Oleh: Ika Restya
Melaksanakan ibadah i’tikaf adalah salah satu amal yang amat dianjurkan untuk dikerjakan, terlebih khususnya di bulan Ramadhan. Rasulullah SAW terbiasa menjalankannya, khususnya di 10 hari terakhir Ramadhan. Berikut panduan i’tikaf.
A. PENGERTIAN
1. Bahasa
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-25] Tentang Bersedekah Tidak Mesti dengan Harta
Secara bahasa, i’tikaf berasal dari bahasa arab ‘akafa (عكف), yang bermakna al-habsu (الحبس) atau memenjarakan.
Allah SWT menggunakan istilah ‘akafa dalam bentuk ma’kufa (معكوفا) dalam salah satu ayat Quran dengan makna menghalangi.
هُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْهَدْيَ مَعْكُوفًا أَنْ يَبْلُغَ مَحِلَّهُ
Merekalah orang-orang yang kafir yang menghalangi kamu dari (masuk) Masjidilharam dan menghalangi hewan kurban sampai ke tempat (penyembelihan) nya. (QS. Al-Fath : 25)
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah: Makna dan Keutamaannya bagi Kehidupan Sehari-Hari
Maka i’tikaf secara bahasa bisa diartikan
حَبْسُ النَّفْسِ عَنِ التَّصَرُّفَاتِ الْعَادِيَّةِ
Memenjarakan diri sendiri dari melakukan sesuatu yang biasa
2. Istilah
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia
Sedangkan secara istilah dalam ilmu fiqih, definisi i’tikaf adalah :
اللُّبْثُ فِي الْمَسْجِدِ عَلَى صِفَةٍ مَخْصُوصَةٍ بِنِيَّةٍ
Berdiam di dalam masjid dengan tata cara tertentu dan disertai niat.
B. HUKUM I’TIKAF
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
Seluruh ulama sepakat bahwa secara hukum asal, ibadah i’tikaf itu hukumnya sunnah. Dan bisa berubah menjadi wajib, manakala seseorang bernadzar untuk melakukannya.
1. Sunnah
Meski sepakat bahwa hukum i’tikaf itu sunnah, namun para ulama berbeda pendapat tentang martabat dan level kesunnahannya.
Madzhab Al-Hanafiyah menyebutkan bahwa hukumnya sunnah muakkadah, yaitu pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Sedangkan di luar sepuluh hari itu, hukumnya mustahab.
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Yang masyhur dari madzhab Al-Malikiyah, bahwa i’tikaf itu hukumnya mandub muakkad, bukan sunnah. Ibnu Abdil-Barr berkata bahwa i’tikaf hukumnya sunnah pada bulan Ramadhan, dan mandub di luar Ramadhan.
Sedangkan madzhab Asy-Syafi’iyah memandang semua i’tikaf itu hukumnya sunnah muakkadah, kapan saja dilakukan. Namun bila dilakukan pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, level kesunnah-muakkadahannya lebih tinggi lagi. Kalau boleh kita gunakan istilah, sunnah muakkadah kuadrat.
Sedangkan dalam pandangan madzhab Al-Hanabilah, i’tikaf hukumnya sunnah, dan lebih tinggi nilai kesunnahannya kalau dilakukan pada bulan Ramadhan. Dan bila dilakukan pada sepuluh hari yang terakhir, nilai kesunnahannya lebih tinggi lagi.
Ada sebuah pertanyaan menarik, yaitu kenapa para ulama tidak mewajibkan i’tikaf ini, padahal tercatat Rasulullah SAW tidak pernah absen saban tahun melaksanakannya, khususnya pada sepuluh hari terakhir tiap bulan Ramadhan?
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Para ulama berhujjah bahwa Rasulullah SAW memang tidak mewajibkan seluruh shahabatnya untuk melakukannya. Pada saat beliau SAW beri’tikaf, memang ada sebagian shahabat yang ikut beri’tikaf bersama beliau. Namun tidak semua shahabat ikut dalam i’tikaf beliau.
Sehingga hanya mereka yang mau dan berkesempatan saja yang tercatat mengikutinya. Dan beliau hanya mengajak sebagian saja, sebagaimana tercermin dalam hadits berikut ini :
مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَعْتَكِفِ الْعَشْرَ الأَْوَاخِرَ
“Siapa yang ingin beri’tikaf denganku, maka lakukanlah pada sepuluh terakhir.” (HR. Bukhari)
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
Seandainya hukum i’tikaf ini wajib, pasti beliau tidak mengatakann, siapa yang mau, tetapi beliau akan mengatakan, wajiblah atas kalian datang beri’tikaf.
2. Wajib
Namun hukum i’tikaf akan berubah menjadi wajib, apabila seseorang bernadzar untuk melakukan i’tikaf, misalnya apabila permohonannya dikabulkan Allah SWT.
Dalilnya adalah hadits Nabi SAW berikut ini :
Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ
“Siapa yang bernadzar untuk mentaati Allah, maka taatilah Dia.” (HR. Bukhari)
Selain itu juga hadits lainnya yang lebih jelas dan tegas terkait dengan seseorang yang bernadzar untuk mengerjakan i’tikaf di masa Rasulullah SAW.
عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ قَال : يَا رَسُول اللَّهِ : إِنِّي نَذَرْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ .فَقَال النَّبِيُّ : أَوْفِ بِنَذْرِكَ
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah
Dari Umar radhiyallahuanhu berkata, ”Ya Rasulallah, Aku pernah bernadzar untuk melakukan i’tikaf satu malam di masjid Al-Haram”. Beliau SAW menjawab, ”Laksanakan nadzarmu”. (HR. Bukhari)
3. Sunnah Kifayah
Biasanya kita mengenal istilah fardhu kifayah, misalnya kewajiban menshalatkan jenazah. Madzhab Al-Hanafiyah menyebutkan bahwa hukum beritikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, bagi penduduk satu kawasan, hukumnya secara kolektif sunnah kifayah.
Konsekuensinya mirip dengan fardhu kifayah, yaitu apabila sudah ada seseorang yang mengerjakannya di suatu kawasan, maka gugurlah keharusan beri’tikaf. Sebaliknya, bila tidak satu pun yang mengerjakannya, maka mereka semua berdosa. Hanya saja dosanya tidak seperti dosa meninggalkan fardhu kifayah. Dosanya hanya dosa kecil atau ringan.
Baca Juga: Baca Doa Ini Saat Terjadi Hujan Lebat dan Petir
C. RUKUN I’TIKAF
Rukun i’tikaf ada empat yaitu:
- Mu’takif (orang yang beri’tikaf) (المُعْتَكِفُ)
- Niat النِّيَّة)ُ)
- Menetap (اللُّبْثُ). Tidak ada batasan minimal yang disebutkan oleh Al-Quran maupun Hadits tentang lamanya menetap di masjid. Namun untuk i’tikaf sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan waktu i’tikaf yang ideal dimulai pada saat maghrib malam ke-21 sampai maghrib malam takbiran.
- Tempat i’tikaf (المُعْتَكَفُ فِيهِ)
D. SYARAT I’TIKAF
1. Syarat yang terkait dengan mu’takif : beragama Islam, berakal sehat, mampu membedakan perbuatan baik dan buruk (mumayyiz), suci dari hadats besar (tidak junub, haid, atau nifas).
2. Syarat yang terkait dengan tempat i’tikaf : masjid yang dilakukan shalat Jumat dan shalat berjamaah lima waktu di dalamnya agar mu’takif tidak keluar dari tempat i’tikafnya untuk keperluan tersebut.
E. YANG MEMBATALKAN I’TIKAF
1. Kehilangan salah satu syarat i’tikaf yang terkait dengan mu’takif.
2. Berhubungan suami istri sebagaimana firman Allah swt:
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
Janganlah kamu campuri mereka (istri-istrimu) itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. (Al-Baqarah (2): 187)
3. Keluar dengan seluruh badan dari tempat i’tikaf, kecuali untuk memenuhi hajat (makan, minum, dan buang air jika tidak dapat dilakukan di lingkungan masjid). Mengeluarkan sebagian anggota badan dari tempat i’tikaf tidak membatalkan i’tikaf sesuai dengan ungkapan ‘Aisyah ra:
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُخْرِجُ رَأْسَهُ مِنَ الْمَسْجِدِ وَهُوَ مُعْتَكِفٌ فَأَغْسِلُهُ وَأَنَا حَائِضٌ
Nabi Muhammad saw mengeluarkan kepalanya dari masjid (ke ruangan rumahnya) saat beliau i’tikaf lalu aku mencucinya sedang aku dalam keadaan haid. (HR. Bukhari).
F. TUJUAN DAN MANFAAT I’TIKAF
Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa tujuan disyariatkannya i’tikaf adalah agar hati terfokus kepada Allah saja, terputus dari berbagai kesibukan kepada selain-Nya, sehingga yang mendominasi hati hanyalah cinta kepada Allah, berdzikir kepada-Nya, semangat menggapai kemuliaan ukhrawi dan ketenangan hati sepenuhnya hanya bersama Allah swt. Tentunya tujuan ini akan lebih mudah dicapai ketika seorang hamba melakukannya dalam keadaan berpuasa, oleh karena itu i’tikaf sangat dianjurkan pada bulan Ramadhan khususnya di sepuluh hari terakhir.
Adapun manfaat i’tikaf di antaranya adalah:
- Terbiasa melakukan shalat lima waktu berjamaah tepat waktu.
- Terlatih meninggalkan kesibukan dunia demi memenuhi panggilan Allah.
- Terlatih untuk meninggalkan kesenangan jasmani sehingga hati bertambah khusyu’ dalam beribadah kepada Allah swt.
- Terbiasa meluangkan waktu untuk berdoa, membaca Al-Quran, berdzikir, qiyamullail, dan ibadah lainnya dengan kualitas dan kuantitas yang baik.
- Terlatih meninggalkan hal-hal yang tidak berguna bagi penghambaannya kepada Allah swt.
- Memperbesar kemungkinan meraih lailatul qadar.
- Waktu i’tikaf adalah waktu yang tepat untuk melakukan muhasabah dan bertaubat kepada Allah swt.
G. ADAB ATAU HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN OLEH MU’TAKIF
1. Selalu menghadirkan keagungan Allah di dalam hati sehingga niatnya terus terjaga.
2. Menyibukkan diri dengan amal yang dapat mencapai tujuan i’tikaf.
3. Bersahaja dan tidak berlebihan dalam melakukan perbuatan mubah seperti makan, minum, berbicara, tidur dan hal-hal lain yang biasa dilakukan di luar masjid.
4. Menjauhi amal perbuatan yang dapat merusak tujuan i’tikaf seperti pembicaraan tentang materi (jual beli, kekayaan dan lain-lain).
5. Memelihara kebersihan diri dan tempat i’tikaf serta menjaga ketertiban dan keteraturan dalam segala hal.
6. Tidak melalaikan kewajiban yang tidak dapat ditunda pelaksanaannya, seperti nafkah untuk keluarga, menolong orang yang terancam keselamatannya, dan lain-lain. Wallahu’alam. (T/P014/R2).
Mi’raj News Agency (MINA)