Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Patriarki di Meja Makan

Arina Islami Editor : Widi Kusnadi - Selasa, 28 Oktober 2025 - 23:19 WIB

Selasa, 28 Oktober 2025 - 23:19 WIB

62 Views

Ilustrasi keluarga yang harmonis sedang makan bersama di meja makan. (Foto: Media Sosial)

”NONA, habis cuci piring, makan ya,” ucap Ibu kepada putrinya yang sedang sibuk membasuh tumpukan wajan dan panci kotor yang telah ia gunakan untuk memasak hidangan lezat bagi keluarga. Adik laki-lakinya baru kembali ke rumah saat pukul 18.00, selepas bermain bola dengan kawan sebayanya. Ia mencuci tangan, lalu menyendokkan nasi dan lauk ke piring yang telah terhidang di atas meja makan.

Si Nona kemudian hendak menikmati makan malam, usai bergulat dengan urusan dapur sejak pukul 16.00. Ia mengambil ayam goreng krispi, menu terenak malam itu yang hanya tersisa sepotong. Tiba-tiba Ibu dengan sigap berujar, ”Abangmu belum makan, kamu pakai telur saja ya.”

Sepotong kisah di atas bukanlah cerita fiksi bagi sebagian keluarga. Ini sebuah realita yang terjadi dan kerap kali terasa lumrah. Patriarki rupanya tidak serta merta timbul di ruang-ruang publik, tapi lahir dari lingkup terkecil dan terintim dengan diri kita, yakni keluarga.

Meja makan seharusnya bisa menjadi ruang paling sederhana untuk membentuk kesetaraan bahwa semua anggota keluarga dapat menikmati makanan yang sama tanpa memilah siapa yang layak didahulukan dan perut siapa yang harus ’dinomorduakan’.

Baca Juga: Saat Ilmu Ditinggalkan, Hati Ibu Menjadi Bisu

Mengutip KBBI, makna patriarki ialah perilaku mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Menurut teori Gender Socialization, bias gender yang tertanam sejak kecil kemungkinan besar akan terbawa hingga dewasa kemudian membentuk pola pikir dan perilaku yang bias.

Bias gender ini kemudian mengkristal menjadi tindakan-tindakan yang lebih serius di tengah masyarakat. Kita menganggap bahwa urusan domestik rumah tangga adalah tanggung jawab perempuan. Kita melihat bahwa perempuan baru layak ’menerima’ jika mampu membuktikan diri telah ’memberikan’ sesuatu. Kita memandang bahwa perempuan tidak bisa disejajarkan dengan laki-laki sebab perempuan hanya mahir di dapur.

Meskipun hari ini kita melihat posisi-posisi penting dalam sebuah komunitas sudah bisa diserahkan kepada perempuan, nilai-nilai patriarki masih berpengaruh kuat pada struktur sosial dan keluarga, terutama di daerah pedesaan yang menjunjung tinggi adat istiadat tradisional.

Beberapa daerah di Indonesia memiliki budaya ‘hierarki’ di meja makan yang dianggap sebagai nilai dari tata krama. Ayah sebagai pemimpin dan kepala keluarga harus disuguhi makanan terlebih dahulu sebagai bentuk penghormatan.

Baca Juga: Ibu Akhir Zaman: Sibuk di Dunia, Lupa Mendidik Jiwa

Jika dilihat sebagai sopan santun dan bentuk bakti pada orang tua, tentu sah-sah saja budaya seperti itu dilestarikan selama tidak memberatkan. Menjadi masalah ketika praktik tersebut dianggap sebagai sebuah kewajiban yang akhirnya mengharuskan ibu dan anak perempuan menahan lapar atau harus menukar lauk favoritnya sebab ada anggota keluarga laki-laki (entah Ayah atau Abang) yang dinilai lebih pantas menikmati hidangan tersebut.

Laki-laki dipandang layak menerima ’pelayanan istimewa’ itu sebab ia merupakan pencari nafkah yang telah berjuang di luar rumah. Sehingga pelayanan itu dianggap sebagai apresiasi atas apa yang telah ia lakukan. Lantas, apakah perempuan tidak melakukan apa-apa?

Ketika urusan domestik rumah tangga dibebankan pada perempuan, sejatinya ini adalah sebuah tanggung jawab yang amat berat. Bukan bermaksud mencari siapa yang lebih banyak berkorban, tapi jika ’pelayanan istimewa’ hanya bisa didapat setelah seseorang melakukan sesuatu yang besar maka perempuan pun berhak mendapat ’pelayanan istimewa’ itu. Inilah konsep setara.

”Perempuan harus pintar masak biar gampang cari suami,” seberapa sering Anda mendengar kalimat ini? Kalimat tersebut secara jelas menunjukkan bahwa kemahiran perempuan di dapur menjadi pemikat utama bagi laki-laki. Apakah Anda pernah mendengar kalimat sebaliknya? Jawabannya jarang atau bahkan tidak.

Baca Juga: Istri Salehah, Suami Lalai

Sebagai perempuan, kita seolah-olah dibesarkan untuk melayani laki-laki. Kita selalu mendengar nasihat bahwa kita harus pandai mengolah makanan untuk mendapatkan hati seorang lelaki. Kita harus rajin membersihkan rumah agar ada laki-laki yang mau mempersunting kita. Bahkan kita harus merawat wajah dan tubuh hanya untuk membuat lelaki terpesona. Mengapa semua hal itu ditujukan kepada lelaki? Padahal sebagai perempuan, kita boleh melakukan itu semua untuk kenyamanan diri sendiri.

Semua kalimat bias gender yang disebutkan di atas, bisa tumbuh subur di tengah masyarakat karena meja makan keluarga menjadi pranata pertama yang mengajarkan patriarki. Kita didoktrin agar terbiasa melakukan apa pun untuk mendapatkan pengakuan dari laki-laki. Akhirnya, kita secara tidak langsung terbawa arus dan tidak melihat ini sebagai sesuatu yang janggal.

Jika Anda membaca dengan saksama, artikel ini tidak sekali pun menyebut kata Wanita dan lebih memilih menggunakan diksi Perempuan. Merujuk KBBI, Wanita dan Perempuan merupakan sinonim, tapi mari kita lihat akar katanya.

Dalam berbagai literatur, disebutkan bahwa ’Wanita’ berasal dari bahasa Jawa yaitu ’Wani Ditata’ yang berarti ’Berani diatur.’ Ada pula yang menyebut, berasal dari bahasa Sanskerta yaitu ’Vanita’, memiliki arti ’Yang diinginkan.’ Kata ’Wanita’ menempatkan perempuan sebagai objek semata dan memiliki energi negatif: submisif dan pasif.

Baca Juga: Sahabat Muslimah, Ini yang Wajib Kamu Persiapkan Saat Ta’aruf

Sementara kata ’Perempuan’ dalam teori populer berasal dari bahasa Melayu, ’Empu’ yang berarti ’Mulia, Hormat, Tuan.’ Beberapa sumber menyebut makna Empu dalam kata Perempuan berhubungan dengan kata ’Ampu’ yang berarti ’Sokong, Penyangga.’ Kata Perempuan memiliki energi yang positif: asertif dan aktif.

Tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan suatu bahasa dipengaruhi oleh budaya dan strata sosial. Maka menjadi relevan jika kita menyebut bahwa hierarki dan patriarki di meja makan – yang dianggap sebagai budaya –  bahkan bisa melahirkan sebuah kosakata baru yang kini akrab di lidah kita.

Sebelum begitu jauh bicara soal konsep kesetaraan gender di ruang-ruang publik yang lebih luas, mari menengok ke dalam lingkup yang paling dekat dengan diri kita. Masih adakah patriarki di meja makan rumah kita? []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Istri Salehah, Pelita di Jalan Dakwah

Rekomendasi untuk Anda

Khadijah
Indonesia
Internasional
Palestina