Oleh : DR. Daud Abdullah
Direktur Midle East Monitor (MEMO) London, Inggris
Pembicaraan nasional Palestina telah mengalami perkembangan dalam sebuah agenda yang disebut rekonsiliasi. Namun, seperti proses perdamaian Timur Tengah, seolah hal itu tidak mengalami tanpa kemajuan. Palestina, hampir tidak dapat disebut sebagai sebuah negara yang berdaulat, karena perseteruan antara dua faksi terbesar di dalamnya, yaitu Fatah dan Hamas.
Keduanya memang memiliki pengaruh yang sangat besar pada perpolitikan nasional Palestina. Awal Februari kemarin, kedua organisasi itu mencoba untuk mengesampingkan segala bentuk perbedaan untuk menyepakati isu-isu substantif. Salah satu kesepakatannya adalah melanjutkan perundingan rekonsiliasi.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-12] Tinggalkan yang Tidak Bermanfaat
Prosedur pemilihan umum coba dibahas dalam rekonsiliasi “Perjanjian Kairo”. Presiden Mahmoud Abbas waktu itu memberikan opsi dengan menyerukan perubahan baru. Abbas ingin memperjelas kepastian tanggal pelaksanaan pemilihan umum sebelum pembentukan pemerintah persatuan nasional melalui sebuah Keputusan Presiden, tanpa persetujuan dari parlemen dan Dewan Legislatif. Hamas rupanya belum sependapat mengenai usulan tersebut.
Ada yang lebih substantive dari itu, Abbas rupanya mengatakan bahwa Palestina kini hanya terdiri dari Tepi Barat dan Gaza saja. Adapun daerah selainnya adalah wilayah Israel. Pergerakan Hamas dan Jihad Islam menolak hal ini. Mereka berpendapat bahwa itu artinya sama saja dengan menyerahkan tanah Palestina kepada penjajah Israel.
Maka tidak mengherankan jika pertemuan awal Februari di Kairo dianggap belum dapat menghasilkan sesuau yang signifikan.
Memang, Abbas meninggalkan Kairo sebelum pengambilan keputusan tentang PLO, pembentukan pemerintah persatuan nasional Palestina dan pemilu.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-11] Ragu-ragu Mundur!
Bekukan Rekonsiliasi
Direktur Pusat Studi Palestina di Kairo, Ibrahim Al-Dirawi mengungkapkan, bahwa ada disinyalir ada pertemuan rahasia yang diadakan di Ramallah antara duta besar Amerika Serikat untuk Israel, Daniel Shapiro, dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan pemimpin PLO lainnya.
Shapiro meminta Abbas untuk membekukan pembicaraan rekonsiliasi sampai setelah kunjungan Presiden Obama ke wilayah tersebut. Abbas rupanya patuh sebagaimana biasanya , memenuhi permintaan tersebut.
Hal ini tampak ketika di Kairo, Abbas mengatakan kepada utusannya bahwa ia tidak dapat membentuk pemerintah dengan dukungan Hamas ketika presiden AS mengunjungi wilayah Tepi Barat.
Baca Juga: Muasal Slogan ”Al-Aqsa Haqquna”
Ini artinya, kedua faksi telah menunjukkan kepada masyarakat Palestina bahwa persatuan mereka dalam rekonsiliasi itu belum utuh. Masing-masing pihak ingin mempertahankan pengaruhnya di daerah masing-masing; Hamas di Jalur Gaza dan Fatah di Tepi Barat. Rakyat Palestina pun kini meyakini bahwa yang terbaik yang bisa dilakukan adalah toleransi antara dua faksi.
Padahal, saat ini Palestina butuh untuk bersatu. Tanggung jawab nasional Palestina menuntut rekonsiliasi antara Fatah dan Hamas.
Pada perjanjian sebelumnya antara Israel – Palestina, dengan mediasi Amerika Serikat, masing-masing pihak menarik diri ke wilayah masing-masing. Menteri Keuangan Israel, Yuval Steinitz, mengancam Tepi barat bahwa Israel akan memotong pendapatan pajak sampai dengan 100 juta dolar AS (sekitar 970 juta rupiah) per bulan, jika Tepi Barat membuat kesepakatan rekonsiliasi dengan Hamas.
Kepentingan Pemilu
Baca Juga: Enam Prinsip Pendidikan Islam
Di mata para pengamat, tujuan utama Presiden Abbas adalah mengadakan pemilu sebelum yang lain dilakukan. Rekonsiliasi hanyalah sebagai sarana untuk membujuk Hamas agar ikut mengadakan pemilu parlemen.
Sebagai asumsi, bahwa pemilu nanti akan berlangsung adil, baik Tepi Barat maupun Israel dan para pendukungnya (Barat) yakin Hamas tidak akan menang. Jika Hamas menang, hal itu tidak akan diterima oleh dunia luar, seperti juga pemilu sebelumnya.
Presiden Abbas sangat perlu berkepentingan ingin menguasai Gaza melalui sarana pemilu. Sementara di Tepi Barat sendiri, Hamas mendapat tekanan keras dari Fatah maupun Israel.
Dengan pemilu itu, Fatah dan Israel akan mempunyai lebih banyak kewenangan untuk menangkap dan memenjarakan siapa saja yang menentang mereka, seperti ketika ratusan demonstran yang hingga saat ini dipenjara.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-10] Makanan dari Rezeki yang Halal
Saat ini, Hamas tampaknya berada dalam posisi yang kuat. Mereka memiliki legitimasi dengan menjadi gerakan perlawanan yang telah membayarnya dengan darah para pemimpin dan anggotanya.
Selain itu, mereka juga memiliki legitimasi dari kemenangan pemilu 2006. Meskipun akhirnya berubah. Namun para pimpinan Hamas di Tepi Barat serta kader-kadernya, baik yang sekarang berada di dalam penjara-penjara Israel maupun di wilayah Fatah, memiliki kesempatan besar untuk merebut hati rakyat Palestina pada pemilu mendatang.
Salah satu wakil Pemimpin Hamas, Musa Abu Marzouk mengatakan bahwa dengan tidak adanya kebebasan dalam berkampanye bagi gerakannya, sementara tekanan dan penahanan terus-menerus dilakukan terhadap pengikut hamas.
Maka pemilu itu hanyalah menjadi sebuah lelucon. Abbas tahu keadaan ini, maka tetap melanjutkannya.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan
Hamas rupanya siap mengambil resiko itu dengan tetap menyetujui pemilu nanti. Namun permasalahannya adalah banyak rakyat Palestina yang hidup berdiaspora di pengungsian, yang juga harus mengikuti Pemilu.
Tekanan Politik
Tekanan politik, ekonomi dan keamanan telah membuat rekonsiliasi antara Fatah dan Hamas rasanya sulit terlaksana dengan sempurna. Selama Abbas terus mengikuti perintah Amerika dan Israel, rekonsiliasi hanya akan menjadi ilusi.
Tentu ini keadaan yang cukup menyedihkan bagi rakyat Palestina, karena tidak dapat tergambarkan dalam perwakilan politik yang jelas.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
Mereka seolah bersatu dalam ketidakadilan, tanpa pernah tahu kapan hal itu akan berakhir. Padahal masyarakat sangat mendambakan rekonsiliasi sesungguhnya.
Semoga Fatah, Hamas, dan seluruh elemen perjuangan Palestina dapat keluar dari tekanan ini, dan kembali menyusun rangkaian persatuan dan kesatuan untuk meraih kemerdekaan dan kedaulatan Palestina sebenarnya. Wallahu a’lam. (T/P04/R1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa