Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pakar Sejarah Ungkap Akar Gagalnya Kemerdekaan Palestina

Rana Setiawan Editor : Rudi Hendrik - 34 detik yang lalu

34 detik yang lalu

0 Views

Ilustrasi bendera Palestina.(Sumber: IST)

Jakarta, MINA – Lembaga kemanusiaan Aqsa Working Group (AWG) menggelar webinar bertema “Analisis Sejarah: Mengapa Palestina Gagal Merdeka?” pada Ahad (4/5) malam. Kegiatan tersebut bertujuan mengedukasi publik tentang akar sejarah konflik Palestina-Israel yang berujung pada kegagalan pendirian negara Palestina hingga saat ini.

Webinar itu menghadirkan tiga narasumber utama, yakni Hanafi Wibowo, S.Hum., M.Sos., penulis dan pakar sejarah Timur Tengah; Prof. Dr. Dyah Kumalasari, M.Pd., Guru Besar Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta; dan M. Anshorullah, Ketua Presidium AWG. Acara tersebut diikuti oleh akademisi, aktivis, dan masyarakat dari berbagai daerah secara daring

Dalam presentasinya, Hanafi Wibowo menjelaskan bahwa kegagalan kemerdekaan Palestina pada 1948 tak lepas dari kebijakan mandat Inggris atas wilayah Palestina sejak 1920, yang diberlakukan oleh Liga Bangsa-Bangsa.

“Selama masa mandat Inggris (1920–1948), terjadi gelombang imigrasi besar-besaran orang Yahudi ke Palestina yang difasilitasi oleh kekuatan kolonial. Hal ini menjadi awal mula konflik karena menciptakan ambisi pendirian negara Yahudi di tanah Palestina,” ujar Hanafi.

Baca Juga: AWG Gelar Webinar Analisa Sejarah “Mengapa Palestina Gagal Merdeka”

Ia juga memaparkan bahwa pada 29 November 1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan Resolusi 181 yang merekomendasikan pembagian wilayah Palestina menjadi dua negara, Yahudi dan Arab, dengan proporsi sekitar 55 persen untuk negara Yahudi dan 45 persen untuk Palestina.

“Resolusi ini ditolak oleh masyarakat Palestina dan negara-negara Arab karena dianggap tidak adil dan mengabaikan hak penduduk asli Palestina atas tanah mereka,” jelas Hanafi.

Sementara itu, Prof. Dr. Dyah Kumalasari menekankan bahwa sejarah tidak hanya penting sebagai ilmu pengetahuan, tetapi juga sebagai alat membangun masa depan bangsa.

“Pendidikan sejarah membentuk generasi yang berpikir kritis, berkarakter, dan berwawasan global. Dengan mendalami sejarah, kita belajar membangun kepedulian dan empati terhadap penderitaan orang lain, termasuk rakyat Palestina,” ujarnya.

Baca Juga: Kadispenad: Program Pembinaan Siswa Bermasalah Bukan Pendidikan Militer

Ia juga menyoroti perlunya pendekatan historis yang adil dan reflektif untuk memahami konflik Palestina-Israel dalam konteks kolonialisme modern.

Ketua Presidium AWG, M. Anshorullah, menambahkan bahwa memahami dinamika sejarah ini penting sebagai bagian dari diplomasi masyarakat sipil dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina secara berkelanjutan.

“Pemahaman sejarah yang utuh memungkinkan masyarakat sipil untuk mengambil peran aktif dalam advokasi global. Ini bagian dari diplomasi moral dan solidaritas kemanusiaan yang harus terus dibangun lintas bangsa,” tegasnya.

Ia menekankan bahwa ketidakadilan yang terjadi terhadap rakyat Palestina tidak boleh dibiarkan menjadi normalitas baru. “Kita tidak bisa netral dalam situasi ketidakadilan. Keberpihakan harus lahir dari kesadaran sejarah dan tanggung jawab moral,” ujar Anshorullah.

Baca Juga: Aksi Damai Solidaritas Palestina Kembali Digelar di Depan Kedubes AS

Webinar tersebut merupakan bagian dari program rutin edukasi publik yang dilakukan AWG untuk menguatkan solidaritas dan pemahaman sejarah terkait isu Palestina di kalangan masyarakat Indonesia.[MJ]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Prabowo Berencana Bangun Perkampungan Indonesia di Makkah

Rekomendasi untuk Anda