangan politik yang telah mengguncang negara itu selama berbulan-bulan.
Penyebab perpecahan ini adalah serangkaian undang-undang yang didorong oleh pemerintahan sayap kanan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, yang dipandang akan melemahkan sistem peradilan hingga ke titik di mana ia tidak bisa lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Kondisi ini diperparah dengan aksi protes warga Israel sendiri terhadap pemerintahan Netanyahu, setiap akhir pekan, dan telah mencapai pekan ke-37, per tanggal 17 September 2023.
Aksi-aksi protes yang tak jarang disertai kerusuhan massal tersebut telah menimbulkan apa yang dikenal sebagai “kebisingan latar belakang” (background noise) yang mengganggu intelijen Israel.
Warga di Jalur Gaza sendiri tidak banyak yang mengetahui akan adanya serangan besar-besaran dari para pejuang mereka, yang sehari-hari banyak berinteraksi dengan warga. Para pimpinan pejuang perlawanan terus mengidentifikasi sumber-sumber Israel dan menyembunyikan persiapan mereka.
Baca Juga: Keffiyeh Palestina Masuk Daftar Warisan Budaya Takbenda UCESCO
Menurut laporan media lokal, para pejuang perlawanan Palestina di Jalur Gaza juga telah banyak berinvestasi dalam infrastruktur terowongan, membangun jaringan luas jalur bawah tanah, yang memungkinkan mereka secara fisik melewati pos pemeriksaan Israel dan melakukan serangan mendadak.
Penggunaan terowongan dan fasilitas bawah tanah terkini, yang hampir pasti membantu penyembunyian persiapan dari intelijen Israel.
Gerakan perlawanan tampaknya banyak belajar dari berbagai sumber, memanfaatkan pelajaran dari pertemuan masa lalu dengan pasukan Israel, mempelajari taktik yang digunakan oleh para pejuang di Jenin pada tahun 2002, dan menerapkan inovasi mereka sendiri.
Perang Gaza tahun 2014 juga telah mengajarkan para pejuang perlawanan pentingnya perang perkotaan, dan bagaimana memanfaatkan alat peledak improvisasi (An improvised explosive device/IED) berbiaya rendah dan mudah disembunyikan, jaringan terowongan, perang psikologis, dan perang asimetris.
Baca Juga: Hamas belum Kalah, Tentara Israel Sudah Menolak Bertempur di Gaza
Para pejuang Palestina pun telah berhasil mengandalkan strategi serangan tabrak lari, penyergapan, dan tembakan penembak jitu untuk meminimalkan korban jiwa dan memaksimalkan dampak operasi mereka dengan mengurangi konfrontasi langsung.
Lebih luas lagi, aksi-aksi operasi kali ini bukan hanya diluncurkan dari Jalur Gaza. Namun hamper merata di beberapa kota di wilayah Tepi Barat, Palestina. Mulai dari aksi perlawanan dan konfrontasi di Kota Tua Yerusalem, Hebron, Nablus, Tulkarem, dan kota-kota dan desa-desa lainnya.
Israel Terdesak
Seperti biasanya, begitu pasukan pendudukan Israel terdesak, mereka mengadu kepada sekutu utamanya, Amerika Serikat.
Kabarnya, Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS) Llyod Austin telah memerintahkan pengiriman Kapal Induk USS Gerald R. Ford, sebagai bentuk dukungan untuk militer Israel.
Pejabat militer AS pun menyatakan, kapal induk terbesar di dunia yang berbasis di Norfolk, Virginia itu sudah berada di Laut Tengah.
Langkah AS ini langsung direspon kelompok Kata’ib Sayyid al-Shuhada dari Irak, yang memperingatkan Washington atas segala campur tangan dalam konflik Palestina dan Israel.
Menurut saluran berita Lebanon Al-Ahed, kelompok tersebut menekankan bahwa “Palestina bukanlah Ukraina”.
“Campur tangan atau bantuan apa pun yang diberikan AS kepada entitas Israel akan menjadikan pangkalan AS di Irak menjadi sasaran perlawanan,” pernyataan mereka.
Ancaman serupa datang dari kelompok bersenjata di Yaman dan Iran.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pun mengkritik langkah sekutu NATO-nya, Amerika Serikat yang mengerahkan armada kapal induknya ke dekat wilayah pendudukan Israel.
Erdogan menilai pengerahan kapal induk termasuk tersebut sama artinya dengan upaya “ikut campur” ; AS memperburuk pembantaian warga sipil di Jalur Gaza, Palestina.
Presiden Rusia, Vladimir Putin pun mempertanyakan langkah AS tersebut.
Putin Rabu (11/10/2023), menuding Amerika Serikat sedang memprovokasi kemarahan di Timur Tengah dengan pengiriman kapal induk ke wilayah tersebut.
Ia mengatakan, eskalasi bersenjata yang memanas antara Israel dan Palestina merupakan contoh nyata dari kegagalan kebijakan AS di Timur Tengah, yang tidak tidak mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan rakyat Palestina.
Yang jelas, Operasi Badai Al-Aqsa yang mengejutkan telah membuktikan bahwa aksi perlawanan Palestina dalam melawan penjajahan dan pendudukan menunjukkan peningkatan yang signifikan, dan berhasil memporakporandakan sistem pertahanan dan keamanan pasukan pendudukan Israel. (A/RS2/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)