Oleh Katie Stallard (Koresponden Sky News di Asia, Myanmar, Rakhine)
Sejak kekerasan pada 2012 lalu yang disebut telah didalangi militer, sebanyak 140.000 Rohingya terpaksa direlokasi ke kamp di Sittwe, Rakhine. Pasalnya, rumah mereka telah hangus dibakar. Selain itu, situasi di perkampungan saat itu masih tidak aman.
Di kamp, saya melihat bayi Hussein-Ara Begum tampak sakit. Mereka menunggu di depan klinik yang dikhususkan untuk orang pengungsi internal (internally displaced people/IDP). Mereka rela menunggu dan berdiri di bawah terik sinar matahari.
Kepala bayi tersebut membesar secara abnormal. “Saya tidak tahu apa yang terjadi padanya,” ujar Begum. Begum, termasuk bayinya, adalah orang muslim Rohingya. Namun, mereka tidak memiliki kartu identitas atau kewarganegaraan.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Hal itu bukan tanpa sebab. Sejak tahun 1982, status kewarganegaraan Rohingya dicabut. Pemerintah Myanmar menganggap Rohingya sebagai imigran asing, kendati mereka sudah berada di Rakhine selama beberapa generasi dan beberapa abad.
Bugem kini hidup berdua dengan anaknya dan harus berjuang tanpa ada perlindungan dari negara. “Suami saya meninggal dunia ketika menaikki perahu pelaku perdagangan manusia pada tahun lalu. Dia mencoba pergi ke Malaysia untuk mencari uang,” katanya.
Di kamp penampungan, sejumlah pasien menolak pergi ke sakit/">rumah sakit (RS) di Naypyidaw karena takut dipukuli. Dokter senior di RS meyakinkan semua pasien dirawat secara baik. Meski demikian, orang-orang di kamp tampak tidak percaya dan tetap diliputi ketakutan.
Pemerintah Myanmar pernah didakwa melakukan pembantaian sistematis terhadap muslim Rohingya di wilayah Rakhine, Myanmar. Hari ini (29/10/2015), Universitas Yale juga menemukan bukti kuat bahwa etnis Rohingya sengaja ditelantarkan agar teraniaya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Fakultas Hukum Universitas Yale mengeluarkan pernyataan itu setelah menyelidiki dokumentasi krisis Rohingya sejak 2012 silam. Dokumentasi itu diambil dari Fortify Rights, saksi, korban selamat, pemerintah Myanmar, dan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Mereka meminta Komisi Penyelidikan PBB menuntut kejahatan itu sebagai kejahatan internasional dan kejahatan pembantaian.(T/P020/R02)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin