Oleh Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Penandatanganan panduan pelepasan drone perang Amerika Serikat 2013 dan perintah eksekutif 1 Juli 2016 oleh Presiden Barack Obama untuk meminimalkan korban sipil, mengandung analis keamanan untuk melihat kembali kepada serangan sebelumnya dan mempertanyakan, “Apa efek dari perintah eksekutif yang mungkin terjadi pada orang-orang di masa yang akan datang?”
Panduan kebijakan Obama 2013 itu, dirilis pada tanggal 31 Juli 2016, setelah Persatuan Kebebasan Sipil Amerika (ACLU) menggugat untuk dirilisnya pedoman yang telah menetapkan “kepastian yang kuat” bahwa “ada target teroris” dan “non-kombatan tidak akan terluka atau terbunuh” ketika drone melakukan pengeboman.
Meskipun masih harus dilihat terlebih dulu perkembangannya, langkah ini jelas bisa mengurangi adegan seperti yang terjadi pada 23 Mei 2016, ketika Departemen Luar Negeri melakukan konferensi pers, ketika juru bicaranya Mark Toner tidak menjawab dengan detail dan terbuka pertanyaan wartawan tentang keakuratan serangan drone yang menewaskan pemimpin Taliban Mullah Mansoor.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Sebuah investigasi pada 2015 oleh situs berita Intercept mengungkapkan bahwa hampir 90 persen orang yang tewas dalam serangan drone atau pesawat tak berawak AS di Afghanistan saja adalah orang yang bukan menjadi target.
Pada Juli 2016, Direktur Intelijen Nasional (DNI) James Clapper merilis penghitungan DNI tentang kematian sipil oleh drone. Diperkirakan, sejak Obama menjabat pada 2008, antara 64-116 warga sipil yang tewas di Yaman, Afghanistan, Pakistan, Somalia dan daerah lain yang AS tidak aktif terlibat dalam perang. Antara 2.372 hingga 2.581 militan yang tewas dalam periode dan di negara yang sama.
Tapi aktivis anti-pesawat tak berawak mengkritik kurangnya program drone menuju ketelitian, terutama di Waziristan, wilayah yang sangat ditargetkan antara di Afghanistan dan Pakistan. Sebab, kelompok-kelompok HAM memperkirakan bahwa ratusan warga sipil telah tewas di sana.
Perbedaan jumlah korban data DNI dan kelompok HAM, menurut Clapper, kelompok HAM telah menjadi korban penyebaran sengaja informasi yang salah oleh beberapa aktor, termasuk organisasi teroris. Dalam laporan sebagian media lokal, perhitungan dari lembaga non-pemerintah menjadi andalan.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Namun muncul pertanyaan, dengan dirilisnya pedoman dan penandatanganan perintah eksekutif yang menyerukan perlindungan lebih besar kepada warga sipil dan pengawasan serangan drone, apa perbedaannya bagi rakyat di negara-negara seperti Yaman, Pakistan, Somalia dan Afghanistan, dengan masa sebelumnya yang telah menewaskan ribuan warga sipil dalam waktu sekitar satu dekade?
“Perintah eksekutif dan pedoman tidak berarti banyak bagi saya, baik bicara tentang penargetan dan keabsahan, tapi intinya adalah bahwa kerabat saya tewas dalam aksi serangan meskipun tidak pernah melakukan sesuatu yang salah, dan saya tidak pernah diberi penjelasan mengapa,” kata Faisal bin Ali Jaber (58), warga Yaman yang keponakan dan sepupunya tewas ketika drone AS menyerang sebuah pesta pernikahan pada 2012 di desa Khashamir.
Keluarga Faisal adalah salah satu yang telah diberikan uang tunai sebagai kompensasi, tapi yang diinginkan oleh Faisal adalah permintaan maaf.
“Yang dibutuhkan adalah mengakhiri serangan dan pengakuan bahwa mereka penyebab kematian orang tak berdosa,” kata Faisal.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Direktur dan pendiri Yayasan Hak Fundamental Shahzad Akbar mengatakan, langkah Presiden AS tidak banyak berarti.
Menurut Akbar, perintah eksekutif hanya “mengikat” presiden berikutnya, bukan Presiden Obama sendiri.
“Ketika Presiden Obama dengan sengaja membunuh dua orang Barat, orang kulit putih, dalam serangan drone, mereka semua keluar dan ia meminta maaf di TV. Tapi ketika ratusan non-kulit putih, non-Barat telah tewas, tidak satu orang pun meminta maaf atau memberikan kompensasi,” kata Akbar.
Biro Jurnalisme Investigatif yang berbasis di Inggris melaporkan bahwa sejak tahun 2007, antara tiga hingga 10 warga Somalia yang dikonfirmasi telah tewas oleh serangan drone, sementara yang dirahasiakan sebanyak 47 warga.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Wartawan Somalia Omar Faruk Osman yang telah melaporkan serangan drone di negaranya, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa jika keluarga warga sipil yang tewas oleh pesawat melakukan protes, mereka akan dituduh sebagai pendukung kelompok militan Al-Shabab yang dicap sebagai “teroris”. Sehingga warga Somalia takut menjadi sasaran drone berikutnya.
Shelby Sullivan-Bennis, seorang pengacara di lembaga HAM Reprieve yang membantu korban drone, mengatakan bahwa rilis Obama tentang arahan drone itu telah membenarkan adanya kematian warga sipil.
“Baru di akhir dari pemerintahan Obama, setelah selama bertahun-tahun berjuang di pengadilan untuk menutupi informasi ini jauh dari publik Amerika,” kata Sullivan-Bennis.
Sebuah pernyataan Gedung Putih yang menyertai perilisan 1 Juli 2016 itu mengatakan bahwa pemerintah AS bertanggung jawab atas korban sipil dan berbelasungkawa, termasuk pembayaran kompensasi untuk warga sipil yang terluka, atau kepada keluarga warga sipil yang tewas.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Namun, Gedung Putih tetap berdalih bahwa operasi drone dalam rangka memerangi ancaman yang ditimbulkan Al-Qaeda dan kekuatan afiliasinya.
“AS akan menegakkan hukum dan nilai-nilai Amerika,” kata Gedung Putih.
Namun, nilai-nilai tersebut tetap tidak terbukti bagi orang seperti Faisal bin Ali Jaber, pria Yaman yang keponakan dan sepupunya tewas oleh drone AS.
“Saya pikir AS berdiri untuk keadilan, kebenaran, transparansi, dan menghormati kehidupan sipil,” kata Faisal. “(Tapi) saya sangat terkejut dengan apa yang saya alami di tangan pemerintah AS.” (T/P001/R02)
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Sumber: tulisan D. Varpaz di Al Jazeera
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang