Jakarta, 1 Jumadil Akhir 1437/10 Maret 2016 (MINA) – Ketua Pusat Studi Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia, Muhammad Luthfi Zuhdi, mengatakan, konflik yang terjadi di Timur-Tengah tergantung dari judul yang diberikan oleh pengaturnya.
“Perang di Timur-Tengah itu sebenarnya tergantung dari judul yang diberikan oleh sutradaranya. Siapa di sini sutradaranya? Sutradaranya ialah Amerika Serikat dan negara-negara Eropa,” katanya pada Seminar Internasional bertema “Peran Ulama dalam Rekonsiliasi Krisis Politik di Timur Tengah” diselenggarakan di Universitas Indonesia (UI), Jakarta Pusat, Kamis (10/3).
Hadir pada kesempatan itu Ketua Persatuan Ulama Syam, Prof. Dr. Taufiq Ramadhan Al-Buthi; Anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI, KH. Hasyim Muzadi; Duta Besar LBBP RI untuk Suriah, Drs. Djoko Harjanto dan beberapa pakar ke-Islaman dari UI.
Sebagai contoh, kata Luthfi, ketika terjadi perang Iran-Irak pada tahun 1980-an, banyak pihak mengklaim sebagai perang antara sunni dan syiah.
Baca Juga: Tim SAR dan UAR Berhasil Evakuasi Jenazah Korban Longsor Sukabumi
“Saya berkali-kali mencoba meneliti perang Iran-Irak yang terjadi tahun 1980. Ketika itu, isu Sunni-Syiah menyelimuti perang itu, namun setelah sekian lama saya amati, 60% lebih tentara Irak berpaham Syiah, nah bagaimana mungkin tentara Irak yang Syiah akan memerangi Iran?,” tanyanya.
“Perang Iran-Irak itu perang antara Arab melawan Persia yang dihembuskan oleh orang-orang yang tidak senang dengan persatuan dunia Arab, khususnya tak senang dengan persatuan dunia Islam,” imbuhnya.
Menurutnya, hal yang sama juga berlaku di Suriah. Setelah terjadi perang antara Iran-Irak, kemudian terjadi perang juga di Suriah.
“Konflik di sana juga diselimuti oleh isu-isu pertikaian antara Sunni dan Syiah. Padahal, sebelum pecah perang Suriah, orang-orang yang berpaham Sunni dan orang-orang yang berpaham Syiah hidup berdampingan,” ujarnya.
Baca Juga: BKSAP DPR Gelar Kegiatan Solidaritas Parlemen untuk Palestina
Ketika mengomentari paham mengkafirkan sesama muslim yang dibawa Islamic State (IS), ia meminta umat Islam untuk menjauhi pemahaman seperti itu. Menurutnya, pemahaman itu justru akan melemahkan kekuatan utama umat Islam.
“Salah satu sebab merosotnya umat Islam adalah karena sikap dan sifat mereka sendiri yang mengkafirkan sesama Muslim. Akibatnya, peta kekuatan dunia Islam terus mengalami perubahan. Perubahan itu bukanlah perubahan yang positif, melainkan perubahan kepada kemunduran,” pungkasnya. (L/P011/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Warga Israel Pindah ke Luar Negeri Tiga Kali Lipat