Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Palestina dalam Kitab-Kitab Suci: Perspektif Islam, Yahudi, dan Kristen

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 31 detik yang lalu

31 detik yang lalu

0 Views

Ilustrasi

PALESTINA merupakan tanah yang disucikan oleh tiga agama besar dunia—Islam, Yahudi, dan Kristen—yang masing-masing memiliki keterkaitan historis, spiritual, dan teologis dengan wilayah ini. Dalam kitab suci ketiganya, Palestina disebut sebagai tanah yang diberkahi, tempat para nabi diutus, dan lokasi peristiwa-peristiwa penting dalam perjalanan keimanan umat beragama. Karena itulah, wilayah ini tidak hanya menjadi pusat ziarah dan ibadah, tetapi juga simbol klaim identitas dan legitimasi keagamaan yang kerap berujung pada ketegangan. Artikel ini akan menguraikan bagaimana ketiga agama tersebut memandang Palestina menurut kitab sucinya masing-masing serta relevansi pandangan tersebut dalam konteks masa kini.

Perspektif Islam

Palestina adalah sebuah tanah yang memiliki kedudukan istimewa dalam sejarah tiga agama besar dunia: Islam, Yahudi, dan Kristen. Ketiga agama samawi ini memandang tanah Palestina sebagai wilayah suci yang penuh dengan nilai historis, spiritual, dan teologis. Artikel ini akan mengulas bagaimana masing-masing agama memandang Palestina dalam kitab sucinya, sekaligus membandingkan perspektif yang membentuk narasi konflik maupun perdamaian hingga saat ini.

Dalam Islam, Palestina disebut secara implisit dalam banyak ayat Al-Qur’an sebagai bagian dari “Tanah Suci” (Al-Ard Al-Muqaddasah) yang diberkahi. Salah satu rujukan utama adalah Surah Al-Isra ayat 1, yang menyebutkan perjalanan malam (Isra’) Nabi Muhammad ﷺ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, yang berada di Yerusalem. Ayat ini memperkuat kedudukan Palestina, khususnya Yerusalem, sebagai tempat suci ketiga dalam Islam setelah Mekkah dan Madinah.

Baca Juga: Jangan Jadi Generasi Rebahan

Masjidil Aqsha yang terletak di kota Al-Quds (Yerusalem) merupakan simbol sentral dalam spiritualitas umat Islam. Sebelum kiblat dipindahkan ke Ka’bah di Mekkah, kaum Muslimin menghadap ke arah Masjidil Aqsha dalam salat mereka. Ini menunjukkan ikatan spiritual yang kuat antara Islam dan tanah Palestina sejak awal dakwah Nabi Muhammad ﷺ.

Selain itu, Al-Qur’an menyebutkan bahwa tanah ini telah diberkahi bagi seluruh alam, sebagaimana dalam Surah Al-Anbiya ayat 71: “…dan Kami selamatkan dia (Ibrahim) dan Luth ke negeri yang telah Kami berkahi untuk sekalian manusia.” Para mufassir menafsirkan “negeri yang diberkahi” itu sebagai wilayah Syam, yang mencakup Palestina.

Hadis-hadis Nabi juga menegaskan keistimewaan Palestina. Dalam Shahih Muslim, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut bahwa Masjidil Aqsha adalah salah satu dari tiga masjid yang dianjurkan untuk diziarahi. Selain itu, banyak hadis yang menyatakan bahwa para nabi pernah diutus dan dimakamkan di tanah ini, menjadikannya tanah yang sarat keberkahan dan kemuliaan.

Perspektif  Yahudi dan Kristen

Baca Juga: Generasi yang Terasing dari Nilai-Nilai Luhur Bangsa: Tantangan dan Solusi

Dalam tradisi Yahudi, tanah Palestina, yang sering disebut sebagai “Tanah Kanaan” atau “Tanah Perjanjian,” memiliki kedudukan sentral dalam Kitab Taurat (Tanakh). Tuhan menjanjikan tanah ini kepada Nabi Ibrahim (Abraham) dan keturunannya sebagai bagian dari perjanjian suci. Dalam Kejadian 17:8 tertulis: “Aku akan memberikan kepadamu dan kepada keturunanmu setelah engkau, negeri tempat engkau tinggal sebagai orang asing — seluruh tanah Kanaan — sebagai milik abadi.”

Namun, penting untuk dicatat bahwa dalam tradisi Yahudi kuno, klaim terhadap tanah ini bukan semata-mata bersifat politis, melainkan sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan. Ketaatan terhadap hukum Taurat menjadi prasyarat utama bagi keberadaan mereka di tanah tersebut. Ketika bangsa Israel melanggar perintah Tuhan, mereka dikisahkan diusir dari tanah itu, menunjukkan bahwa ikatan terhadap tanah bersifat teologis, bukan sekadar etnis.

Yerusalem dalam kitab-kitab Yahudi memiliki makna sangat khusus sebagai kota Daud dan tempat Bait Allah (Temple). Dua kali Bait Allah dibangun di sini, dan dua kali pula dihancurkan. Kehancuran itu menjadi simbol jatuhnya spiritualitas bangsa Yahudi, dan harapan akan rekonstruksi Bait Allah menjadi bagian dari eskatologi Yahudi.

Dalam tradisi Kristen, Palestina adalah tempat di mana Yesus (Isa Al-Masih) lahir, hidup, berdakwah, disalibkan, dan diyakini bangkit kembali. Tanah Palestina, khususnya kota Bethlehem, Nazaret, dan Yerusalem, menjadi lokasi-lokasi penting dalam kehidupan Yesus, sebagaimana termaktub dalam Injil.

Baca Juga: Niat Lillah, Sumber Keberkahan dalam Setiap Transaksi

Kitab Injil tidak menekankan klaim etnis atas tanah Palestina seperti dalam tradisi Yahudi, tetapi lebih menekankan pesan keselamatan dan universalisme ajaran Yesus. Meskipun demikian, banyak umat Kristen memandang tanah suci ini sebagai warisan spiritual yang sangat penting. Yerusalem menjadi kota suci dalam iman Kristen karena menjadi lokasi peristiwa salib dan kebangkitan Yesus.

Perbandingan, Kontroversi, dan Relevansi Kekinian

Dari ketiga perspektif tersebut, tampak bahwa tanah Palestina memiliki makna yang kompleks — bukan hanya wilayah geografis, tetapi juga pusat teologis dan spiritualitas. Dalam Islam, ia diberkahi dan memiliki sejarah kenabian. Dalam Yahudi, ia merupakan janji Tuhan kepada keturunan Ibrahim yang disyaratkan ketaatan. Dalam Kristen, ia adalah tempat manifestasi ajaran kasih dan keselamatan.

Persinggungan ketiga agama ini di Palestina menjadikan wilayah tersebut tidak hanya suci, tetapi juga rawan konflik. Klaim historis dan teologis yang tumpang tindih sering kali dimanfaatkan dalam narasi politik, yang menambah kerumitan dalam upaya penyelesaian palestina-israel/">konflik Palestina-Israel. Padahal, teks suci masing-masing agama juga mengajarkan keadilan dan kedamaian.

Baca Juga: Berniaga dengan Niat Lillah, Fondasi Bisnis Berkah

Dalam konteks kekinian, umat Islam memandang Palestina, khususnya Al-Quds, sebagai simbol solidaritas dan perjuangan umat. Pembelaan terhadap Masjidil Aqsha bukan hanya isu politik, tetapi juga bentuk ibadah dan kepedulian terhadap warisan Islam. Sementara itu, kelompok Yahudi ekstremis menggunakan narasi Tanakh untuk membenarkan pemukiman ilegal, meskipun tidak semua Yahudi setuju dengan pendekatan ini.

Umat Kristen, khususnya dari kalangan Arab Kristen di Palestina, seringkali menjadi korban dalam konflik ini. Mereka merasakan ketertindasan baik sebagai minoritas agama maupun sebagai warga Palestina. Mereka menyuarakan pentingnya keadilan dan perdamaian berdasarkan nilai-nilai Injil dan hak asasi manusia.

Oleh karena itu, penting untuk memisahkan antara keyakinan keagamaan yang bersifat spiritual dan narasi politis yang memanipulasi teks-teks suci. Pendekatan akademik dan lintas iman dapat membantu meredakan ketegangan serta membangun pengertian bersama tentang pentingnya menjaga dan merawat Palestina sebagai tanah suci bagi semua.

Dalam upaya perdamaian, pendekatan teologis harus disandingkan dengan pendekatan kemanusiaan dan keadilan. Mengakui keberagaman makna Palestina dalam ketiga kitab suci bukanlah jalan menuju perpecahan, tetapi justru peluang untuk menjadikan tanah ini sebagai simbol rekonsiliasi umat manusia yang menghargai warisan kenabian yang sama.[]

Baca Juga: Hari Pendidikan Nasional dan Konsep Pendidikan dalam Islam

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda