Tahun 1967 menjadi awal baru bagi Ahmad Jazuli, istri, dan ketiga anaknya untuk merintis hidup di Lampung dan meninggalkan Banten tanah kelahirannya.
Perjalanan hidupnya di Lampung kemudian mengantarkannya juga ke perkampungan Muhajirun, Desa Negararatu, Kecamatan Natar, Lampung Selatan. Sebuah kampung yang dirintis untuk perjuangan dakwah menegakkan sunnah dengan mendirikan Pondok Pesantren yang diberi nama Shuffah Hizbullah, Al-Fatah.
Ia masih ingat, awalnya baru ada tujuh orang kemudian menyusul beberapa orang lain ke Dusun itu hingga ada sekitar 34 kepala keluarga pada tahun 1974. Ahmad Jazuli termasuk ke dalam orang-orang yang pertama sekali merintis Pondok Pesantren Shuffah Hizbullah diantaranya KH. Saefuddin Marzuki Adjukarsa, KH.M.Damiri Bin Tholib, KH.Abdul Hidayat Saerodji, KH.M.Hasyim Halimi, dan Nurjannah serta Eni Hastuti S.
Semula, istri Ahmad Jazuli tidak mengizinkannya hijrah ke Muhajirun, selain itu ia juga sempat diadang beberapa orang agar tidak masuk ke daerah yang akan dituju yang saat itu masih berupa hutan dan semak belukar. Namun, semua rintangan tak menyurutkannya untuk datang ke Muhajirun dan bergabung dengan kawan-kawannya yang sudah duluan berada di sana.
Baca Juga: Teungku Peukan, Ulama dan Tokoh Pejuang Aceh
Di awal masa perintisan Kampung Muhajirun, Ahmad Jazuli atau lebih sering dipanggil Pak Jazuli pernah menjabat sebagai kepala dusun, rois, dan amir ukhuwah. Dari tujuh orang awal, perlahan banyak ikhwan yang bergabung berdatangan dari daerah lain, menjalankan amanah bersama membuka lahan membangun rintisan awal Pondok Pesantren Shuffah Hizbullah Al -Fatah.
Jazuli memulai perjuangannya dengan tekad yang kuat dan keyakinan kepada Allah. Ketika pertama kali datang ke kawasan yang kini dikenal sebagai Kampung Muhajirun, ia menghadapi banyak tantangan. Daerah ini masih berupa hutan belantara tanpa fasilitas dasar.
Bersama beberapa ikhwan yang setia, ia berjuang dari awal, mulai dari membuka lahan, membangun tempat ibadah, hingga mengajak masyarakat sekitar untuk merasakan kedamaian Islam. Tujuh orang ikhwan awal yang bersamanya saling menguatkan, dan mereka merasa yakin bahwa Allah akan menolong setiap langkah mereka.
Jazuli dan beberapa ikhwan lainnya mulai bekerja di lahan pribadi masing-masing, seperti menanam singkong dan sayuran, hingga membuat mushala bersama-sama untuk keperluan shalat berjamaah setiap waktu. Masa itu, istri Jazuli dan juga istri ikhwan yang lain sama-sama bergotong-royong, membuat atap dari alang-alang selepas shalat Shubuh, mereka kerjakan setiap hari hingga atap selesai.
Baca Juga: Ariel Sharon: Algojo Zionis dan Dalang Pembantaian Sabra-Shatila
Ada yang unik di awal mereka menetap di Muhajirun, saat tiba waktu shalat. Jazuli atau siapa saja dari mereka, memukul-mukul ember tanda waktu Zuhur tiba, itu ia lakukan karena suara azan saat itu masih tergolong aneh dan langka. Saat azan dikumandangkan, suara speaker dari batang bambu yang tinggi mampu mencapai bukit.
Saat itu, Jazuli sangat ingin membangkitkan dakwah melalui sikap nyata atau dakwah bil hal, memperkenalkan Islam kepada masyarakat sekitar dengan membuka diri terhadap mereka, memuliakan tamu, dan menghidupkan sunah Rasul. Namun, dakwah di Muhajirun awalnya tidak selalu berjalan mulus. Saat mereka mulai menetap di Natar, ada beberapa pihak yang mempersoalkan keberadaan mereka, khususnya tata cara beribadah yang dianggap berbeda.
Dalam suatu pertemuan dengan pejabat desa, camat, dan polisi, Jazuli sempat menjelaskan bahwa mereka semua taat pada aturan desa dan semua memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Setelah penjelasan itu, pihak kepolisian akhirnya meminta maaf, mengakui kesalahpahaman. Jazuli dan ikhwan-ikwan lain kembali hidup tentram tanpa gangguan.
Seiring waktu, kampung kecil ini mulai berkembang. Jazuli dan warga Muhajirun tidak hanya fokus pada ibadah dan belajar agama, tapi juga mengembangkan kegiatan ekonomi berbasis pertanian. Mereka menanam singkong, sayuran, dan tanaman lain untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Baca Juga: Abu Haji Salim Mahmudi Lamno, Ulama Aceh ahli Tasauf
Ketika suara azan mulai terdengar di seluruh kampung melalui speaker bambu, Kampung Muhajirun mulai menjadi pusat perhatian. Namun, keberadaan Jazuli dan ikhwan-ikhwan di Muhajirun tidak selalu diterima dengan baik oleh masyarakat sekitar. Ada saja pihak yang menentang kehadiran mereka, menganggap cara beribadah mereka berbeda. Bahkan, saat mereka mengurus pajak tanah, ada yang meragukan komitmen mereka terhadap peraturan setempat dan negara.
Namun, Jazuli tak gentar. Dalam pertemuan dengan para pemangku kebijakan, ia menjelaskan bahwa mereka taat aturan dan telah membayar pajak dengan tertib. Keberanian dan keteguhan Jazuli pada akhirnya mendapat pengakuan dari berbagai pihak.
Waktu berlalu, tantangan zaman membuat ukhuwah di antara umat saat ini diakui Jazuli berbeda di masa awal-awal ia hijrah ke kampung itu. Ia mengingat masa lalu di mana semangat ukhuwah sangat kuat dan penuh keikhlasan.
”Dulu, dalam melaksanakan amanah, mereka bergerak cepat, bahkan tanpa menunggu baju kering. Semua dilakukan dengan pasang badan, penuh tanggung jawab dan tanpa perhitungan pribadi. Kini, di saat perkembangan teknologi malah keakraban itu semakin berjarak,” katanya.
Baca Juga: Abu Tumin, Ulama Kharismatik Aceh
Ia percaya bahwa ukhuwah adalah kekuatan utama yang mampu membangun masyarakat berlandaskan nilai-nilai Islam. Baginya, ukhuwah bukan sekadar hubungan biasa; itu adalah ikatan yang menjaga seseorang dari api neraka dan mengantarkan ke surga.
Pada masa awal, ukhuwah di Muhajirun begitu kuat, dan setiap orang bekerja tanpa pamrih, semata-mata karena Allah Ta’ala. Mereka menjalankan amanah dengan penuh ketulusan. Namun, Jazuli merasakan perbedaan yang cukup besar di masa sekarang, di mana teknologi dan pola pikir yang lebih pragmatis mulai mengurangi kedekatan dan keikhlasan yang dulu sangat terasa.
Di usianya yang tak lagi muda, Jazuli mengingatkan pentingnya menjaga akidah dan semangat pendidikan ala Rasulullah, meskipun menghadapi kemajuan zaman. Baginya, tarbiyah dan pemahaman jamaah tetaplah utama, meski harus diselaraskan dengan perkembangan yang ada.
Dalam menjalankan amanah jamaah, Jazuli selalu mengingatkan pentingnya tarbiyah dan ribat (kesiapan berjaga). Dulu, katanya, semua orang bergerak dengan cepat dan penuh dedikasi. Mereka siap meninggalkan kenyamanan demi tugas berdakwah.
Baca Juga: James Balfour, Arsitek Kejahatan Politik yang Membawa Sengsara Tanah Palestina
”Bahkan, jika pakaian masih basah, mereka tetap berangkat menjalankan amanah. Semangat seperti ini, sangat penting untuk menjaga kelangsungan dakwah dan memperkuat iman di tengah perkembangan zaman,” ujarnya.
Namun, Jazuli juga sadar bahwa perubahan zaman membawa tantangan tersendiri, terutama dalam pemahaman generasi muda terhadap konsep jamaah dan ukhuwah. Menurutnya, pendidikan yang ideal harus mampu menanamkan semangat tauhid dan perjuangan, meskipun dalam bentuk yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Baginya, perubahan zaman tidak boleh menjadikan jamaah kehilangan jati diri. Jamaah tetap harus menjadi prioritas, karena di sanalah kekuatan dan perlindungan umat Islam sesungguhnya.
Sebagai pesan akhir, Jazuli menekankan bahwa perkembangan zaman harus disikapi dengan bijak. Ia mendorong para jamaah untuk terus belajar dari sejarah, memperkuat ukhuwah, dan menjaga kesetiaan kepada Al-Quran dan Sunah.
Baca Juga: Wilhelmi Massay, Relawan Tanzania, Masuk Islam Setelah Menyaksikan Genosida di Gaza
Memukul ember tanda waktu shalat tiba, adalah masa lalu dari kekinian Muhajirun dan Pondok Pesantren Al-Fatah yang pesat di mana masih dapat Pak Jazuli saksikan, saat ini di usianya yang kian senja. [bahron ansori]
Baca Juga: Abu Tanjong Bungong Ulama Ahli Falak Aceh