Jakarta, MINA – Pakar kesehatan mata anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Rita Sita Sitorus menekankan pentingnya penanggulangan kebutaan pada bayi dan anak. Karena, bayi yang terlahir buta memiliki waktu hidup dengan kebutaan yang lebih lama dibandingkan mereka yang menderita kebutaan pada usia dewasa.
Hal tersebut dikatakan Rita pada seminar kesehatan ‘Deteksi dan Pencegahan Gangguan Penglihatan pada Bayi Prematur’ di Jakarta, Jum’at (27/10).
“Walaupun angka kejadian kebutaan pada anak tidak setinggi dengan kebutaan pada orang dewasa seperti katarak, namun total beban emosional, sosial, ekonomi yang harus dibayar akibat kebutaan seorang anak terhadap keluarga, masyarakat maupun negara jauh lebih besar dibandingkan beban yang harus dibayar akibat kebutaan pada orang tua,” kata Rita.
Bayi yang terlahir prematur beresiko mengalami gangguan mata Retinopati Prematuritas (ROP), penyakit ini diduga disebabkan oleh pertumbuhan tidak sempurna dari retina pembuluh darah yang dapat menyebabkan jaringan parut dan operasi pada retina.
Baca Juga: Ukhuwah Al-Fatah Rescue Ikuti Latihan Gabungan Penanganan Banjir
Selain itu, tambahnya, bayi yang hidup selamat pun masih memiliki kemungkinan mengalami gangguan kognitif, penglihatan dan pendengaran.
“Hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan orang tua, serta perhatian dan dukungan dari dari para dokter, tenaga kesehatan, pemerintah, serta pihak terkait untuk menginformasikan bagaimana cara pencegahan ataupun bagaimana cara menghadapi serta merawat bayi prematur,” ujar Rita.
Di Indonesia, angka kematian bayi prematur telah berkurang berkat ketersediaan inkubator pada fasilitas neonatal intensive care units (NICU) di rumah sakit. Namun kasus Retinopati Prematuritas (ROP) masih diperkirakan akan meningkat karena banyak bayi prematur tersebut yang bertumbuh menjadi anak-anak.
Data dari RSCM menunjukkan pada 2013, kurang dari 10% bayi lahir prematur di rumah sakit selain RSCM memperoleh pemeriksaan ROP.
Baca Juga: Polisi Tangkap Lima Tersangka Baru Judi Online di Komdigi
“Walaupun standar dan pedoman tata laksana penanganan ROP sudah ada, sayangnya tidak banyak dipatuhi secara sistematis karena kurangnya pelatihan, kapasitas, dan ketidakmampuan untuk mengidentifikasi bayi beresiko dan merujuk untuk mendapatkan perawatan,” pungkas Guru Besar Departemen Ilmu Kesehatan Mata Universitas Indonesia itu.
Seminar kesehatan ini merupakan bagian dari peringatan Hari Penglihatan Sedunia 2017 yang diinisiasi oleh Standard Chartered Bank bersama Helen Keller International (HKI) dan salah satu konsorsiumnya [ORBIS], dengan didukung oleh Kasoem Vision Care. (L/R09/RS3)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Pemprov Jakarta Akan Terapkan WFH Jika Terjadi Banjir di Hari Kerja