Jakarta, MINA — Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mendapat kritikan tajam dari dosen Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Herlambang Perdana Wiratraman SH PhD.
Itu sebabnya dia berharap pemerintah masih membuka pintu untuk perbaikan RKUHP yang kabarnya akan segera diberlakukan sebagai pengganti KUHP peninggalan Belanda.
“Isi draf RKUHP yang terakhir ini masih jauh di bawah standar hukum dan hak asasi manusia (HAM). Sangat berbahaya kalau RKUHP itu nanti ditetapkan sebagai UU,” kata Herlambang dalam seminar dengan tema Tanggapan Pemerintah atas Masukan pers/">Dewan Pers yang digelar pers/">Dewan Pers di Jakarta, belum lama ini dikutip laman resmi pers/">Dewan Pers, Jumat (18/11).
Menurut dia, dalam menyusun RKUHP mestinya pemerintah juga mempertimbangkan standar hukum HAM terkait keberadaan pers. Herlambang justru tidak melihat acuan standar hukum HAM dalam RKUHP ini.
Baca Juga: Wamendiktisaintek Dorong Peran Organisasi Kemahasiswaan Dukung Pembangunan Nasional
“Ada beberapa pasal yang mengancam demokrasi. Pasal yang mengancam kebebasan berekspresi juga masih ada di RKUHP ini. Bahkan pasal-pasal itu juga menjadi ancaman bagi jurnalis. Apa yang dipersoalkan pers/">Dewan Pers ada bukti empiriknya dan itu juga menjadi keprihatinan saya,” paparnya.
Ia menjelaskan tentang pasal 598 di RKUHP yang memuat delik pers. Bukan tidak mungkin pasal itu nanti akan dijadikan alat bagi penguasa untuk melakukan kriminalisasi terhadap pers.
Bahkan, ia berpendapat, bisa jadi pemerintah serampangan dalam penerapan pasal itu jika tidak ada pembatasan.
Herlambang juga mengritik lingkungan kampus yang punya andil dalam penyusunan RKUHP yang masih menganggap pers sebagai musuh.
Baca Juga: TNI AL Bersama Masyarakat Pesisir Bongkar Pagar Laut 30 KM di Tangerang
“Di kampus masih saja ada mata kuliah tentang tindak pidana pers. Mestinya diganti saja menjadi mata kuliah Hukum dan Kemerdekaan Pers,” ungkap Herlambang.
Kritikan juga datang dari pengacara Wina Armada Sukardi. Dia mengutarakan, pers memegang saham besar bagi kemerdekaan Indonesia. Sangat banyak tokoh dan pemimpin bangsa yang berasal dari kalangan pers.
“Pers itu jiwa demokrasi. Tanpa pers yang merdeka, maka tidak akan ada demokrasi. Tidak tepat bila RKUHP seolah menempatkan pers sebagai musuh,” ujarnya.
Wina bahkan menyatakan RKUHP ini lebih kolonial dari KUHP warisan kolonial Belanda. Ayat penghinaan dan permusuhan juga dihidupkan kembali. Mengecam dan menghina lembaga negara pun bisa dituntut pidana.
Baca Juga: MUI: Menjaga Kelestarian Lingkungan Tanggung Jawab Umat Beriman
“Jika RKUHP tetap dilaksanakan, ini jelas berbahaya. Ini kemunduran bagai peradaban dan demokrasi,” kata Wina.
Anggota Komisi III DPR dari Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil, menambahkan bahwa saat ini Indonesia belumlah menjadi negara hukum. Hukum belum menjadi panglima di negeri ini.
“Kita masih menjadi negara undang-undang. Negara undang-undang itu berbeda dengan negara hukum. Kita baru pada tahap memproduksi undang-undang belum menjalankan atau mendasarkan diri pada proses hukum dengan benar,” kilahnya.
Ia menilai masih ada waktu untuk membenahi RKUHP. Dalam waktu dekat, materi RKUHP akan dibahas lagi antara pemerintah dengan DPR.
Baca Juga: Indonesia Tingkatkan Diplomasi Kepemudaan dengan Forum Pemuda Kerjasama Islam
Ia berharap, 22 pasal masukan pers/">Dewan Pers bisa dibuka kemballi untuk dibahas. Dari 22 masukan pers/">Dewan Pers untuk RKUHP itu, saat ini hanya satu yang diakomodasi di bagian penjelasan.(R/R1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Alih Fungsi Lahan di Indonesia Ancam Ketahanan Pangan Nasional