Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pakai Hijab, Perempuan Kristen Rasakan Batin Jadi Muslimah

Admin - Senin, 18 Januari 2016 - 15:10 WIB

Senin, 18 Januari 2016 - 15:10 WIB

569 Views ㅤ

Siswa SMA Franklin Zion Lourdes Perez, 16, (kiri) bersama teman-temannya Marwa Alansi, 16, Hillal Nor, 17, dan Aisha Burka, 16, difoto di sekolah di Seattle, Washington, AS, pada 15 Januari 2016. (Sumber foto: The Seattle Times/Erika Schultz)

Seattle-pada-Jumat-Erika-Schultz-The-Seattle-Times-300x200.jpg" alt="Siswa SMA Franklin Zion Lourdes Perez, 16, (kiri) bersama teman-temannya Marwa Alansi, 16, Hillal Nor, 17, dan Aisha Burka, 16, difoto di sekolah di Seattle, Washington, AS, pada 15 Januari 2016. (Sumber foto: The Seattle Times/Erika Schultz)" width="600" height="400" /> Zion Lourdes Perez (kiri) bersama teman-temannya Marwa Alansi, Hillal Nor, dan Aisha Burka, difoto di SMA Franklin di Seattle, Washington, AS, pada 15 Januari 2016. (Sumber foto: The Seattle Times/Erika Schultz)

Siang itu, jalanan sangat ramai, baik oleh pejalan kaki ataupun pengendara. Seorang remaja perempuan Kristen Katolik berusia 16 tahun, Zion Lourdes Perez, berjalan pulang menuju rumahnya sambil menggendong tas sekolah.

Tidak ada yang aneh dari kehidupan Perez. Namun, bagi orang-orang terdekat, Perez memiliki hati yang terbuka. Suatu waktu, dia pernah mencoba memakai hijab dan tak menyangka dirinya menjadi terasing dan terisolasi.

“Saya merasa orang-orang menatap saya dengan nanar yang negatif, seakan-akan saya adalah ancaman atau orang luar. Ketika saya membuka hijab, saya merasa lega,” ujar Perez seperti dilansir Seattletimes, dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA).

Meski pahit, Perez tidak urung memakai hijab. Dia justru penasaran dan memakai hijab selama sepekan penuh, bukan seperti sebelumnya, satu atau dua jam saja. Di SMA Franklin, dia justeru menjadi pendiri dan ketua Asosiasi Pelajar Muslim.

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Sebagian besar siswa perempuan non-Muslim juga ikut mencoba memakai hijab selama satu atau dua jam pada pekan mode. Ke depannya, mereka ingin menghayati lebih jauh bagaimana rasanya menjadi wanita Muslimah.

“Sekarang, saya juga bisa memahami dan ingin menghargai perempuan Muslimah,” terang Perez. Maklum, para Muslimah terkadang menjadi bulan-bulanan di media sosial, selama kampanye politik, dan di tempat umum.

“Saya tahu mereka haruslah memiliki pendirian dan itikad yang kuat. Berjalan di tempat umum sambil memakai hijab membutuhkan keberanian yang luar biasa,” lanjut Perez mengacu pada tingginya islamofobia di Seattle.

Senada dengan Perez, siswa yang lain, Samuel Aronwald, juga mengutarakan pandangan yang sama. “Saya kira ini merupakan isu yang besar. Enam bulan lalu, saya tidak memahami Islam dan saya tidak berpikir Islam itu hebat,” katanya.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Menurut Aronwald, untuk menerima agama atau budaya lain, kita harus memahaminya secara penuh. Kepala Sekolah SMA Franklin, Jennifer Wiley, mengatakan saat ini umat Islam berjuang keras melawan isu yang rumit.

Stigma negatif terhadap Islam, kata Aronwald, juga membuat umat Muslim kesulitan berbaur secara lebih bebas. Di Seattle, masyarakat mengalami kesalahpahaman. Tapi anehnya, jumlah umat Islam terus meningkat di setiap tahun.

Untuk sebagian orang, terutama di negara Barat, hijab dianggap simbol penindasan dan pemisahan. Bahkan tak jarang para perempuan berjilbab menjadi korban diskriminasi.

Kisah Hijab Nazma Khan

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Tiga tahun yang lalu, bertepatan dengan Hari Hijab Sedunia (World Hijab Day) 1 Februari 2013, seorang Muslimah New York menggagas ide untuk meminta perempuan non-Muslim atau Muslim yang tak berjilbab, agar mencoba memakai kerudung.

Tujuannya adalah untuk meningkatkan pemahanan dan toleransi.

Gerakan yang digagas Nazma Khan dari situs jejaring sosial tersebut menarik perhatian kalangan Muslim dan non-Muslim di lebih dari 50 negara di dunia.

“Tumbuh besar di Bronx, New York, aku menjadi korban diskriminasi gara-gara hijab yang kukenakan,” kata Khan, yang keluarganya pindah dari Bangladesh ke New York saat ia berusia 11 tahun.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Di sekolah, Nazman Khan adalah satu-satunya yang berjilbab. “Di sekolah menengah, aku diolok-olok dengan sebutan ‘Batman’ atau ‘ninja’,” kata dia.

“Saat kuliah, sesaat setelah serangan 9/11, orang-orang memanggilku ‘Osama Bin Laden’ atau ‘teroris’. Itu sangat menyedihkan.”

Nazma Khan pun putar otak untuk menghentikan diskriminasi atas dirinya dan perempuan Muslim lainnya. “Aku pikir salah satu cara untuk menghentikan diskriminasi adalah meminta saudari-saudari kami, lepas dari asal dan agamanya, untuk mencoba memakai jilbab.”

Namun, Khan tak menyangka idenya itu akan mendunia. Ia mendapatkan kontak dari orang-orang dari lusinan negara, termasuk Inggris, Australia, India, Pakistan, Perancis, dan Jerman. Grupnya di jejaring sosial pun diterjemahkan dalam 22 bahasa.

Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?

Pengakuan Perempuan Non-Muslim

Salah satu yang mencoba memakai kerudung adalah Jess Rhodes (21), mahasiswi asal Norwich, Inggris. Ia mengaku sudah lama ingin mencoba memakainya, namun karena bukan pemeluk Islam, ia tak berpikir itu sebuah pilihan. Hingga seorang rekannya menawarkan kesempatan untuk mencobanya.

“Dia meyakinkan, saya tak harus menjadi Muslim untuk memakainya. Ini hanya soal kesopanan, meski jelas berkaitan dengan Islam. Aku pikir, mengapa tidak?” kata Rhodes.

Rhodes adalah satu dari ratusan perempuan non-Muslim yang mengenakan kerudung sebagai bagian dari perayaan pertama World Hijab Day 2013 lalu.

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Saat memakainya pertama kali, Rhodes mengaku orang tuanya heran. “Reaksi spontan orang tua saya adalah bertanya-tanya, apakah itu ide baik,” kata Rhodes, yang memutuskan untuk mengenakan jilbab selama satu bulan. “Mereka khawatir saya akan diserang di jalan oleh orang-orang intoleran.”

Rhodes mengaku, jelas ia khawatir jadi sasaran penyerangan. Tapi setelah delapan hari mengenakan jilbab, ia justru terkejut dengan reaksi positif orang-orang di sekitarnya.

Esther Dale (31) yang tinggal di California, saat itu juga memutuskan untuk berpartisipasi. Ia mencoba menutup kepalanya selama tiga hari.

Sebagai pemeluk Mormon, ia paham benar dengan pentingnya penerapan iman dalam kehidupan sehari-hari. Sekaligus menyadari, orang-orang kerap menghakimi seseorang berdasarkan pakaian yang ia kenakan.

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

Dale menganggap, ini adalah kesempatan baginya untuk membantu memerangi stigma buruk soal jilbab. “Jilbab adalah bagian dari kesopanan, tak sekedar pakaian. Asumsi bahwa perempuan Muslim memakainya atas dasar paksaan — terutama anggapan yang berkembang di AS, adalah salah,” kata dia.

“Ini kesempatan yang baik untuk mendidik orang-orang bahwa tak adil untuk menilai seseorang hanya berdasarkan apa yang mereka kenakan,” kata Dale. (P020/P001)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin

Rekomendasi untuk Anda

Internasional
Internasional
Internasional
Internasional
Internasional