Oleh: Imam Syamsi Ali*
Beberapa hari lalu sekali lagi dunia diguncang oleh peristiwa murid-murid sekolah di Peshawar, Pakistan. Sekitar 140 murid-murid sekolah tersebut dibantai oleh sekelompok orang yang mengaku “Taliban”, sebuah kelompok yang didirikan berdasarkan paham puritanisme Islam (ala Wahabi) di daerah frontier, Pakistan. Mereka awalnya didirikan oleh kelompok pelajar madrasah tradisionil Pakistan, yaitu madrasah yang umumnya hanya hafal Al-Qur’an plus mempelajari buku-buku tertentu dari ulama madzhab “Hanafi”.
Daerah frontier Pakistan adalah daerah yang menghubungkan antara beberapa negara, antara lain Pakistan dan juga China. Daerah ini biasanya dikenal dengan penduduknya yang bersuku “Pathan” yang berwajah keras, bersuara keras, tapi rata-rata berhati lembut dan mulia. Kehidupan mereka sangat keras dan gigih. Terkadang di musim dingin mereka tidak memakai pemanas (heater) dan di musim panas tidak memakai pendingin (AC). Membawa senjata semacam klashinkop adalah hal pemandangan biasa, bahkan jika mereka shalat senjata itu bagaikan tongkat di hadapan mereka.
Ketika perang Afganistan berkecamuk, daerah-daerah pathan Pakistan tersebut juga kena imbas, bahkan para mujahidin asing di Afghanistan menjadikan daerah-daerah Pakistan tersebut sebagai tempat peristrahatan yang mewah. Daerah pegunungan yang indah, dengan sungai-sungai yang bening, menjadikan daerah-daerah tersebut sumber sebuah ketenangan. Bahkan tidak sedikit di antara mujahidin itu yang kemudian memperistri gadis-gadis Pathan yang cantik, berkulit putih halus, dan bermata biru.
Baca Juga: Enam Prinsip Pendidikan Islam
Sebelum terjadi perang Afghanistan, daerah frontier ini memang hampir tidak dapat dikontrol oleh Pemerintah Pakistan. Maka walaupun secara resmi mereka bagian dari Pakistan, tapi secara non official, mereka merasa berdaulat penuh dari Pemerintah Pakistan. Sejak terjadinya peperangan di Afghanistan melawan Uni Soviet, khususnya setelah Uni Soviet dipaksa meninggalkan Afghanistan, daerah-daerah frontier menjadi “save heaven” bagi para pejuang Afganistan, khususnya mereka yang dari Timur Tengah. Kita tentunya masih diingatkan daerah di mana Osama bin Laden bersembunyi hingga tewas tertembak oleh pasukan komando AS.
Kembali ke Taliban. Kelompok ini terbentuk atas inisiatif intelijen Pakistan untuk mengimbangi pemerintahan Afghanistan saat itu yang sudah mulai menguat. Walaupun ada tensi antar kelompok Mujahidin dalam Afghanistan, namun komitmen mereka yang membangun negara mereka dengan visi mereka sendiri, mulai dikhawatirkan oleh Pemerintah Pakistan. Oleh karenanya, dibentuklah sebuah kelompok agama di kalangan madrasah-madrasah atau sekolah-sekolah Islam tradisional di perbatasan antara Pakistan dan Afghanistan.
Kelompok ini kemudian diperkuat, dipersenjatai dan dibentuk untuk melakukan serangan terhadap Pemerintah Afghanistan yang sah. Taliban kemudian berkuasa dan memperlakukan apa yang mereka akui sebagai “hukum Islam” (syari’ah), termasuk rajam bagi penzina, potong tangan bagi pemcuri, dll. Salah satu peristiwa yang paling diingat oleh dunia ketika awal Taliban berkuasa di Afghanistan adalah penghancuran sebuah rumah ibadah Budhha yang bersejarah.
Pahaman agama Taliban yang puritan ala Wahabi, ternyata berbalik justru melanggar ajaran Islam, antara lain, melarang anak-anak wanita untuk sekolah karena alasan bisa menghancurkan moralitas kaum wanita. Persis ketika Saudi melarang wanita mengendarai mobil karena bisa merusak moralitas wanita dan menimbulkan fitnah.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-10] Makanan dari Rezeki yang Halal
Pemahaman Islam ala Taliban ini merupakan pemahaman yang tidak berbeda dari berbagai kelompok-kelompok Muslim militan, yang kemudian menjadi teroris-teroris atas nama agama. Mulai dari Al-Qaedah, Al-Shabab, Al-Qaida di Timur Tengah, dan yang terakhir ISIS atau ISIL di Irak dan Suriah. Akar dari idiologi yang mereka kembangkan menjadi idiologi terorisme tidak lain adalah paham Wahabi literal, yang memang cenderung membawa kepada paham takfiri. Yaitu kelompok yang cenderung mengkafirkan mereka yang tidak sependapat, atau minimal dituduh sebagai ahli bid’ah atau kurang sunnah.
Salah satu pemahaman literal kelompok-kelompok di atas yang sangat berbahaya dan sekaligus mengorbankan sebuah konsep agung dalam Islam adalah pemahaman jihad yang tidak saja salah, tapi sangat berbahaya dan merusak. Bahwa jihad diwajibkan oleh Allah untuk memerangi mereka yang dianggap musuh. Dan musuh tidak lain adalah non Muslim secara keseluruhan, khususnya Yahudi dan Kristen.
Biasanya dalam membenarkan paham mereka, tidak tanggung-tanggung juga memakai ayat-ayat dalam Al-Qur’an. Sebagai misal, ayat “Jangan kamu jadikan Yahudi dan Nashrani sebagai wali” seringkali ditafsirkan sebagai pengharaman untuk membangun persahabatan dan kerjasama dengan kedua umat tersebut. Oleh karena umat ini tidak dibenarkan untuk berteman dengan mereka, maka mereka harus diposisikan sebagai musuh. Dan dari situpun dibangun konsep lain yang disebut “Al-wala wal-bara”, yang secara sederhana diterjemahkan sebagai konsep pertemanan dan permusuhan.
Memahami jihad
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan
Bagi Taliban dan sesama madzhab, termasuk ISIS, Boko Haram, Al-Shabab, dll., jihad dimaknai sebagai kewajiban berperang melawan mereka yang tidak mau menerima Islam sebagai petunjuk hidup. Pemahaman ini sekali lagi biasanya dicarikan pembenaran dari ayat-ayat atau hadits-hadits, misalnya: “Dan perangilah di mana saja kamu dapati mereka”. Atau hadits yang mengatakan: “Dan perangi mereka hingga mereka mengucapkan laa ilaaha illallah-Muhammad Rasulullah”.
Pemahaman Talibanis inilah yang seringkali juga dipakai oleh mereka yang anti Islam, termasuk Pamela Geller dalam iklan-iklan anti Islamnya di New York City, bahwa Islam itu akan ‘memenggal leher dan memotong jari jemari kamu di mana saja mereka mendapat kesempatan’. Maka sebenarnya, antara kelompok Taliban dan terroris lainnya memiliki kesamaan dengan kelompok anti Islam atau musuh-musuh Islam.
Lalu bagaimana memahami jihad secara proporsional? Apakah memang jihad juga berarti perang?
Perlu dipahami terlebih dahulu bahwa tidak ada yang paling berharga dalam Islam lebih dari kehidupan itu sendiri. Oleh karenanya dalam “maqashid as-shariah” tujuan terutama dari hukum Islam adalah “menjaga hidup” (hifzul hayaah). Artinya, kalau anda dalam menjalankan agama tapi akan mengorbankan jiwamu maka wajib hukumnya kamu tinggalkan dan selamatkan jiwamu. Sebagai misal, jika sedang berpuasa dan akan mati kelaparan, dan tidak ada makanan lain kecuali babi, maka makanlah babi itu demi menyelamatkan jiwa manusia.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
Oleh karena itu jihad tidak pernah dipahami sebagai “pembunuhan”. Justeru jika dalam prosesnya terjadi pembunuhan maka itu terjadi hanya karena proses membela kehidupan itu sendiri.
Pemahaman seperti ini dipahami dari sejarah turunnya perintah jihad itu sendiri. Menurut para ulama, ayat pertama yang diturunkan sebagai perintah jihad dalam Al-Qur’an adalah: “Dan berjihadlah kepada mereka dengan jihad yang besar (jihadan kabiran)”. Ayat ini turun di Mekah atau makkiyah. Padahal dikenal di masa makkiyah tidak pernah sama sekali terjadi “peperangan”. Lalu apa makna jihad besar atau jhadan kabiran?
Menurut para ulama tafsir, arti jihad besar di sini adalah dengan “Al-Qur’an, argumentasiyang sehat, kesabaran, dan kerja keras dan sungguh-sungguh serta konsisten”.
Dengan demikian dipahami bahwa jihad pada dasar dan asal usulnya adalah bersifat “spiritualitas” dan non physical. Tapi apakah jihad tidak sama sekali berarti peperangan (war / al-harb)? Jawabannya jelas bahwa jihad dalam beberapa tempat dalam Al-Qur’an juga diartikan sebagai “perang” (war atau al-harb). Ayat yang bisa dipakai jihad dalam arti ini adalah: “Wahai orang-orang yang beriman, akankah Aku tunjukkan kepadamu sebuah perniagaan yang akan menyelamatkan kamu dari api neraka? Beriman kepada Allah dan rasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta-harta dan diri-diri kamu. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu memahami” (As-Shaf).
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Kategori jihad dalam Islam
Dalam ajaran Islam jihad dapat dibagi kepada tiga kategori; mujahadah, itjihad, dan jihad.
Mujahadah adalah proses perjuangan ke dalam (inner struggle) untuk menguatkan aspek ruhiyah kehidupan manusia sehingga tahan dari berbagai kemungkinan godaan dalam hidup. Kemampuan melawan godaan-godaan (ahwa) itulah yang dapat mengantar kepada “hidayah” ke jalan-jalan kebajikan. Aspek jihad ini terpatri dalam ayat Allah: “Dan mereka yang bermujahadah di jalan Kami (Allah) niscaya akan Kutujukkan kepada mereka jalan-jalanKu (menuju kepadaKu)”.
Ijtihad adalah berusaha keras dengan pikiran atau akal dalam upaya menemukan makna dalam ayat-ayat Allah, baik ayat-ayat qauliyahNya (Al-Qur’an) maupun ayat-ayat QauniyahNya. Penemuan makna dalam qalam dan khalq (ciptaan) Allah inilah yang disebut dengan ilmu. Proses penemuan makna ayat-ayat di dua sisi adalah perjuangan yang lazimnya disebut dengan “Al-ijtihad”.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Sementara “jihad” walaupun mencakup ketiganya, dapat diartikan sebagai mengerahkan seluruh wujud physical, termasuk diri dan harta untuk mencapai keridhaan Allah SWT. Di bagian ketiga inilah, masuk kategori jihad yang berarti perang dalam Islam. Walaupun masih harus digarisbawahi bahwa perang hanya bagian kecil dari jihad fisik yang dimaksudkan dalam kategori ini. Membuang sampah dan duri dari jalan, tersenyum, berdagang, bertani, dan sebagainya bahkan masuk dalam kategori ini.
Perang dalam Islam
Saya ingin mengingatkan kita semua bahwa tidak satupun agama atau kitab suci yang perlu merasa atau berpura-pura tidak memiliki konsep atau bahkan perintah perang ini. Dan juga tidak satu pun komunitas agama di manapun yang dapat perlu sok suci dan tidak pernah terlibat dalam pertumpahan darah. Bahkan semua bisa membuka mata dengan sejarah perjalanan dunia kita, khususnya sejarah kelam peperangan antar manusia, termasuk antar kelompok agama-agama.
Memang dalam beberapa dekade terakhir, Islamlah yang menjadi bulan-bulanan dan bahkan seolah identik dengan peperangan dan kekerasan. Seolah di mana ada konflik dan perang di situlah Islam ada, dan di mana ada Islam seolah-olah konflik menjadi sesuatu yang pasti. Tapi apakah ini menjadikan kita semua buta dengan sejarah konflik dan peperangan? Kalau kita jujur, akan adakah yang akan merasa sok suci atau pura-pura suci?
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Islam sebagai agama kehidupan memang tidak buta mata dengan realita bahwa dalam kehidupan manusia akan terjadi peperangan-peperangan (wars atau huruub). Bahkan kita diingatkan ketika Allah pertama kali menciptakan manusia justeru malaikat sudah memahami salah satu sisi karakter bani Adam ini: “Kenapa Engkau menciptakan siapa-siapa (manusia) yang akan melakukan kerusakan dan menumpahkan darah”?
Oleh karena Islam memang datang memberikan petunjuk paripurna, termasuk petunjuk berperang jika harus, maka agama ini juga membicarakan cukup detail mengenai peperangan itu. Ayat-ayat perang dapat dengan mudah didapatkan dalam Al-Qur’n, baik yang memakai kata ‘jihad’ maupun yang memakai kata lain, seperti ‘qitaal’ misalnya.
Namun demikian, berani saya sampaikan bahwa dalam hal perang, Islam mengajukan konsep peperangan yang sangat ‘civilized’ dan ‘manusiawi’ (civilized and humane). Kenapa demikian? Karena peperangan dalam Islam bukan sekedar peperangan, bahkan tidak dimaksudkan mengalahkan musuh melainkan menghentikan “kezaliman” dan kekerasan-kekerasan dan pengrusakan. Digambarkan misalnya bahwa kalau saja bukan karena Allah yang menjaga, dalam peperangan akan hancurlah rumah-rumah ibadah, baik rumah ibadah yahudi, Kristen, Hindu, Budha maupun Islam (masaajid). Artinya, peperangan Islamlah yang menjaga keutuhan rumah-rumah ibadah agama apa saja.
Fi sabiilillah
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Semua kata jihad dalam Al-Qur’an diikat oleh satu ikatan yang kuat, yaitu “fii sabilillah” atau di jalan Allah. Artinya, jihad baik dalam arti non fisikal maupun fisikal, keduanya harus diikat oleh ikatan “fii sabilillah” ini.
Fii sabilillah yang berarti “di jalan Allah” dipahami bahwa jihad, yang lebih spesifik lagi dalam hal perang memerlukan dua hal:
1) bahwa dasar atau motif dari peperangan dalam Islam tidak lain karena “Allah” (lillahi ta’ala). Ini berarti ketika peperangan sudah bergeser kepada “balas dendam” atau sekedar melampiaskan “kebencian” maka nilai jihad fi sabilillah telah tergeserkan.
Kita diingatkan oleh kisah Ali bin Abi Talib yang tidak jadi membunuh musuhnya dalam sebuah peperangan karena musuh tersebut meludahi wajahnya. Seketika amarah Ali naik, tapi kemudian tersadarkan bahwa niatnya telah terkontaminasi oleh amarah pribadinya. Maka seketika itu beliau meninggalkan musuh yang meludahi wajahnya tadi dan pergi menjauh. Seorang bertanya kepadanya kenapa membiarkan musuh yang bahkan meludahinya itu? Jawabannya adalah karena niat membunuh tadi telah bergeser dari “lillahi ta’ala” ke sekedar memenuhi “hawa nafsu amarahnya”.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
2) Bahwa peperangan dalam Islam memiliki “rules of engagement” yang sangat jelas dan ketat. Aturan-aturan dalam berperang dalam agama Islam merupakan aturan yang mengikat. Bahkan beberapa di antaranya baru diadopsi, bahkan sebagian aturan tersebut belum mampu diakomodir oleh dunia yang diakui sebagai dunia yang lebih berbudaya (civilized world).
Rasulullah SAW hidup di akhir sekitar abad ketujuh di padang pasir yang sesungguhnya jauh dari kemungkinan “peradaban manusia”. Tapi Rasulullah SAW telah membuktikan bahwa peperangan adalah sesuatu yang tidak beradab, dan hanya akan dilakukan ketika masuk dalam batas “kedhoruratan” (emergency). Bahkan ketika terlibat karena terpaksa, Al-Qur’an masih menggariskan “wa huwa kurhun lakum” (bahwa peperangan itu masuk dalam kategori dibenci oleh umat Islam secara normal).
Oleh karenanya, ketika umat terpaksa melakukan pembelaan diri dan kehormatan dan kepemilikan, termasuk negara (patriotism) Madinah, maka Allah menurunkan ayat pertama bukan memerintahkan tapi memberikan izin: “Diizinkan kepada mereka yang diperangi karena terzalimi (untuk berperang), dan sungguh Allah Maha Mampu untuk memberikan kemenangan kepada mereka”.
Rules of engagements
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Aturan pertama yang harus diingat tentang perang dalam Islam adalah bahwa perang tidak pernah dimaksudkan sebagai offensive war, apalagi yang disebut “preemptive war” (menyerang karena menduga akan diserang). Perang dalam Islam hanya bersifat ‘defensive untuk membela diri, kehormatan, dan kepemilikan. Ayat Al-qur’an menyebutkan: “Dan perangilah mereka yang memerangi kamu”. Ayat ini dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa yang bisa diperangi hanya mereka yang memerangi.
Aturan kedua adalah bahwa dalam berperang tidak diperkenankan melakukan pembunuhan secara ‘indiscriminative’ (tanpa pandang bulu). Artinya target pembunuhan dalam peperangan kalau harus terjadi tidak sembarangan. Inilah yang ditegaskan dalam Al-Qur’an: “Dan jangan melampaui batas karena sesungguhnya Allah tidak menyukai mereka yang melampaui batas”.
Penafsiran langsung dari potongan ayat tersebut dilakukan dalam bentuk aksi oleh Rasulullah SAW, yang kemudian lebih dirincikan oleh Abu Bakar R.A ketika mengirim pasukan untuk mempertahankan dunia Islam ketika itu. Nasehat Abu Bakar itu terangkum dalam catatan sejarah ketika memberikan amanah kepada prajuritnya: “Jangan membunuh kaum wanita, anak-anak, orang tua, dan mereka yang sedang beribadah (dalam agama apa saja). Jangan juga membunuh hewan, jangan memotong pohon-pohon, dan jangan meracuni sumur”.
Instruksi dari panglima tertinggi Islam setelah Rasulullah SAW meninggal dunia itu bukan sembarang memberikan aturan tanpa ketauladanan Rasulullah SAW, yang pernah marah besar karena melihat seorang wanita dari musuh Islam yang terbunuh.
Aturan ketiga adalah bahwa kalau masih ada celah untuk menghindari peperangan, maka dihindari. Rasulullah SAW setiap kali akan mendapatkan serangan dari kaum kafir Mekah, beliau pasti mengutus seseorang yang ahli diplomasi dan dihormati oleh kaum Mekah untuk melakukan perundingan agar peperangan bisa dihindarkan.
Satu contoh nyata dalam sejarah Islam adalah ketika Rasulullah SAW diperintah oleh Allah untuk melakukan ibadah haji di tahun keenam Hijriyah. Puluhan ribu umat Islam mau berhaji tapi dihalangi oleh kaum musyrik Mekah dan dilarang untuk masuk Mekah. Sungguh penghinaan, tidak saja kepada Rasulullah dan umatnya, tapi dinilai oleh sebagian sebagai penghinaan kepada Allah SWT. Dan karenanya banyak pengikut Rasulullah SAW merasa siap mati membela hak mereka.
Tapi Rasulullah SAW justeru berpikir sebaliknya. Beliau mengutus seorang sahabat, Ustman bin Affan, untuk melakukan dialog dan diplomasi agar peperangan dapat dihindari. Selain karena beliau memiliki hitung-hitungan jeli dalam berperang, walau sangat yakin dengan pertolongan Allah, beliau mengedepankan kemungkinan “assilm”. Dan inilah memang perintah dalam Al-Qur’an: “Dan jika mereka condong kepada perdamaian maka berdamailah”.
Karena rules of engagements yang jelas dan ketat inilah yang menjadikan ketika Rasulullah SAW masuk kembali ke Mekah dengan pasukan besar, tapi tidak melakukan pembunuhan dan pengrusakan. Bandingkan dengan pasukan manusi modern di abad 21, yang dikenal sebagai abad peradaban, jika memasuki kota maka kota tersebut akan hancur lebur. Beratus-ratus ribu kaum sipil menjadi korban, fasilitas umum hancur, bahkan rumah-rumah ibadah sekalipun.
Penutup
Dengan demikian, dengan penjelasan yang gamblang mengenai peperangan dalam Islam ini semoga membuka mata semua, baik Muslim maupun non Muslim, bahwa apa yang dilakukan oleh Taliban di Pakistan, Boko Haram di Nigeria, Al-Shabab di Somalia, dan ISIS di Suriah dan Irak, adalah distorsi nyata dari konsep jihad dan peperangan dalam Islam. Bahkan apa yang mereka lakukan atas nama Islam adalah sesungguhnya peperangan kepada Islam itu sendiri.
Akhirnya ada pula yang memakai dalih berjuang untuk keadilan. Bukan tidak setuju dengan tujuan mulia itu. Karena keadilan adalah kehidupan itu sendiri. Hidup tanpa keadilan, atau hidup dalam kezaliman adalah sebuah kehidupan dalam kepura-puraan. Tapi harus pula diingat bahwa dalam agama Islam “a noble goal doesn’t justify just any means”. Bahkan keadilan itu sendiri dalam Al-Qur’an bergandengan dengan “ihsan”:“Innallah ya’muru bil-‘adli wal ihsan”.(T/R04/P2)
* Penulis adalah tokoh Islam yang bermukim di New York, AS.
New York, 19 Desember 2014
————————
*Syamsi Ali adalah imam di Islamic Center of New York dan direktur Jamaica Muslim Center, sebuah yayasan dan masjid di kawasan timur New York, Amerika Serikat, yang dikelola komunitas muslim asal Asia Selatan. Syamsi Ali aktif dalam kegiatan dakwah Islam dan komunikasi antaragama di Amerika Serikat (terutama pantai timur).
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)