Jakarta, MINA – Pakar Ekonomi Universitas Andalas, Prof Syafruddin Karimi menilai kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat sangat merugikan Indonesia. Ia menyebut perjanjian tersebut menciptakan ketimpangan besar dalam akses pasar dan struktur tarif antara kedua negara.
“Amerika Serikat memperoleh akses penuh ke pasar domestik Indonesia tanpa hambatan tarif. Sementara ekspor Indonesia ke AS tetap dikenai tarif sebesar 19 persen. Ini jelas menempatkan Indonesia dalam posisi yang timpang,” kata Syafruddin dalam keterangannya, Rabu (16/7).
Ia mengingatkan bahwa kesepakatan itu membuka jalan bagi dominasi produk impor Amerika, khususnya di sektor pertanian, otomotif, dan energi. “Ketika barang impor lebih murah karena bebas tarif, pelaku usaha lokal akan tertekan dan peluang industrialisasi nasional semakin sempit,” tegasnya.
Lebih lanjut, Syafruddin menyayangkan adanya komitmen pembelian besar-besaran yang membebani Indonesia, antara lain pembelian energi AS senilai 15 miliar dolar AS, produk pertanian 4,5 miliar dolar AS, serta 50 unit pesawat Boeing.
Baca Juga: Menag Ingin Belajar dari Keberhasilan Turki dan Jordan dalam Pengelolaan Wakaf
“Ini lebih menyerupai kewajiban sepihak ketimbang transaksi dagang yang saling menguntungkan,” jelasnya. Ia juga menilai pembelian pesawat Boeing sebagai keputusan yang tidak tepat waktu karena berpotensi membebani APBN dan BUMN penerbangan nasional di tengah lemahnya daya beli masyarakat.
Di sektor pertanian, Syafruddin mengingatkan bahwa impor kedelai, jagung, dan daging senilai 4,5 miliar dolar AS dapat menggerus pendapatan petani lokal.
Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa Indonesia menyepakati tarif tetap 19 persen atas semua ekspor ke Amerika, sementara produk ekspor AS ke Indonesia dibebaskan dari tarif dan hambatan non-tarif.
Trump juga mengklaim kesepakatan ini sebagai yang pertama dalam sejarah yang membuka seluruh pasar Indonesia bagi Amerika Serikat. []
Baca Juga: Cuaca Jakarta Rabu Ini Berpotensi Hujan Ringan
Mi’raj News Agency (MINA)