Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Patah Sebelum Tumbuh, Anak-anak yang Kehilangan Sosok Ayah atau Ibu

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 2 jam yang lalu

2 jam yang lalu

5 Views

Ilustrasi

DI BALIK tawa seorang anak, terkadang tersembunyi luka yang tak pernah terucap. Bukan karena mereka jatuh saat bermain, bukan pula karena dimarahi. Tapi karena kehilangan yang lebih dalam: kehilangan sosok ayah atau ibu. Entah karena kematian, perceraian, atau penelantaran—semua meninggalkan jejak yang tidak mudah terhapus, apalagi untuk jiwa yang bahkan belum benar-benar tumbuh.

Anak-anak yang kehilangan salah satu (atau bahkan kedua) orang tuanya bukan hanya kehilangan pelindung, namun juga kehilangan separuh pondasi kehidupan. Mereka tidak sekadar kehilangan figur yang menyuapi, menyekolahkan, atau mengantar tidur. Mereka kehilangan seseorang yang menjadi cermin jati diri. Dan yang paling menyedihkan adalah: banyak dari mereka harus menelan itu semua dalam diam.

Bayangkan seorang bocah lima tahun yang kehilangan ibunya karena kanker. Ia belum bisa mengeja kata “kematian”, namun ia harus memahami kepergian yang tak kembali. Di usianya yang seharusnya riang bermain, ia justru belajar tentang kehilangan yang tidak adil.

Atau remaja yang ditinggalkan ayahnya karena perceraian. Sang ayah pergi dan tak pernah menoleh lagi. Tiba-tiba, ia harus belajar menjadi “kepala rumah” padahal usianya belum genap lima belas. Ia belajar memendam air mata agar tak menyakiti hati ibunya, belajar menjadi tegar karena tidak ada pilihan lain.

Baca Juga: SMA Unggul Garuda Dirancang untuk Akses ke Universitas Dunia

Kehilangan sosok ayah atau ibu bukan hanya masalah psikologis, tetapi juga sosial. Anak-anak seperti ini sering tumbuh dengan luka dalam yang tidak terlihat secara fisik, tetapi nyata adanya. Mereka sering kali merasa berbeda, merasa tidak cukup, merasa ada yang kurang dari dirinya.

Lebih tragisnya lagi, sebagian dari mereka menyalahkan diri sendiri. Anak-anak kecil kadang mengira ibunya meninggal karena mereka terlalu nakal. Ada yang berpikir ayahnya pergi karena mereka tidak cukup pintar. Rasa bersalah yang ditanggung itu bisa menumpuk menjadi beban berat di masa depan.

Sayangnya, masyarakat kita kerap tidak cukup sensitif untuk memahami luka semacam itu. Sekolah hanya menuntut nilai bagus, lingkungan hanya menilai dari prestasi, dan teman-teman hanya tahu mengejek, bukan memahami. Anak-anak ini sering disebut “bermasalah”, padahal mereka hanya “berluka”. Dan tidak semua luka butuh obat, tapi semua luka butuh dipahami.

Mereka Butuh Kesempatan

Baca Juga: Pendaftaran Beasiswa PMDSU 2025 Resmi Dibuka, Kuliah S2 dan S3 Gratis

Salah satu kesalahan terbesar orang dewasa dalam menyikapi anak yang kehilangan orang tua adalah dengan merasa kasihan. Kasihan yang berlebihan justru menjatuhkan, membuat anak merasa rendah, merasa bahwa dirinya adalah korban selamanya. Padahal, yang mereka butuhkan bukan belas kasihan, tapi kepercayaan. Mereka butuh didorong, bukan dipeluk selamanya.

Anak-anak yang patah sebelum tumbuh ini sering menyimpan potensi besar. Dalam luka mereka, tersimpan kekuatan bertahan. Dalam diam mereka, tersimpan daya juang. Banyak tokoh besar lahir dari ketidaklengkapan keluarga—karena mereka terlatih sejak kecil untuk tidak mengandalkan siapa pun kecuali diri mereka sendiri.

Tentu tidak mudah. Anak-anak seperti ini membutuhkan lingkungan yang suportif. Guru yang peka, keluarga besar yang saling menjaga, tetangga yang tidak sekadar menilai, tapi mau memeluk dengan keikhlasan. Negara pun seharusnya hadir lebih banyak dalam memberikan akses psikologis dan sosial untuk anak-anak seperti ini.

Sayangnya, negara dan masyarakat kita sering kali lambat bertindak. Program bantuan yatim piatu sering hanya berbentuk uang atau sembako, tapi lupa bahwa yang lebih penting dari nasi adalah empati. Tidak semua anak butuh diberi makan, tapi semua anak butuh diberi harapan.

Baca Juga: Jangan Tunggu Tua untuk Taat: Saatnya Gen Z Tampil Keren dengan Ketaatan

Menghadirkan ayah atau ibu pengganti bukan hanya tentang menikahkan janda atau duda. Tapi tentang menghadirkan sosok yang mau menemani proses tumbuh. Bisa dalam bentuk guru yang peduli, kakak pengajian yang mendengarkan, atau bahkan seorang relawan yang konsisten hadir. Karena anak-anak ini tidak butuh kata-kata indah, mereka butuh kehadiran nyata.

Kita Bisa Melakukan Sesuatu

Lalu apa yang bisa kita lakukan? Banyak. Terlalu banyak bahkan, jika kita benar-benar peduli.

Kita bisa mulai dengan tidak membanding-bandingkan anak-anak ini dengan yang lain. Tidak semua anak yang kehilangan orang tua akan langsung dewasa. Tidak semua harus sekuat yang kita harapkan. Kadang mereka hanya ingin didengarkan, diperlakukan biasa saja, tanpa embel-embel “kasihan”.

Baca Juga: Hidupmu Berarti, Karena Allah Tidak Menciptakanmu Sia-Sia

Sebagai orang dewasa, kita juga bisa mengambil peran sebagai mentor, kakak, atau sahabat. Jangan remehkan kekuatan dari hadirnya satu orang dewasa yang konsisten hadir dalam hidup seorang anak. Seseorang yang mendengarkan keluh kesahnya, menyemangatinya saat ujian, atau sekadar menemani membaca buku.

Dan bagi yang punya kemampuan lebih, membangun rumah singgah, lembaga konseling, atau kegiatan sosial yang ramah terhadap anak-anak kehilangan bisa jadi ladang amal yang luar biasa. Dunia ini sudah cukup keras. Jika kita bisa menjadi lembutnya dunia bagi anak-anak ini, maka kita sedang berkontribusi membangun masa depan yang lebih baik.

Yang juga penting adalah memberi ruang bagi anak-anak ini untuk mengekspresikan perasaannya. Melalui seni, menulis, menggambar, musik, atau teater—semua bisa menjadi jalan keluar dari tekanan batin. Jangan suruh mereka diam. Jangan tahan tangis mereka. Jangan paksa mereka kuat sebelum waktunya.

Dan untuk mereka yang pernah kehilangan, ketahuilah: patah sebelum tumbuh bukanlah akhir. Justru sering kali, dari patahan itu muncul akar baru, yang lebih kuat, lebih tahan terhadap badai. Kamu mungkin tumbuh berbeda, tapi bukan berarti kamu tumbuh lebih buruk. Justru karena itu, kamu spesial.

Baca Juga: Menyeberang Jalan dengan Earphone di Telinga, Bahaya untuk Diri Sendiri dan Orang Lain

Tidak semua anak lahir dari keluarga utuh. Tapi semua anak berhak tumbuh utuh. Jangan biarkan mereka patah tanpa penopang. Jangan biarkan mereka tumbuh sendiri di tengah kebisingan dunia. Jadilah seseorang yang hadir—walau hanya sebentar, tapi berarti.

Ingat, satu pelukan bisa menyelamatkan jiwa. Satu kalimat penyemangat bisa menyalakan harapan. Dan satu orang dewasa yang peduli bisa mengubah hidup seorang anak untuk selamanya.

Mungkin kita tidak bisa mengembalikan ayah atau ibu mereka. Tapi kita bisa hadir sebagai alasan agar mereka tetap mau bermimpi.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Empat Mahasiswa Universitas Syiah Kuala Lolos APIE di Jepang

 

Rekomendasi untuk Anda

MINA Preneur
MINA Health
MINA Edu