Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pacaran Bikin Gelisah, Nikah Mendatangkan Berkah

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 2 jam yang lalu

2 jam yang lalu

6 Views

PACARAN di zaman sekarang sering dianggap wajar, bahkan menjadi simbol “cinta sejati” menurut standar media sosial. Padahal, realitanya pacaran lebih banyak menimbulkan gelisah daripada ketenangan. (Foto: ig)

PACARAN di zaman sekarang sering dianggap wajar, bahkan menjadi simbol “cinta sejati” menurut standar media sosial. Padahal, realitanya pacaran lebih banyak menimbulkan gelisah daripada ketenangan. Hati terasa was-was, takut ditinggal, takut dikhianati, bahkan takut diketahui orang tua. Semua itu menunjukkan bahwa pacaran bukanlah jalan yang Allah ridhai.

Gelisah dalam pacaran bukan tanpa sebab. Hubungan yang tidak sah di mata syariat hanya membuahkan ketidakpastian. Janji-janji manis yang diucapkan saat pacaran tak lebih dari kata-kata yang rapuh. Rasulullah SAW pernah mengingatkan bahwa ikatan cinta tanpa akad nikah hanyalah mendekatkan diri pada zina, dan zina adalah pintu kehancuran.

Berbeda dengan pernikahan. Ketika dua insan mengikat janji suci di hadapan Allah, maka hubungan itu bukan lagi sekadar keinginan duniawi, tetapi menjadi ibadah. Pernikahan mendatangkan keberkahan, ketenangan, dan rahmat. Allah sendiri menegaskan dalam Al-Qur’an, “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri supaya kamu merasa tenteram kepadanya, dan Dia jadikan di antaramu rasa kasih dan sayang.” (Qs. Ar-Rum: 21).

Pacaran sering menguras waktu dan energi. Chatting tanpa akhir, video call berjam-jam, janji bertemu di luar tanpa arah yang jelas. Semua itu membuat hati jauh dari Allah. Sebaliknya, pernikahan membuat setiap interaksi dengan pasangan bernilai ibadah. Bahkan tersenyum pada pasangan halal pun dicatat sebagai pahala.

Baca Juga: Semua Orang Sudah Muak dengan Perilaku Biadab Zionis Israel

Gelisah dalam pacaran juga datang dari rasa cemburu yang berlebihan. Apakah dia sedang bersama orang lain? Apakah dia benar-benar setia? Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui pikiran. Namun, dalam pernikahan, rasa cemburu berubah menjadi penjagaan. Ada hak dan kewajiban yang jelas, ada rasa tanggung jawab yang melahirkan ketenangan.

Pacaran memupuk dosa kecil yang bisa berbuah besar: dari sekadar chatting mesra, berlanjut pada sentuhan terlarang, hingga jatuh pada zina. Semua itu merusak jiwa dan mengikis keberkahan hidup. Pernikahan justru menutup pintu dosa dan membuka jalan pahala. Hubungan halal itu membuat syetan menjauh, sementara doa malaikat menyertai.

Banyak anak muda merasa pacaran adalah latihan menuju pernikahan. Padahal, justru sebaliknya: pacaran sering membuat orang gagal menjaga kesucian diri, bahkan gagal membangun rumah tangga yang kokoh. Sementara pernikahan yang diniatkan karena Allah langsung melatih tanggung jawab, kesabaran, dan ketulusan.

Kegelisahan dalam pacaran juga lahir dari ketidakpastian masa depan. Hari ini mesra, besok bisa berpisah tanpa ikatan yang jelas. Namun dalam pernikahan, ada kepastian dan komitmen yang diikat dengan akad. Janji itu sakral, disaksikan langit dan bumi, dan dijaga oleh syariat. Bahkan Arsy Allah bergetar saat janji suci dua insan itu diucapkan.

Baca Juga: Suara dari Gaza: “Kami Manusia, Masih Layak Hidup”

Pacaran menjadikan cinta sebagai permainan. Jika bosan, bisa ditinggal begitu saja. Tapi pernikahan menjadikan cinta sebagai ibadah. Ia bukan permainan, melainkan ladang pahala. Bahkan Rasulullah SAW menyebutkan bahwa menikah adalah penyempurna separuh agama.

Gelisah pacaran juga sering terkait dengan dosa yang disembunyikan. Sembunyi-sembunyi dari orang tua, takut ketahuan teman, atau waswas saat berbuat sesuatu yang melanggar batas. Namun, dalam pernikahan, cinta tidak lagi sembunyi-sembunyi. Ia terbuka, diridhoi orang tua, dan disyukuri oleh banyak orang.

Banyak orang yang setelah menikah baru menyadari dan menyesal betapa sia-sianya waktu yang terbuang dalam pacaran. Tapi apa gunanya menyesal jika nasi sudah jadi bubur. Waktu yang seharusnya bisa dipakai untuk belajar, bekerja, atau beribadah, habis hanya untuk hal-hal yang tidak pasti. Pernikahan justru mengarahkan cinta ke jalur yang produktif: membangun keluarga, mendidik anak, dan menebar manfaat.

Gelisah pacaran akan semakin berat ketika dosa itu membuahkan akibat nyata, seperti rusaknya kepercayaan, kehormatan, bahkan masa depan. Sedangkan nikah mendatangkan berkah berupa keturunan yang shalih, rumah tangga yang sakinah, dan rezeki yang Allah luaskan. Rasulullah SAW bersabda, “Tiga golongan yang berhak Allah tolong: orang yang menikah untuk menjaga kesucian dirinya…” (HR. Tirmidzi).

Baca Juga: Saat Pacaran Jadi “Tren”, Nikah Jadi “Beban”

Jadi, apakah masih ada alasan untuk memilih pacaran? Jika cinta itu benar, maka buktikan dengan jalan yang halal. Jika serius, datangilah orang tuanya, bukan sekadar mengumbar janji di chat dan status media sosial.

Pacaran memang bikin gelisah, tapi nikah mendatangkan berkah. Cinta sejati bukan yang diumbar tanpa ikatan, melainkan yang dipelihara dalam pernikahan. Mari kita berani melangkah pada jalan yang diridhoi Allah, agar cinta tak lagi jadi sumber gelisah, tapi berubah menjadi sumber berkah di dunia dan akhirat.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Suara dari Jalanan Florence: Truk Kesadaran Palestina dan Pergulatan Solidaritas di Eropa

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Kolom
Khadijah
Khadijah
Khadijah