Surabaya, MINA – Organisasi Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM) dan Pusat Studi HAM pada Senin (23/2) di Surabaya, Jawa Timur, menyatakan menolak rencana penempatan TNI di dalam jabatan sipil.
Mereka menilai langkah tersebut mencoreng lima agenda Reformasi pada tahun 1998, terkait Reformasi TNI.
Lima agenda Reformasi tersebut yakni Mencabut Dwi Fungsi ABRI, Restrukturisasi Komando Teritorial, Reformasi Peradilan Militer, Hapus Bisnis TNI, serta Profesionalisme Militer (Fungsi Pertahanan).
Direktur Pusat Studi Hukum HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang P Wiratraman mengatakan, sudah ada upaya mendorong reformasi TNI tersebut melalui perubahan Undang-Undang TNI, karena reformasi ini merupakan bagian tidak terpisahkan dalam upaya menegakkan Negara Hukum Indonesia dan demokrasi yang dicita-citakan dalam gerakan 1998.
Baca Juga: Resmikan Terowongan Silaturahim, Prabowo: Simbol Kerukunan Antarumat Beragama
Langkah maju tersebut bertujuan menjadikan TNI sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, juga bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk menegakkan kedaulatan negara, serta mempertahankan keutuhan wilayah dan melindungi keselamatan bangsa, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
“Kini masyarakat kembali dikejutkan dengan keinginan pemerintah Indonesia yang hendak menghidupkan kembali Dwi Fungsi TNI yang telah dihaus melalui UU TNI,” kata Herlambang.
Menurutnya fakta di lapangan hari ini jelas menunjukkan masih banyaknya kebijakan TNI yang harus ditinjau ulang keberlakuannya, seperti penempatan prajurit TNI aktif pada jabatan sipil, banyaknya MoU TNI dengan berbagai kementerian dan lembaga negara, Penguatan Komando Teritorial, serta kecenderungan penguatan peran TNI di ranah sipil terkait keamanan dalam negeri.
Ini menunjukkan reformasi TNI sendiri belum tuntas, meskipun dimandatkan oleh Undang-Undang TNI, penghapusan bisnis militer tidak berjalan mudah, bahkan cenderung bertahan.
Baca Juga: Konflik Suriah, Presidium AWG: Jangan Buru-Buru Berpihak
Seperti kasus tambang galian C di wilayah konflik agraria di Sumberanyar, Grati Pasuruan 2018-2019 ini, adalah satu contohnya. Menarik keterlibatan militer dalam konflik agraria atau urusan sipil juga mendapat tantangan tersendiri tatkala militer masuk dalam konflik-konflik tersebut.
“Di Jawa Timur, kasus tanah Pandanwangi, Kabupaten Lumajang menghadapkan militer dengan petani. Belum lagi, data kasus tanah di Jawa Timur, ada 25 kasus yang bertahan dan tanpa penyelesaian. Sementara birokrasi tanah di pemerintahan (BPN/Kantor Pertanahan) begitu mudahnya diintervensi oleh kuasa militer, ini kasus yang terjadi dimasyarakat,” kata Herlaambang.
Perkembangannya TNI hari ini justru aktif mengurus wewenang pemerintahan, seperti program-program pendidikan “Satu Sekolah Satu TNI” bersama Bupati Jember Faida MMR, yang dilakukan serentak di 400 sekolah SMA, SMK, dan MA seluruh Kabupaten Jember, total siswa mencapai 40 ribu di tahun 2018 lalu.
Belum lagi, banyak aparat TNI melampaui wewenang, dengan melakukan “sweeping buku kiri” atau terlibat dalam pembubaran diskusi, di Yogyakarta, Malang, dan beberapa kota lainnya, baik di kampus maupun di luar kampus.
Baca Juga: Krisis Suriah, Rifa Berliana: Al-Julani tidak Bicarakan Palestina
Kekerasan yang dilakukan oleh aparat TNI, pula masih terulang dan demikian mudahnya, baik terhadap awak media (penganiayaan yang dilakukan sejumlah anggota Batalion Infanteri Lintas Udara 501 Bajra Yudha, Madiun, terhadap jurnalis Net TV, Soni Misdiananto, merupakan satu contoh tahun di tahun 2016, maupun kekerasan terhadap warga sipil.
Pusat Studi HAM juga mempertanyakan rencana penempatan jabatan sipil oleh anggota TNI aktif, “Apa latar belakang dan tujuannya posisi atau jabatan sipil diisi oleh TNI aktif, jabatan sipil hanya dimungkinkan berdasarkan Pasal 47 UU TNI,” kata Herlambang.
Di dalam Pasal 47 ayat (1) prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan; dan ayat (2) Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotik nasional, dan Mahkamah Agung.
Sementara penjelasan Pasal 47 ayat (2) yang dimaksud dengan jabatan adalah jabatan yang dapat diduduki oleh prajurit aktif tidak termasuk jabatan Menteri Pertahanan atau jabatan politisi lainnya.
Baca Juga: AWG Selenggarakan Webinar “Krisis Suriah dan Dampaknya bagi Palestina”
Dengan catatan tersebut, keinginan TNI untuk melibatkan diri dalam jabatan sipil sangat meresahkan dan berpotensi akan menganggu Sistem Negara Hukum yang demokratis dan perlindungan HAM, jelas Herlambang.
Komunitas akademisi HAM di Indonesia bersama sejumlah Pusat-Pusat Studi HAM dari berbagai universitas menyatakan ikut menolak penempatan prajurit TNI aktif pada jabatan sipil, yang di luar mandat sebagaimana diatur dalam Pasal 47 UU TNI.
Mendorong komitmen penuntasan agenda reformasi TNI, menuju TNI yang profesional mengacu pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, serta prinsip Negara Hukum yang demokratis, serta Revisi UU TNI dianggap belum perlu dilakukan saat ini, karena belum ada alasan mendasar untuk perubahan. (L/AP/RI-1)
Baca Juga: Puluhan WNI dari Suriah Tiba di Tanah Air
Mi’raj News Agency (MINA)