Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Partai-Partai Ultra-Ortodoks Mundur dari Pemerintahan Netanyahu, Wajib Militer Jadi Pemicu

Widi Kusnadi Editor : Rudi Hendrik - 24 detik yang lalu

24 detik yang lalu

0 Views

Orang-orang Yahudi yang tinggal di permukiman ilegal di wilayah Palestina (Foto: File/Safa)

Gaza, MINA – Tiga partai ultra-Ortodoks Israel resmi keluar dari koalisi pemerintahan Benjamin Netanyahu, memicu krisis politik di tengah perang terpanjang yang sedang berlangsung di Gaza.

Dua sayap Partai United Torah Judaism (UTJ), yakni Degel Hatorah dan Agudat Israel, mengumumkan pengunduran diri mereka pada Senin malam (14/7/2025). Langkah serupa diambil Partai Shas yang menyusul keluar pada Kamis (17/7). Al-Jazeera melaporkan.

Para pemimpin partai-partai tersebut menyatakan mundur dari pemerintahan karena ketidakmampuan Netanyahu meloloskan undang-undang pembebasan wajib militer bagi sebagian besar siswa yeshiva Haredi, komunitas Yahudi ultra-Ortodoks. Isu ini telah menjadi sumber ketegangan politik dan sosial di Israel selama dua dekade terakhir.

Pengunduran diri ini terjadi di saat Israel terlibat dalam perang terpanjang dalam sejarahnya, dengan jumlah korban tentara yang terus meningkat, khususnya di Gaza. Kebutuhan mendesak untuk merekrut lebih banyak prajurit menjadi alasan utama pemerintah memperketat kebijakan wajib militer.

Baca Juga: Imam Masjidil Aqsa, Syekh Sarandah: Istiqamah dalam Perjuangan untuk Raih Kemenangan

Sementara itu, mayoritas masyarakat Israel menolak adanya kompromi bagi kalangan Haredi dalam soal wajib militer. Mereka menuntut keadilan dalam pembagian beban pertahanan, baik melalui jalur militer maupun pengabdian sipil. Beberapa partai politik menegaskan perlunya undang-undang yang menetapkan kewajiban yang sama bagi semua warga muda Israel.

Di sisi lain, kalangan Haredi berpendapat bahwa mempelajari Taurat adalah bentuk pengabdian publik yang hakiki.

Menurut mereka, studi kitab suci telah menjaga kelestarian nilai-nilai dan prinsip Yahudi selama berabad-abad. Bahkan sebagian dari mereka percaya, kekuatan spiritual dari pelajaran agama lebih mampu melindungi Israel ketimbang peralatan militer sekalipun, bahkan dalam masa perang.

Sebuah survei Pusat Studi Keamanan Nasional Israel mengungkapkan bahwa militer Israel kini menghadapi krisis tenaga kerja yang serius di berbagai front peperangan, terutama di Gaza. Kondisi ini menambah tekanan bagi pemerintah untuk segera menemukan solusi antara kebutuhan militer dan tuntutan kelompok Haredi.

Baca Juga: Empat Bulan Tak Muncul, Abu Obeida: Keteguhan Perlawanan Masih Terjaga

Pengunduran diri partai-partai ultra-Ortodoks ini berpotensi menggoyahkan stabilitas koalisi pemerintahan sayap kanan Netanyahu. Jika krisis ini tidak terselesaikan, bisa jadi Israel akan menghadapi pemilu dini dalam waktu dekat.

Sebagai latar belakang, persoalan wajib militer di Israel memang menjadi isu laten sejak lama. Israel mewajibkan warganya menjalani dinas militer, namun komunitas Haredi selama ini mendapat dispensasi untuk fokus pada studi agama. Kebijakan ini kerap memicu kecemburuan sosial, terutama di kalangan sekuler yang menilai ada ketidakadilan dalam pembagian kewajiban bela negara. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Houthi Luncurkan Rudal Palestine 2 ke Bandara Lod Israel

Rekomendasi untuk Anda