Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

PANGGILAN JIWA SEORANG GURU

Ali Farkhan Tsani - Sabtu, 7 Maret 2015 - 22:08 WIB

Sabtu, 7 Maret 2015 - 22:08 WIB

1488 Views

Ali Farkhan Tsani
Ali Farkhan Tsani

Ali Farkhan Tsani

Oleh : Ali Farkhan Tsani, Redaktur Mi’raj Islamic News Agency (MINA) 

Ranah pendidikan senantiasa menjadi isu menarik dan penting untuk terus dibicarakan sepanjang pendidikan itu masih berlangsung. Lahirnya kader guru, da’i, pejabat, ekonom, fisikawan, antariksawan, bankir, eksportir, pakar IT, sampai pejabat tinggi tidak lepas dari kawah pendidikan yang pernah diperolehnya.

Namun anehnya, fakta membuktikan, jumlah pelanggar kejahatan mulai dari kelas teri sampai kerah putih tidak juga kunjung menurun. Bahkan cenderung meningkat, seiring dengan tingkat kependidikan yang diperolehnya.

Fakta lemahnya akhlak anak-anak usia sekolah, kecintaan mereka yang kurang terhadap nuansa ibadah, hingga lepasnya komunikasi islami dengan kedua orang tuanya, merupakan indikasi lemahnya ruh atau jiwa pendidikan itu sendiri. Ini berarti ada sesuatu yang harus dibenahi dalam dunia pendidikan. Yakni masih belum tertanamnya pemantapan kejiwaan dalam diri anak didik.

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Mendidik dengan Jiwa

Islam menghendaki program pendidikan yang menyeluruh, baik menyangkut aspek duniawi maupun ukhrawi, rohani, intelektual dan jasmani. Aplikasinya, memang memerlukan tiga unsur utama, yaitu guru yang ikhlas serta memiliki kompetensi keilmuwan dan keguruan, program pendidikan yang tepat sasaran, dan tentu saja lingkungan yang kondusif bagi para peserta didik dalam mengaplikasikan apa-apa yang dipelajarinya.

Guru yang ikhlas bukan berarti tidak perlu gaji memadai, tetapi yang lebih penting adalah tingkat kesadaran untuk apa ia mengajar. Dalam tataran akidah seorang muslim, mengajar berarti manifestasi ibadah atas amanah Allah Ta’ala atas ilmu yang dimilikinya. Karena itu, seorang guru betul-betul berkeinginan agar murid-muridnya tumbuh menjadi manusia-manusia yang tunduk dan taat kepada Allah yang telah menciptakan.

Menjadi guru merupakan panggilan jiwa, yang dengannya ia tergerak dan bergerak untuk mengajar tanpa mengharap seberapa besar ia mendapat imbalan. Walaupun ia mendapatkan gaji atau honor (bisyarah) dari mengajarnya, namun itu bukanlah tujuan.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Karena mendidik adalah panggilan jiwa, maka ia menjadikan profesinya itu sebagai media dakwah menanamkan nilai-nilai di dalam jiwa anak didiknya. Ia pun akan mengajar dengan jiwanya, bukan hanya fisik dan otaknya saja. Ia senang melihat anak didiknya berkembang keilmuannya, dan ia semakin bahagia melihat perkembangan akhlak murid-muridnya. Walaupun mungkin ia bukan guru akidah akhlak misalnya.

Ia ingin memberikan pengajaran dan ingin mensucikan jiwa-jiwa muda generasi mendatang. Sesuai dengan firman-Nya, “Sesungguhnya Allah telah berbuat kebaikan atas orang-orang yang beriman ketika Ia mengutus bagi mereka seorang Rasul yang membacakan bagi mereka Al-Kitab, mensucikan mereka, mengajarkan Al-Kitab dan hikmah”. (QS Ali Imran [3] : 164).

Karena itu, format utama pendidikan dalam Islam adalah pengajaran pensucian jiwa (tazkiyatun nafs). Baru kemudian pengajaran Al-Kitab dan hikmah. Dengan format tazkiyatun nafs, pendidik mengembangkan seluruh potensi kemanusiaan yang utama. seperti tumbuhnya sifat-sifat dekat pada Allah, menjalani hidup dengan aturan-Nya, kuat mental menghadapi kehidupan, berjiwa sosial serta mampu memahami fenomena alam.

Patut direnungkan apa yang dikemukakan pakar pendidikan Dr. Ali Abdul Halim, yang menyebutkan seorang pendidik handal seyogyanya menyadari dalam mendidik para peserta didik, ia berurusan dengan fitrah manusia secara keseluruhan.

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Ia tidak hanya mendidik aspek intelektual, tapi juga aspek fisik, emosional, hingga spiritual. Karena pendidikan pada dasarnya adalah proses menyiapkan manusia shalih yang seimbang dalam potensi, tujuan, ucapan dan tindakan. Sebuah proses memanusiakan manusia pada fithrahnya sebagai manusia hamba Allah (hablum minallah) dan manusia bersosial (hablum minann naas).

Untuk menguatkan format di atas, orang tua memegang peran pertama dan utama atas pendidikan bagi anak-anaknya. Orang tua tidak hanya berkewajiban menyekolahkan anaknya ke sebuah lembaga pendidikan Islami. Tapi juga diamanati Allah untuk menjadikan anak-anaknya bertakwa serta beribadah sesuai dengan ketentuan yang diatur-Nya.

Memang realitanya opini masyarakat masih menganggap lembaga pendidikan berlabel Islami belum kompetitif dalam kualitas dibandingkan sekolah pada umumnya. Nanti kalau tingkat kebandelan anak sudah melewati ambang batas, barulah dimasukkan ke dalam bengkel pesantren. Bila para orang tua muslim berpikiran sama, sekolah berlabel Islami seolah-olah hanya akan menjadi tempat berkumpulnya anak-anak nakal. 

Dialog

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Setiap pengelolaan pendidikan perlu mengupayakan terwujudnya iklim keterbukaan dan dialogis dalam pembelajaran. Sebab anak didik bukanlah robot-robot mati yang hanya bisa berjalan dengan remote control orang lain. Anak didik juga bukan wonderwomen yang terdiri dari besi dan baja. Namun, ia manusia biasa yang bisa rapuh dan hancur.

Ketertutupan hanyalah berpotensi menghilangkan daya nalar dan budaya berargumentasi secara logis. Malah akan menyuburkan penyakit taqlid atau asal ikut tanpa pemahaman.

Menjadi keniscayaan kalau seorang pendidik perlu memiliki daya pengaruh (quwwatu at-ta’tsiir) yang membekas. Sebab ia tidak saja dituntut mendidik melalui lisan, tapi juga keteladanan. Ia dituntut selalu sadar bahwa setiap gerak-gerik dan penampilan dirinya bernuansa paedagogis. Banyak kegagalan pendidikan terjadi karena sebagian pendidik yang tidak sungguh-sungguh menjadi teladan kebaikan (uswah wa qudwah) spirit of power bagi anak didiknya

Jangan sampai mengajar itu bermotif materi, sertifikasi, karier, sampingan, dan motif lain yang jauh dari panggilan jiwa seorang guru. Jangan sampai pula guru mudah sekali meninggalkan jam mengajar tanpa dosa, membiarkan akhlak anak-anak tanpa sentuhan perbaikan, dan minim komunikasi keseharian.

Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?

Insya Allah, masih banyak pendidik yang memiliki idealisme untuk terus mendidik anak sesuai fitrahnya, mendidik dengan jiwanya, sepenuh hati. Karena itu sudah merupakan panggilan jiwa seorang guru. Wallahu a’lam bish shawab. (P4/R05).

 

Mi’raj Islamic News Agency

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Rekomendasi untuk Anda

Tausiyah
Khadijah
Indonesia
Tausiyah