Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Parlemen Rusia Sahkan Aturan Baru, Akses Konten “Ekstremis” Bisa Didenda

Widi Kusnadi Editor : Rudi Hendrik - 49 detik yang lalu

49 detik yang lalu

0 Views

Presiden Rusia Vladimir Putin. (The Moscow Times)

Moskow, MINA Parlemen Rusia menyetujui undang-undang baru yang menetapkan denda bagi warga yang secara sadar mengakses konten yang dianggap “ekstremis” melalui platform digital, termasuk dengan bantuan jaringan pribadi virtual (VPN). Kebijakan ini menimbulkan keprihatinan luas dari kalangan pegiat hak digital karena dinilai dapat memperluas kontrol negara atas ruang daring dan membahayakan kebebasan berekspresi.

Dewan rendah Parlemen Rusia (Duma) mengesahkan aturan tersebut pada Selasa (22/7), menetapkan sanksi administratif berupa denda hingga 5.000 rubel atau setara sekitar satu juta rupiah bagi individu yang terbukti melakukan pencarian terhadap materi yang tercantum dalam daftar resmi “konten ekstremis” milik Kementerian Kehakiman Rusia. RT melaporkan.

Daftar tersebut mencakup lebih dari 500 halaman dan mencantumkan berbagai organisasi serta entitas, mulai dari Yayasan Antikorupsi milik mendiang tokoh oposisi Alexei Navalny, gerakan LGBT internasional, hingga perusahaan teknologi asal Amerika Serikat, Meta Platforms, induk dari Facebook dan WhatsApp.

Meskipun pemerintah menyatakan tujuan regulasi ini untuk membatasi penyebaran ideologi ekstremis, banyak pihak menilai kebijakan tersebut berpotensi digunakan secara sewenang-wenang.

Baca Juga: Rakyat Prancis Gelar Aksi Protes Kecam Blokade dan Serangan Brutal Zionis di Gaza

Menteri Pembangunan Digital Rusia, Maksut Shadaev, dalam keterangannya yang dikutip dari Japan Times pada Rabu (23/7), menegaskan bahwa penegak hukum harus membuktikan adanya niat sadar dari pengguna untuk mengakses konten ekstremis sebelum menjatuhkan sanksi. Ia menambahkan bahwa penggunaan platform seperti Google dan WhatsApp tidak otomatis dianggap pelanggaran hukum.

Namun, keraguan terhadap kejelasan dan implementasi undang-undang ini terus bermunculan. Yekaterina Mizulina dari Liga Internet Aman Rusia, sebuah lembaga yang sebelumnya mendapat dukungan negara, memperingatkan bahwa undang-undang tersebut kabur dan dapat membuka ruang bagi pemerasan atau kriminalisasi yang tidak proporsional. “Hukum ini menciptakan ketakutan dan ketidakpastian,” ujarnya.

Hal senada disampaikan oleh Sarkis Darbinyan, pendiri lembaga hak digital Roskomsvoboda. Ia menilai bahwa undang-undang ini akan mendorong warga melakukan swasensor, menghapus aplikasi yang berisiko, atau berhenti mengikuti kanal informasi yang sensitif secara politik.

Di sisi lain, para legislator Rusia juga tengah mempertimbangkan untuk memperluas pembatasan terhadap layanan pesan asing. WhatsApp, yang juga dimiliki Meta, disebut-sebut kemungkinan besar akan masuk dalam daftar layanan yang dibatasi, sejalan dengan langkah pemerintah dalam membangun “kedaulatan digital”.

Baca Juga: Obama Bantah Tuduhan Kudeta, Sebut sebagai Pengalihan Isu

Sebagai bagian dari agenda tersebut, pemerintah mempromosikan penggunaan platform lokal seperti aplikasi pesan MAX, yang dikembangkan sebagai alternatif dari aplikasi asing. Namun, hingga kini, sebagian besar masyarakat Rusia masih sangat bergantung pada platform global untuk komunikasi dan informasi.

Rusia dalam beberapa tahun terakhir terus memperkuat kendali atas ruang digital domestik. Sejak invasi ke Ukraina pada 2022, Kremlin telah memberlakukan berbagai pembatasan terhadap media independen, menutup akses ke sejumlah platform asing, serta memperluas daftar entitas yang dinyatakan “ekstremis”.

Langkah terbaru ini dinilai oleh sejumlah pengamat sebagai bagian dari upaya sistematis untuk membungkam perbedaan pendapat dan mempersempit ruang sipil secara daring. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Topan Wipha Terjang Filipina, Kota Quezon Dilanda Banjir Parah

Rekomendasi untuk Anda