Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pascaserangan Israel ke Qatar, Akankah Kantor Hamas Ditutup?

Ali Farkhan Tsani Editor : Widi Kusnadi - Sabtu, 13 September 2025 - 08:20 WIB

Sabtu, 13 September 2025 - 08:20 WIB

83 Views

Khaled Meshaal, salah satu pimpinan Hamas di luar negeri. (Dok MEMO)

SERANGAN Zionis Israel ke ibu kota Qatar, Doha, Selasa, 9 September 2025, yang menargetkan para pemimpin tinggi Hamas yang sedang membahas proposal Presiden AS Donald Trump untuk Gaza, menimbulkan pertanyaan tentang masa depan kantor kepemimpinan gerakan Palestina di negara Teluk itu.

Akankah serangan tersebut, yang menewaskan lima anggota Hamas dan seorang petugas keamanan Qatar, berdampak pada kebijakan negara kaya minyak itu terhadap kantor Hamas di Doha?

Pertanyaan ini penting tentang bagaimana Qatar menghadapi serangan Israel yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadapnya. Sementara Qatar sudah menandatangani kesepakatan ekonomi senilai US$1,2 triliun atau sekitar Rp19.840 triliun saat kunjungan Trump ke negara tersebut, 15 Mei 2025.

Padahal ada pangkalan militer AS Al-Udeid, yang menampung lebih dari 8.000 personel Amerika, dan merupakan markas regional Komando Pusat AS di Timur Tengah jaraknya hanya sekitar 30 km dari gedung yang diserang Israel.

Baca Juga: Ketika Dunia Riuh, Tapi Hati Masih Sepi

Apakah AS tidak tahu akan adanya serangan itu? Rasanya tak mungkin. Mengapa tidak ada tidakan pencegahan dari pangkalan militer AS di Qatar, yang memiliki segala kecanggihan radarnya? Atau memang membiarkan serangan itu terjadi? Sebab Trump juga sebelumnya telah mengultimatum Hamas dan akan mengambil alih Gaza.

Serangan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang strategi masa depan Doha dalam hal peran mediasi yang berkelanjutan dalam perang dan konflik regional, baik di Timur Tengah atau bahkan di Afghanistan, di mana ia menjadi tuan rumah negosiasi AS dengan Taliban.

Doa juga menjadi mediator pembicaraan nuklir antara AS dengan Iran.

Namun, kehadiran langsung Emir Qatar Tamim bin Hamad Al Thani, pada shalat jenazah di Masjid Sheikh Mohammed bin Abdul Wahhab di Doha dan pemakaman lima warga Palestina dan satu warga Qatar, pada Kamis (11/9/2025) korban dalam serangan itu, tidak diragukan lagi menandakan bahwa emirat Teluk tersebut tidak akan mengambil tindakan eksklusif terhadap gerakan Palestina.

Baca Juga: Logika Ketuhanan Isa AS, Meluruskan Kesalahpahaman Trinitas dalam Cahaya Al-Qur’an

Sejauh ini, Qatar belum menarik diri dari mediasi antara Israel dan Hamas untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata di Gaza.

Dalam pernyataan terbarunya, Perdana Menteri Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani menegaskan di hadapan Dewan Keamanan PBB pada Kamis (12/9/2025) bahwa negaranya, yang menjadi mediator gencatan senjata di Jalur Gaza, akan melanjutkan peran “diplomatiknya”.

“Kami akan melanjutkan peran kemanusiaan dan diplomatik kami, tanpa ragu-ragu, untuk menghentikan pertumpahan darah,” ujarnya tegas.

Namun, hal itu tentu saja bergantung pada posisi AS yang terlibat erat dalam negosiasi ini dan peran Qatar di dalamnya. Posisi ini tidak dapat ditegakkan di luar posisi Washington terkait serangan Israel di Doha, dan jaminan yang dapat diberikan AS kepada Qatar bahwa Qatar tidak akan menjadi sasaran lagi.

Baca Juga: Kantor Berita MINA dan Diplomasi Naratif Indonesia untuk Palestina

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sendiri telah berulang kali mendesak Qatar untuk mengusir “teroris” dari wilayah Arab utu, atau Zionis akan melakukannya.

Ini berarti ia siap menyerang Qatar lagi jika para pemimpin Hamas tetap berada di sana. Oleh karena itu, situasi di sini terutama berada di antara Amerika Serikat dan Israel, dalam hal kemampuan Washington untuk mencegah Tel Aviv mengulangi serangan di Doha, seperti yang dijanjikan Trump kepada Qatar.

Meskipun Qatar telah menerima solidaritas luas dari Arab dan regional, negara ini masih menunggu “ganti rugi” dari Washington, yang memiliki pangkalan militer terbesar di kawasan tersebut di wilayah Qatar.

Oleh karena itu, Qatar tidak dapat diharapkan untuk mempertimbangkan kembali posisi dan kebijakannya dalam jangka pendek, karena jika tidak, Qatar akan tampak seolah-olah telah menyerah pada tekanan Israel. Dalam hal ini, Qatar bergantung pada sikap Arab dan regional di sekitarnya, tetapi terutama mengandalkan posisi Amerika.

Baca Juga: 78 Tahun Penantian, Keadilan yang Belum Kunjung Datang ke Lembah Kashmir

Namun, Qatar mungkin akan meninjau kembali kebijakannya saat ini dalam jangka panjang, karena peran mediasinya tidak terlindungi dari serangan Iran yang menargetkan pangkalan Al-Udeid AS Juni lalu saat sedang melakukan mediasi untuk mengakhiri perang antara Israel dan Iran. Termasuk dari serangan Israel Selasa lalu saat sedang melakukan mediasi antara Israel dan Hamas.

Oleh karena itu, sangat kecil kemungkinan Doha akan mengambil tindakan apa pun terhadap Hamas dalam waktu dekat, meskipun posisi ini dapat berubah dalam jangka panjang jika Qatar berkepentingan untuk mempertimbangkan kembali posisi dan strategi mediasinya.

Pejabat AS pada November 2024 pernah mengatakan bahwa Washington telah menuntut Qatar untuk mengusir pimpinan Hamas setelah gerakan Palestina tersebut menolak usulan kesepakatan dengan Israel. Namun Qatar menanggapi bahwa kantor Hamas di Doha didirikan untuk memfasilitasi mediasi, seperti yang pernah Qatar sampaikan juga ke AS dan Israel sebelumnya.

The Wall Street Journal melaporkan pada 20 April 2024, mengutip para pejabat Arab, bahwa Hamas telah menghubungi setidaknya dua negara di kawasan Arab untuk memindahkan kantor politiknya jika kondisi tidak memungkinkan lagi di Doha.

Baca Juga: Kesaksian tentang Keperkasaan Rakyat Gaza

Hal ini terjadi di tengah tekanan dari anggota parlemen AS kepada negara Teluk tersebut untuk melanjutkan negosiasi gencatan senjata antara Hamas dan Israel yang tampaknya akan gagal.

Seorang pejabat Arab mengatakan bahwa “Oman adalah salah satu negara yang telah dihubungi.”

Sementara itu, Hamas, melalui pejabatnya, membantah bahwa mereka mempertimbangkan untuk meninggalkan Qatar dan pindah ke negara tuan rumah lain. Sementara itu, kepala biro politik gerakan tersebut, Ismail Haniyeh, bertemu dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di Istanbul untuk membicarakan kelanjutannya.

Kedua pejabat tersebut menambahkan bahwa Hamas ingin memperkuat hubungan dengan Turki, termasuk menerima bantuan langsung dari Turki, menurut surat kabar Israel, Haaretz.

Baca Juga: Tersihir Drakor, Terseret Fitnah: Saatnya Muslim Bangkit!

Hal itu menimbulkan pertanyaan apakah Turki merupakan negara kedua yang dipertimbangkan Hamas untuk direlokasi, menurut Wall Street Journal.

Sejarah gerakan Hamas sejak 1990-an, memiliki kantornya di luar negeri, mulai dari Yordania, terus ke Qatar, lalu ke Suriah, Mesir dan kemudian kembali ke Qatar.

Kalau Ditutup

Kalau kantor politik Hamas di Doha, Qatar ditutup, atau kalau Qatar menghentikan perannya sebagai tuan rumah mediator dalam negosiasi hamas-Israel, akan ada sejumlah risiko yang muncul, baik terhadap proses diplomasi, gencatan senjata, maupun situasi keseluruhan konflik Israel‑Palestina.

Baca Juga: Peran Diaspora Palestina dalam Perlawanan Naratif Global

Penutupan akan berisiko pada mati atau melemahnya saluran diplomasi. Tanpa kantor tersebut, satu saluran komunikasi resmi atau semi‑resmi antara Hamas dan pihak mediator akan hilang, yang bisa memperlambat atau mempersulit negosiasi gencatan senjata atau negosiasi pembebasan sandera.

Mediator eksternal juga akan kesulitan menjalin hubungan langsung maupun dialog terus menerus.

Tanpa diplomasi, pihak yang merasa tidak punya opsi damai atau jalur negosiasi yang efektif bisa memilih cara lain, termasuk meningkatkan aksi perlawanan atau operasi militer. Penutupan kantor juga bisa dilihat sebagai provokasi atau paksaan, yang memicu reaksi keras dari Hamas, proksinya dan simpatisannya.

Di smaping itu, Qatar sebagai mediator bisa kehilangan sebagian kredibilitas atau posisi tawarnya jika dianggap meminggirkan Hamas secara sepihak.

Baca Juga: Solidaritas Palestina; Dari Ruang Kelas hingga ke Puncak Gunung

Sisi lainnya, Israel dan negara-negara pendukungnya mungkin menggunakan penutupan kantor itu sebagai titik untuk menekan lebih keras secara diplomatik, menuntut penyerahan atau pelucutan senjata.

Dengan melemahnya atau hilangnya proses diplomasi, kemungkinan bantuan kemanusiaan, rekonstruksi, dan perlindungan sipil juga akan semakin sulit difasilitasi. Gencatan senjata sementara mungkin tidak akan diikuti dengan fase-fase selanjutnya yang menjamin pembangunan kembali dan suplai kebutuhan dasar.

Hamas sendiri hingga saat ini menyatakan bahwa serangan di Doha tidak akan mengubah tuntutan mereka dalam perundingan gencatan senjata.

Dampak besar lainnya, penutupan diplomasi atau pemutusan jalur perundingan justru akan meningkatkan konflik berskala lebih besar, sebab pihak pejuang Palestina merasa semua jalur damai diblokir, pilihan kekerasan bisa dianggap sebagai alternatif terakhir mereka. []

Baca Juga: Proyek Israel Raya, Upaya Menguasai Timteng dengan Dukungan AS

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Aneksasi Upaya Menghapus Masa Depan Palestina

Rekomendasi untuk Anda

Internasional
Palestina
Palestina
Kolom
Internasional
Kolom