Rakhine, 21 Ramadhan 1437/26 Juni 2016 (MINA) – Partai Nasionalis Bora_an mendesak Pemerintah Myanmar untuk mengganti nama Rohingya dengan “komunitas Muslim di negara bagian Rakhine.”
Menurut pernyataan resmi partai tersebut, pemerintah sudah mengajukan proposal pekan lalu di sesi ke-32 Dewan HAM PBB di Jenewa, yang menyerukan penggunaan istilah “Komunitas Muslim di negara bagian Rakhine” untuk merujuk pada Muslim di negara itu. Bukan menggunakan istilah “Rohingya” atau “Bengal”.
Pernyataan partai itu muncul sehari setelah pembicaraan reformasi di negara bagian Rakhine yang diadakan oleh pemimpin tak resmi Myanmar, Aung San Suu Kyi, dan utusan PBB untuk Myanmar, Yanghee Me, sebagaimana diberitakan media pemerintah setempat. Demikian Anatolia dan dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA).
Partai Nasionalis pimpinan Suu Kyi yang memenangkan kursi dalam pemilu lalu, bersepakat untuk menolak penggunaan istilah Rohingya tersebut, karena menggambarkan mereka sebagai penyusup dan negara tetangga Bangladesh.
Baca Juga: Gunung Berapi Kanlaon di Filipina Meletus, 45.000 Warga Mengungsi
Partai itu juga mengecam presiden LSM Arakan Procect, Chris Lewa, yang sebelumnya mencegah Muslim Rohingya mengikuti pemilihan anggota parlemen tahun lalu.
Sekitar satu juta orang Muslim Rohingya yang tinggal di kamp-kamp Negara Arakan atau Rakhine barat negara itu, telah kehilangan hak untuk menjadi warganegara Myanmar berdasarkan perundang-undangan yang ditetapkan pada 1982.
PBB dalam hal ini telah mengeluarkan pernyataan bahwa minoritas Muslim Rohingya adalah agama minoritas paling tertindas di dunia.
Pusat Alroheenga Global dalam situsnya, mengatakan Rohingya sebagai “etnis tertindas di provinsi Arakan dalam 70 tahun, banyak terjadi pelecehan dan penyiksaan, tunawisma, pembunuhan dan pembakaran.”
Baca Juga: Presiden Korea Selatan Selamat dari Pemakzulan
Dengan pecahnya kekerasan terhadap Muslim Rohingya, pada Juni 2012, puluhan ribu dari mereka terpaksa melarikan diri ke negara-negara tetangga, berharap untuk mendapatkan pekerjaan, tapi banyak di antaranya menjadi obyek perdagangan manusia. (T/P004/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)