Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj Islamic News Agency)
“Music is the universal language of mankind”. (Henry Wadsworth Longfellow, 1807-1882).
Beberapa hari lalu di pertengahan Agustus, pihak keamanan Israel tidak mengizinkan para penyanyi dan group band asal Jalur Gaza melintasi perbatasan bagian utara Erez. Walaupun mereka sudah memiliki undangan resmi dari kawasan Tepi Barat.
Atas biaya lembaga PBB untuk anak-anak UNICEF, para siswa belia yang tergabung dalam group paduan suara Al-Sununu Palestine, seyogyanya diundang untuk tampil pada Festival Paduan Suara di Tepi Barat 15-20 Agustus 2016.
Baca Juga: Manisan Idul Fitri di Damaskus: Kembalinya Aroma Ma’amoul Setelah 14 Tahun
Para musisi pendamping mereka pun cemas dan mempertanyakan mengapa hanya untuk anak-anak usia sekolah menengah bernyanyi saja pihak Israel sampai menolak untuk memberikan izin tanpa penjelasan.
Anak-anak berangkat atas nama Al-Sununu, sebuah institusi yang didirikan oleh para musisi dari Jalur Gaza pada tahun 2010, berfokus pada lagu-lagu dari warisan Palestina khususnya dan Arab umumnya.
Lembaga para seniman muda ini dalam beberapa bulan terakhir telah menggelar berbagai konser besar maupun pagelaran seni di sekitar perumahan warga, di negeri yang terblokade sepanjang sembilan tahun itu, sejak 2007.
Group anak-anak ini juga memiliki jadwal mengikuti pelatihan seni di Jenin dan Jerusalem, selain menggelar dua konser di Bethlehem dan Ramallah, menurut sumber Middle East Eye.
Baca Juga: Pesona Spiritual Masjid Agung At-Taqwa, Aceh Tenggara
Namun setelah mengikuti pelatihan seni dan persiapan untuk manggung, mereka ternyata kemudian tidak diizinkan untuk keluar dari Jalur Gaza oleh pemerintah Israel, hanya dua hari sebelum konser pertama mereka digelar.
Menurut Haytham Al-Mughanni, koordinator paduan suara, pihaknya tidak menerima penjelasan dari otoritas Israel, dan tidak tahu alasan apa di balik penolakan tersebut.
Mughanni mengatakan, group seninya telah diberi izin untuk melakukan konser oleh Otoritas Umum Palestina untuk Urusan Sipil di Tepi Barat. Namun rupanya Israel mengesampingkan perihal izin itu.
Dan menurutnya, seperti biasanya, memang tidak mungkin untuk memprediksi kapan jawaban Israel akan tiba. Lalu, setelah menerima penolakan itu dan dilaporkan ke Tepi Barat, Otoritas Umum pun berusaha keras untuk membantunya. Namun tanpa jawaban dari pihak Israel.
Baca Juga: Indahnya Merayakan Idul Fitri di Dukuh Sambungkasih, Ketika Maaf Menjadi Bahasa Universal

Paduan Suara Anak-Anak Palestina Al-Sununu (World-wide)
Kecewa
Alih-alih mengobati kekecewannya, group seni anak-anak itu pun berkumpul di perbatasan Beit Hanoun, lengkap dengan kostum panggung mereka dan tak ketinggalan tentu dengan syal tradisional khas Palestina.
Mereka pun membuat konser dadakan di perbatasan sebagai bentuk unjuk rasa dengan menyanyikan sejumlah lagu.
Medo Al-Ashi, seorang vokalis 15 tahun menyebut, ia dan teman-temannya bernyanyi untuk menunjukkan kepada dunia bahwa mereka tidak memiliki senjata. Mereka hanya ingin bernyanyi untuk cinta dan perdamaian.
Baca Juga: Mengenal Tradisi Idul Fitri di Berbagai Negeri: Harmoni dalam Keberagaman
Ia tergabung dalam gorup paduan suara, berkolaborasi dengan yang lain, mengajarkannya untuk mendengarkan pendapat orang lain dan menghormati pandangan mereka. Juga mendidik bagaimana bercita-cita tinggi dan bekerja keras untuk mencapainya.
Pada tahun 2011 dan 2013, anak-anak muda itu juga memiliki dua peluang untuk tampil di Perancis. Namun pada keduanya pun Israel menghadang dengan cara yang sama.
Namun, meskipun demikian, kelompok ini tetap tidak pernah berhenti untuk berkarya dalam seni dan budaya Palestina.

Orkestra Palestina (Palmusic)
Vokalis Perempuan
Baca Juga: Hagia Sophia: Dari Gereja, Masjid, hingga Museum yang Penuh Sejarah
Selain group paduan suara anak-anak, di Jalur Gaza juga bermunculan group nasyid anak-anak muda. Satu di antara yang cukup dikenal adalah group Dawaween. Dan satu dari tiga vokalisnya adalah seorang remaja perempuan, Riwan Okasha (24 tahun), lulusan manajemen keuangan sebuah perguruan tinggi di Palestina.
Ia yang berlatih seni sejak usia tiga tahun, adalah puteri dari musisi lokal ternama, Atef Okasha.
Sebagai perempuan, apalagi di Gaza, ia awalnya tidak mempunyai banyak pilihan, walau berada di lingkungan keluarga musisi. Apalagi tampil di panggung, suatu yang tidak pernah terpikirkan sama sekali.
Apalagi gaya hidup di Gaza dengan sebuah masyarakat konservatif, memandang tidak umum bagi perempuan tampil di atas panggung, menurutnya, seperti dilansir The Electronic Intifada.
Baca Juga: Raja Ampat: Surga Bawah Laut yang Wajib Dikunjungi di Indonesia
Dan ternyata, di tengah perseteruan Palestina-Israel, para musisi dapat menumbuhkan selera musik umum warga Gaza dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap konser dan musik.
Padahal sebelumnya, sejak kelompok Hamas menguasai pemerintahan di Jalur Gaza pada 2007, musisi telah menghadapi banyak kesulitan karena adanya intervensi pemerintah.
Izin untuk mengadakan konser yang sulit, dan bahkan mereka walaupun sudah mengantongi izin tapi sering sewaktu-waktu dibatalkan. Kepatuhan terhadap agama yang ketat di jalur Gaza dianggap telah menghambat berkembangnya musik.
Dan bagi gadis Riwan Okasha dan teman sebayanya, nada dan lirik lagu yang dibawakannya bukanlah semata bernyanyi. Namun justru mampu menginspirasi juga perjuangan negerinya, melalui senjata seni.
Baca Juga: Taktik Baru Hamas Jika Pasukan Israel Lakukan Serangan Darat ke Gaza
Ia pun sangat menikmati lagu tradisional “Ya Raitak Min Nasibi” (Aku berharap kau tahu diriku). Sebuah lagu bergenre romantis-revolusioner.
Memang, banyak lagu Palestina klasik yang ditulis sejak mandat Inggris tahun 1912, yang memiliki pesan kuat suara sebuah bangsa. Lagu-lagunya memiliki pesan yang kuat dalam warisan musik tentang budaya, identitas dan sejarah.
Dan bisa saja jika ada sponsor dan donatur dari Indonesia yang bersedia mengundang mereka untuk pentas di Indonesia dalam kerangka pertukaran seni dan budaya dua negara Palestina-Indonesia.
Begitulah, para musisi di Jalur Gaza, di tengah medan konflik yang sewaktu-waktu menghadirkan dentuman bom dan deru kendaraan perang lapis baja. Mereka justru melawannya dengan dentuman drum, deru gitar, dan hentakan acapella.
Baca Juga: Danau Baikal: Rahasia Danau Tertua dan Terdalam di Dunia
Mereka hendak mengusung tema bersama “We just want to sing for love”. Sebuah tema mulia, humanis dan universal, nyanyian untuk cinta dan perdamaian milik semua. (P4/P001)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Pulau Weh: Spot Diving Kelas Dunia di Ujung Barat Indonesia