Orang Palestina di Luar Negeri: “Saya merasa tersesat”

Aseel Bader (26) yang berasal dari Hebron di Tepi Barat dan belajar di kota Prato di Italia, menunggu kabar dari kedutaan untuk dipulangkan. (Foto: Assel Bader/Al Jazeera)

Diya Hasheem, wanita berusia 23 tahun yang belajar di Siprus, merasa dirinya tersesat.

Sejak awal Maret 2020, ketika virus corona baru ini menyebar dengan cepat ke seluruh dunia dan negara-negara mulai memulangkan warganya, ia telah berupaya mencari bantuan pemerintah untuk kembali ke rumahnya di Yerusalem Timur yang diduduki. Namun, tanpa hasil.

Hasheem yang mempelajari perdagangan internasional mengatakan, ia pertama kali menghubungi Kedutaan Palestina untuk dipulangkan, tetapi tidak ada tindakan apa pun dari pihak Kedutaan.

Sebagai warga negara non-Israel, Hasheem memegang paspor Yordania, jadi ia kemudian menghubungi Kedutaan Yordania, tetapi ia diberi tahu bahwa kasus-kasus lain lebih diutamakan.

“Saya merasa bingung,” kata Hasheem kepada Al Jazeera.

“Saya bukan prioritas negara mana pun dan ini adalah bagaimana ketika menjadi warga Yerusalem,” katanya.

 

“Bawa kami pulang ke rumah”

Hasheem tidak sendirian. Ribuan telah terdampar di luar negeri, tidak dapat kembali ke rumah selama pandemi, karena tidak ada otoritas pemerintah yang dapat membantu mereka.

Seperti Hasheem, banyak dari mereka berada dalam situasi sulit, seperti kehabisan uang dan tidak mampu membayar makanan dan akomodasi.

Beberapa dari mereka telah menarik perhatian pada situasi bermasalahnya dengan mengunggah cerita mereka secara online dan menyebarkan informasi di halaman Facebook seperti Raj’ouna a Byoutna (Take Us Back Home), yang memiliki lebih dari 3.500 pengikut.

Bagi warga Palestina dari Tepi Barat yang diduduki, bepergian melalui Yordania adalah satu-satunya cara untuk pulang, tetapi penerbangan ke negara itu ditutup untuk non-warga negara.

Demikian pula Mesir telah menutup perbatasannya untuk non-nasional, yang mencegah warga Palestina dari Jalur Gaza untuk memasuki negara itu dan menyeberang ke kantong yang diblokade melalui perbatasan Rafah.

Menurut Ahmad Al-Deek, penasihat politik dari Kementerian Luar Negeri Otoritas Palestina (PA) yang berpusat di Ramallah, ada sekitar 6.000 warga Palestina terjebak di luar negeri.

Al-Deek mengatakan kepada Al Jazeera pada Selasa (19 Mei 2020) bahwa memulangkan warga Palestina kembali “tidak mudah” karena PA, yang mengelola urusan Palestina sehari-hari di bagian Tepi Barat, tidak mengontrol perbatasannya dan harus berkoordinasi dengan Yordania atau Mesir.

“Kami mengirim surat resmi ke Mesir dan Yordania untuk mengevakuasi warga Palestina bersama dengan orang-orang mereka dan kami belum mendapatkan jawaban dari negara-negara tetangga untuk menerima orang-orang kami sehingga mereka dapat melewati tanah mereka,” kata Al-Deek awal pekan ini.

“Mungkin itu karena prioritas mereka adalah (untuk memulangkan) warganya. Tapi belum ada jawaban,” kata Al-Deek.

Tetapi pada hari Jumat, 22 Mei 2020, ada indikasi bahwa penantian panjang mungkin akan segera berakhir untuk beberapa warga Palestina.

Menteri Luar Negeri Palestina Riyad Al-Maliki mengatakan dalam sebuah pernyataan, pihak berwenang Yordania telah setuju untuk membuka bandara di Ibu Kota, Amman, untuk orang-orang Palestina yang terjebak di luar negeri dan akan mengumumkan prosedur dan tanggalnya segera.

 

“Mari kita lewati”

Ahmad Tibi, Anggota Parlemen Israel dalam blok Joint List, aliansi politisi Arab-Palestina, mengatakan bahwa karena kurangnya upaya oleh pemerintah Israel, ia telah berkoordinasi dengan maskapai penerbangan Israel dan Kementerian Luar Negeri. Sejauh ini berhasil memulangkan 4.600 warga Palestina dari dalam Israel, termasuk 150 warga Yerusalem.

“Menurut hukum internasional, Israel (sebagai penjajah) bertanggung jawab atas semua urusan orang-orang Yerusalem, (tetapi) pemerintah Israel tidak membuat inisiatif untuk mengevakuasi siapa pun,” kata Tibi kepada Al Jazeera.

“Di sini, kami mengambil tanggung jawab untuk mengoordinasikan kembalinya orang-orang kami,” tambahnya.

Aseel Bader yang berasal dari Hebron di Tepi Barat dan belajar di kota Prato di Italia, menghubungi Kedutaan Besar Palestina pada awal April ketika beasiswanya hampir berakhir. Sejak itu ia menunggu untuk mendengar informasi lebih lanjut.

“Pemerintah kami adalah satu-satunya pintu keluar dari krisis ini dan satu-satunya pihak yang dapat memperbaiki situasi ini dan mengembalikan kami ke rumah,” kata wanita berusia 26 tahun itu.

“Kami melihat siswa lain kembali ke rumah mereka sementara pemerintah kami mengatakan tidak ada yang bisa mereka lakukan selain menunggu negara tetangga untuk membantu kami dengan membiarkan kami melewati tanah mereka.” (AT/RI-1/P1)

 

Sumber: tulisan Mersiha Gadzo di Al Jazeera

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.