Pada 3 September 2020, Muna Al-Shaer merasa membutuhkan perawatan medis. Suhu badannya tinggi selama beberapa hari sebelumnya. Dia khawatir dengan laporan berita tentang penyebaran COVID-19.
Al-Shaer (36) menelepon Rumah Sakit Abu Yousef Al-Najjar di Rafah, kota paling selatan Gaza, sekitar jam 9 malam.
“Saya diberi tahu bahwa tidak ada cukup tempat tidur di rumah sakit karena ada situasi darurat,” katanya.
Staf di sana mengatur agar dia dibawa dengan ambulans ke Rumah Sakit Gaza Eropa di daerah Khan Younis.
Baca Juga: [POPULER MINA] Perintah Penangkapan Netanyahu dan Layanan di Semua RS Gaza Berhenti
Saat itu sekitar tengah malam saat dia dirawat di Rumah Sakit Gaza Eropa.
Al-Shaer dinyatakan negatif virus corona dan kemudian pulih dari penyakitnya. Namun, pengalamannya menegaskan bagaimana Rafah – sebuah kota dengan sekitar 240.000 penduduk – tidak memiliki fasilitas perawatan kesehatan yang memadai.
Rumah Sakit Abu Yousef Al-Najjar hanya memiliki 65 tempat tidur dengan hanya sembilan di unit gawat darurat. Rumah sakit itu sering kewalahan, staf rumah sakit tidak memiliki pilihan selain memberi tahu orang yang membutuhkan bantuan medis bahwa mereka harus menemukannya di tempat lain.
Keluarga Abu Shaer telah terdampak oleh kendala ini.
Baca Juga: Oposisi Israel Kritik Pemerintahan Netanyahu, Sebut Perpanjang Perang di Gaza Tanpa Alasan
Pada protes Great March of Return pada Mei 2018, kakak Al-shaer termasuk di antara banyak orang yang terluka oleh pasukan Israel di dekat pagar perbatasan. Rumah Sakit Abu Yousef Al-Najjar tidak dapat merawatnya luka tembak di kakinya.
Dia juga dirujuk ke Rumah Sakit Gaza Eropa.
Pernah jadi target Israel
Munculnya COVID-19 di Gaza telah memperparah masalah yang disebabkan oleh penindasan Israel terhadap Palestina.
Baca Juga: Hamas Ungkap Borok Israel, Gemar Serang Rumah Sakit di Gaza
Rumah Sakit Abu Yousef Al-Najjar pernah menjadi sasaran langsung oleh Israel selama serangan terhadap Gaza tahun 2014. Pasukan Israel menembakkan rudal ke rumah sakit pada tanggal 1 Agustus tahun itu, yang harinya kemudian dikenal sebagai Black Friday.
Pada saat serangan itu, rumah sakit sangat kewalahan sehingga harus menempatkan mayat orang yang dibunuh oleh Israel di lemari es yang dipinjam dari pedagang lokal. Biasanya, freezer itu digunakan untuk menyimpan sayuran dan es krim.
Seharusnya, periode mengerikan itu telah berakhir.
Pada 2015, Otoritas Palestina menyatakan telah mengalokasikan $ 24 juta agar fasilitas medis baru dapat dibangun di Rafah. Jumlah ini seharusnya berasal dari bantuan yang dijanjikan oleh berbagai pemerintah setelah Israel menyebabkan kehancuran selama serangan 2014 di Gaza.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan
Awal tahun ini, pemerintah Qatar mengumumkan bahwa mereka akan segera melaksanakan proyek senilai $ 24 juta yang bertujuan untuk menyediakan rumah sakit bagi Rafah. Sebuah tanah seluas sekitar 5 hektar telah ditetapkan dan batu pertama telah diletakkan.
Namun, pekerjaan konstruksi telah tertunda di tengah pandemi COVID-19.
“Kami akan mengerjakan proyek ini segera setelah krisis selesai,” kata Ashraf Al-Qedra, Juru Bicara Kementerian Kesehatan di Gaza.
Baca Juga: Semua Rumah Sakit di Gaza Terpaksa Hentikan Layanan dalam 48 Jam
“Terkejut”
Pada 4 September 2020, Ahmad Harz mengenakan masker dan sarung tangan. Ia berjalan kaki dari rumahnya di Tel Al-Sultan, kamp pengungsi di daerah Rafah, menuju Rumah Sakit Abu Yousef Al-Najjar.
Dia mengetahui bahwa seorang sepupunya dinyatakan positif COVID-19. Beberapa hari sebelumnya, dia bertemu dan berjabat tangan dengan sepupunya. Harz khawatir dia juga mungkin tertular penyakit.
“Orang-orang di Rafah terbiasa dengan kepadatan di Rumah Sakit Abu Yousef Al-Najjar,” katanya. “Tapi saya masih terkejut saat pergi ke sana. Lebih dari 40 orang telah datang untuk test.”
Baca Juga: Hamas Kecam Penyerbuan Ben-Gvir ke Masjid Ibrahimi
Harz menjalani tes COVID-19 di rumah sakit. Anggota staf medis kemudian mengunjungi rumahnya di kamp Tel Al-Sultan agar anggota keluarganya yang lain dapat diuji. Mereka merasa lega saat hasilnya negatif.
Sementara pada akhir Agustus lalu, Aya Aqil menghubungi dokter spesialis anak karena bayi perempuannya Janna mengalami diare dan demam tinggi. Dokter menganjurkan agar urine dan feses Jannah diperiksa.
Aqil menghubungi Rumah Sakit Abu Yousef Al-Najjar. Staf mengatakan kepadanya bahwa rumah sakit hanya dapat menangani kasus-kasus yang mendesak dan merekomendasikan agar Janna dibawa ke klinik.
Namun, Aqil tidak dapat menemukan klinik tempat tes dapat dilakukan. Ada satu di dekat rumah, tetapi ditutup karena pembatasan yang diberlakukan setelah wabah COVID-19. Aqil kembali menghubungi rumah sakit lagi keesokan harinya. Setelah beberapa jam, rumah sakit mengirim ambulans dan membawa Jenna untuk menjalani tes.
Baca Juga: Hezbollah dan Houthi Kompak Serang Wilayah Pendudukan Israel
Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa Janna mengalami infeksi perut.
Meskipun Janna kemudian sembuh, pengalaman itu terbukti sangat menegangkan bagi keluarganya. Aqil terkejut dengan banyaknya orang yang menunggu untuk dites COVID-19.
“Rafah memiliki sejumlah sekolah, masjid, toko, dan kamp pengungsi yang penuh sesak,” kata Aqil. “Yang kami butuhkan hanyalah rumah sakit yang layak. Mengapa tidak ada yang bisa memecahkan masalah ini?”
Sumber: The Electronic Intifada
Baca Juga: Banyak Tentara Israel Kena Mental Akibat Agresi Berkepanjangan di Gaza
(T-RI-1/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Dipimpin Ekstremis Ben-Gvir, Ribuan Pemukim Yahudi Serbu Masjid Ibrahimi