PAKAR ISLAM DUNIA BAHAS ISU MULTIKULTURAL

Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) 2014 di Balikpapan. Foto: Kemenag
Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) 2014 di . Foto: Kemenag

Balikpapan, 29 Muharam 1436/22 November 2014 (MINA) – Para pakar Islam perwakilan tujuh benua  berkumpul di  Kota Balikpapan, Kalimantan Timur,  untuk mengkaji isu-isu strategis terkait multikulturalisme di lewat forum Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) 2014.

Saefudin  mengatakan, Kementerian Agama (Kemenag) selaku penyelenggara sengaja mengangkat  tema multikulturalisme dalam AICIS 2014  karena arus globalisasi yang semakin deras.

“Masuknya nilai-nilai asing ke Indonesia merupakan salah satu ancaman yang harus diwaspadai, karena paham baru bisa dengan mudah merusak generasi penerus bangsa,” ujar Lukman saat membuka AICIS 2014 di Balikpapan, sebagaimana dilaporkan pinmas Sabtu.

Menurut Lukman, bagaimanapun kehidupan global maupun peradaban dunia harus memiliki makna menyeluruh untuk memahami arti multikulturalisme.  Apalagi Indonesia punya pengalaman panjang dalam menjalani kehidupan multikulturalisme. Meskipun masyarakatnya hidup di tengah-tengah perbedaan budaya, suku, bahkan agama, tapi tetap bisa hidup bersama sejak ratusan tahun lalu.

“Dalam kehidupan yang semakin mengglobal seperti sekarang ini, dimana kompetisi persaingan hidup semakin tinggi, maka kesadaran untuk hidup di tengah keberagaman semakin relavan. Jangan sampai perbedaan justru memecah belah kita. Tapi bagaimana perbedaan itu diambil spirit positifnya, bisa saling melengkapi, saling menyempurnakan, dan saling mengisin,” katanya.

Lukman menyebutkan paling  tidak ada lima isu krusial dan tantangan multikulturalisme di Indonesia saat ini. Pertama, perlunya perhatian terhadap posisi para penganut di luar enam agama yang diakui di Indonesia. Karena Para penganut  paham di luar enam agama resmi tersebut juga ingin diakomodasi di dalam berbangsa dan bernegara. “Hal ini yang kemudian menguat jadi perbincangan, perlu tidaknya paham mereka muncul secara eksplisit di KTP, termasuk dalam akta kelahiran, akta kematian, pernikahan, pendidikan, termasuk proses pemakamannya kalau meninggal dunia bagaimana,” ujar Lukman.

Isu kedua, negara perlu menyikapi munculnya gerakan paham atau keagamaan baru yang semakin lama semakin menunjukkan grafik peningkatan. “Bukannya di masa lampau tidak ada gerakan serupa, tetapi gerakan gerakan semacam ini tidak berani menunjukkan identitasnya karena takut sanksi hukum dari negara kala itu yang tidak seterbuka sekarang,” jelasnya.

Isu ketiga terkait pendirian rumah ibadah yang kadangkala menimbulkan konflik, baik kalangan intern masyarakat maupun antarumat beragama. Padahal, pendirian rumah ibadah semestinya tidak perlu memunculkan keresahan antarumat beragama jika terdapat kematangan beragama pada masing-masing umat beragama.

Keempat, kekerasan antarumat beragama, terutama terhadap kelompok minoritas. Sejatinya, kaum mayoritas dan minoritas terkait wilayah di mana konteksnya berada. Apalagi Indonesia berada dalam wilayah geografis yang sangat luas, sangat beragam, dan sangat flural. Artinya, tidak selamanya posisi golongan tertentu jadi mayoritas maupun minoritas. Dalam wilayah tertentu bisa jadi kondisinya berbalik.

Adapun isu kelima, terkait penafsiran agama yang sempit, literal dan konservatif yang pada gilirannya mengancam kelompok keagamaan yang memiliki tafsir berbeda. Misalnya jihat yang hanya ditafsirkan sebagai perang, padahal jihat adalah setiap usaha yang sungguh sungguh untuk mendapatkan Ridha Allah.

Direktur Pendidikan Tinggi Islam, Kemenag Dede Rosyada selaku  ketua panitia pelaksana melaporkan, dalam kegiatan AICIS ke-XIV itu hadir sejumlah pembicara dari luar negeri, seperti  Maroko, Mesir, Inggris,  Qatar,  Ameriksa, Afrika, Australia, dan Malaysia.  Mereka akan menyampaikan pandangannya  terkait isu-isu multikulturalisme sekaligus mengkaji makalah dari pera peniliti di Tanah Air. Dia menyebutkan, awalnya ada 1.006 makalah atau artikel ilmiah terkait tema multikulturalisme yang masuk ke panitia.  Akan tetapi, hanya 580 artikel yang memenuhi syarat, sementara artikel lain banyak yang tidak menyampaikan rekomendasi dari pimpinannya.

“Tapi 1.006 paper yang masuk itu sudah termasuk luar biasa. Dari 1.006 paper itu, ada 160 yang akan dipresentasikan di sini (forum AICIS),” katanya.

Konferensi  ini akan berlangsung hingga Senin (24/11) untuk membahas seluruh artikel ilmiah yang masuk.  Tim penilai melibatkan sejumlah profesor dan cendikiawan di Tanah Air, di antaranya Azyumardi Azra (mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), dan Amin Abdullah, (mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta). Konferensi  tahunan ini juga dihadiri seluruh  Rektor IAIN dan STAIN seluruh Indonesia.(T/R04/R03)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

Comments: 0