Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pariwisata Ramah Muslim: Ceruk Pasar yang Belum Tergarap, Oleh: Dr. Hayu Prabowo

Rana Setiawan - Kamis, 6 Agustus 2020 - 17:09 WIB

Kamis, 6 Agustus 2020 - 17:09 WIB

2 Views

Dr. Hayu Prabowo adalah Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup & Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia (LPLH-SDA MUI)

Pada 4 Agustus 2020 sebuah webinar bertajuk “Pengembangan Pariwisata Ramah Muslim Pasca-Covid-19” yang dilakukan oleh Lembaga PLH & SDA Majelis Ulama Indonesia dengan pembicara dari Kementerian Pariwisata & Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) RI, Islamic Tourism Centre (ITC) Malaysia dan pakar pariwisata.

Seluruh pembicara sepakat bahwa Pariwisata Ramah Muslim merupakan ceruk pasar yang potential yang perlu mendapat perhatian karena ini akan menunjukkan keaslian dan keunikan suatu daerah yang sangat diminati pariwisata yang mayoritas memiliki motivasi untuk memiliki pengalaman tentang kekayaan budaya dan keindahan alam.

Indonesia sebagai negara dengan umat muslim terbesar di dunia yang memiliki 17 ribu pulau dengan yang kaya akan budaya dan keanekaragaman hayati perlu menggali dan merealisasikan ceruk pasar ini.

Baca Juga: Palestina Pasca “Deklarasi Beijing”

Selain itu diskusi ini menyatukan pandangan bahwa istilah Pariwisata Ramah Muslim (Muslim Friendly Tourism) merupakan istilah yang lebih tepat dibandingkan dengan istilah Wisata Halal, Wisata Muslim ataupun Wisata Syariah. Inti Wisata Ramah Muslim merupakan sebuah layanan tambahan (extended services) yang diperlukan oleh seorang wisatawan muslim dalam melakukan perjalanan.

Umat Islam Indonesia sangat membutuhkan layanan Wisata Ramah Muslim ini agar umat muslim tidak mengorbankan keimanannya saat berpergian untuk suatu tujuan wisata yang syar’i.

Kita ketahui bersama bahwa penyedia fasilitas pariwisata tidak semuanya muslim, oleh karenanya perlu kiranya agar seluruh pihak dalam industri wisata mengerti dan memiliki standar pemenuhan kebutuhan wisatawan muslim, yang tidak terbatas pada penyediaan makanan halal, tapi juga layanan amenitas dan atraksi (daya tarik) yang sesuai dengan ajaran Islam.

A. Dato’ Dr. Mohmed Razip Haji Hasan sebagai Ketua Pengarah Islamic Tourism Centre (ITC), Malaysia menjelaskan bahwa ITC didirikan pada tahun 2009 untuk membantu Kementerian Pariwisata, Seni dan Budaya Malaysia dalam melakukan penelitian strategis dan intelijen pasar pariwisata serta memberikan pelatihan dan layanan pengembangan kapasitas terkait dengan pariwisata Islam.

Baca Juga: Nobar Film Hayya, Solidaritas dari Ponpes Al-Fatah Lampung untuk Palestina

ITC juga berfungsi sebagai badan penasihat terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan pariwisata Islam untuk Kementerian. Selama bertahun-tahun, pusat ini semakin menjadi pusat acuan para pemangku kepentingan dan pelaku industri, dan dipandang sebagai pakar industri untuk pariwisata Islam.

Dengan kesadaran potensi global pariwisata Islam, ITC terus-menerus bekerja sama dengan para pemangku kepentingan dan pelaku industri untuk memastikan bahwa Malaysia selalu berada di garis depan pariwisata Islam dan menggunakan pariwisata ramah-Muslim sebagai sarana untuk mempromosikan niat baik di antara umat manusia.

Penggunaan istilah halal tourism ataupun Muslim Friendly Tourism adalah satu konsep untuk menonjolkan ciri-ciri pelancongan yang berasaskan kepada kekuatan Islam itu sendiri. Dimana selama ini kita tidak metonjolkan suatu peluang yang terbaik bagi kita di Nusantara yang mempunyai penduduk muslim yang besar. Ini menjadi satu tanggung jawab untuk kita berkongsi dalam kelebihan dan juga keunikan dan juga keaslian Nusantara yang berbeda dengan negara lain dimanapun didunia.

Semua nilai-nilai Islam dan juga kekuatannya perlu ditampilkan dalam suatu bentuk fisik atau dikemas dalam rangkaian perjalanan pelancongan itu sendiri. Sekiranya kita tidak lakukan, maka peluang ini hilang untuk menonjolkan apa yang ada di Malaysia ataupun yang ada di Indonesia kepada masyarakat dunia khususnya masyarakat muslim dan non-muslim.

Baca Juga: Selamat atas Rekonsilisasi Antar Faksi Palestina

Kita juga melihat terdapat kekeliruan penggunaan istilah Wisata Ramah Muslim dan Wisata Muslim atau Wisata Mesra Muslim. Apa yang ingin kita tampilkan disini adalah kita bukanlah untuk menghalalkan sebuah destinasi, tetapi kita lebih melihat apakah wujudnya ataupun fasilitas ataupun kemudahan-kemudahan yang disediakan di area tersebut untuk keperluan pelancong muslim.

Karena hotel adalah merupakan entitas bisnis, dimana mereka juga mempunyai pelanggan-pelanggan non-muslim, maka kita perlu menekankan bahwa mereka perlu juga mempunyai kemudahan-kemudahan untuk orang-orang ataupun wisatawan muslim yang berkunjung ke area tersebut.

Jadi dengan adanya kepahaman tersebut, maka akan lebih mudah untuk itu memberikan pengakuan terhadap Pariwisata Ramah Muslim. ITC sendiri datang ke area-area untuk mempromosikan tentang keperluan mereka untuk diberikan pendaftaran sebagai hotel Mesra Muslim. Jadi apabila ada hotel mesra muslim, akan menjadi satu lagi marketing tools yang berkaitan untuk mempromosikan kemudahan-kemudahan tersebut.

B. Ir. Rizki Handayani, MBTM, Deputi Bidang Produk Wisata & Penyelenggara Kegiatan, Kementerian Pariwisata & Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) RI menyampaikan bahwa pihaknya saat ini memiliki strategi untuk melakukan Periwisata berkualitas (Quality Tourism).

Baca Juga: Pengaruh Amal Saleh 

Pariwisata berkualitas dalam arti meningkatkan kualitas wisatawan yang datang ke Indonesia sehingga spending ke Indonesia jauh lebih besar. Juga meningkatkan kualitas dari destinasinya. Dengan pendekatan kualitas ini dilakukan dengan segmented market tertentu, termasuk wisata ramah muslim

Pada 1013 kita bicara Wisata Syariah, kemudian berubah menjadi Wisata Halal dan sekarang kita berpandangan lebih baik kita sebut Wisata Ramah Muslim (WRM). Konsep Wisata Ramah Muslim adalah merupakan extended services (layanan tambahan dari wisata konvensional).

WRM merupakan ceruk pada wisatawan muslim dengan menyediakan layanan tambahan yang diperlukan wisatawan muslim yang tidak terdapat pada wisata konvensional. Banyak perdebatan persepsi mengenai istilah bahwa istilah Wisata Halal itu membuat akomodasi Islam, kemudian Wisata Muslim atau Wisata Syariah itu syariat-syariat Islam harus diberlakukan di semua tempat. Namun sebetulnya ini adalah ceruk pasar baru atau market segmen baru yang perlu kita ambil dengan memberikan kualitas layanan atau services yang dibutuhkan oleh wisatawan muslim. Hal paling penting adalah bagaimana kita memberikan pelayanan kepada wisatawan muslim yang datang supaya dia merasa nyaman.

Hotel yang merupakan sebuah entitas bisnis, tetap bisa menerima tamu-tamu muslim maupun non-muslim. Namun tentunya dalam Wisata Ramah Muslim dapat mencegah hal-hal yang buruk terjadi di hotel, misalnya sebagai tempat judi, tempat prostitusi, ataupun tempat-tempat yang melakukan kegiatan-kegiatan immoral lainnya. Karena Wisata Ramah Muslim dapat mencakup hal-hal lain sehingga lingkupnya menjadi lebih besar, yaitu bagaimana kita tetap menjaga ajaran Islam dalam semua aspek dalam kehidupan kita, terutama dalam menjalankan wisata.

Baca Juga: Deklarasi Beijing Untuk Rekonsiliasi Nasional Palestina

C. Prof. Azril Azahari, PhD, Ketua Ikatan Cendikiawan Pariwisata Indonesia berpendapat bahwa Pariwisata Ramah Muslim dapat dilakukan melalui makanan yang merupakan bagian dari budaya. Karena tiap daerah mempunyai keunikan dan keaslian masing-masing.

Wisata kuliner ini berkembang menjadi gastronomi adalah bagaimana memasak, tapi juga kombinasi seni dan sains dalam memasak yang bisa berkembang menjadi food diplomacy. Indonesia dijajah Portugis karena rempah-rempahnya. Jadi atraksi (daya tarik) pariwisata dapat berupa makanan yang unik dan asli setempat, termasuk makanan halal yang mencerminkan makanan yang sehat dan higienis (healthy & hygene).

Selain itu, sebuah pariwisata, khususnya Pariwisata Ramah Muslim, haruslah Profit (untung) agar usahanya berkesinambungan. Tapi aspek People (manusia) janganlah dilupakan. Maka investasi jangan hanya untuk kepentingan investor saja tapi juga untuk komunitas yang menjadi (Community Based Tourism), suatu skema usaha untuk mengembangkan pendapatan masyarakat melalui pengembangan industri pariwisata dengan mengembangkan partisipasi masyarakat lokal.

Kemudian Planet atau lingkungan hidup yang merupakan aset pariwisata. Namun dalam Environmental Sustainability, Indonesia memiliki indeks daya saing terendah dibanding negara-negara ASEAN lainnya. Sehingga disinilah ajaran Islam masuk yang mencakup habluminallah, habluminannas dan habluminal alam.(AK/R1/P2)

Baca Juga: Memahami Konsep Hijrah Zaman Now

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Perlindungan Anak dalam Perspektif Agama Islam

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Indonesia
Indonesia
Internasional