Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka bila pada usia sepuluh tahun tidak mengerjakan shalat, serta pisahkanlah mereka di tempat tidurnya.” (HR Abu Dawud).
Hadis di atas bisa dimaknai “jika perintah shalat pada anak berusia 7 tahun, maka sebelum usia itu (7 tahun) berarti anak sudah harus diberi pelajaran terkait dengan shalat.”
Mulailah dengan melatih dan membiasakan untuk diajak ke masjid melaksanakan shalat, diberi nasehat tentang hakikat dan fungsi shalat, serta yang pokok adalah mengajarkan bacaan-bacaan shalat terutama bacaan Al Qur’an.
Baca Juga: Hijrah Hati dan Diri: Panduan Syariah untuk Transformasi Spiritual dan Pribadi
Jika sudah berusia 10 tahun tidak mengerjakan shalat, maka pukullah anak. Ini artinya, ajarkan terlebih dahulu lalu ingatkan dengan tegas jika masih juga belum melaksanakan shalat jika sudah berusia 10 tahun. Begitulah pentingnya shalat.
Menyaksikan kedua orang tuanya melakukan shalat lima waktu setiap hari sejak dini, membuat anak termotivasi untuk meniru. Ketika anak memasuki usia sekolah, usia 7 tahun, maka mulailah anak untuk siap mamasuki masa mempelajari tata cara shalat yang benar.
Sungguh aneh jika ada orang tua yang tidak pernah mengajak anaknya shalat berjama’ah di masjid atau tidak pernah menuntun anaknya menghadiri majelis taklim. Mengapa? Karena orang tuanya sendiri tidak ke masjid dan tidak ke tempat taklim?
Nah, ketika anak berusia 10 tahun, tapi belum juga mau mengikuti perintah shalat, maka pukullah. Ungkapan “pukullah” harus secara hati-hati dan arif. Karena makna “pukullah” di sini tentu bukan melakukan hukuman dengan kekerasan secara fisik yang menyakitkan dan melukai anak. Tetapi orang tua harus menunjukkan ketidaksenangan dan konsekuensi yang sangat tegas saat anak menolak shalat.
Baca Juga: Aksi Peduli Palestina: Cara Efektif dan Nyata Membantu Sesama yang Membutuhkan
Al Qur’an bagi Anak
Anak merupakan titipan Allah kepada setiap orang tua. Karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyebutkan, “Tidaklah seorang yang dilahirkan itu kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah, kemudian kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani atau Majusi.” (Muttafaq ‘Alaih).
Ketika anak sudah mampu dan berhasil dalam belajar shalat, maka hal itu merupakan sebuah prestasi baginya. Sebagai orang tua, selayaknyalah kita memberikan penghargaan. Penghargaan tidak hanya diberikan atas prestasi akademik formal sekolah. Tetapi hendaknya penghargaan diberikan ketika anak mengerjakan shalat lima waktu atau mampu membaca apalagi menghafal ayat-ayat Al Qur’an. Itu sebagian dari Pendidikan Al Qur’an Usia Dini (PAUD).
Sekali lagi, setiap orang tua Muslim pasti bahagia jika anak-anaknya mampu membaca dan menghafal Al Qur’an dengan fasih dan lancar. Sebagai motivasi bagi para orang tua, maka lihatlah tarikh bagaimana Imam Syafi’i mampu hafal Al-Quran ketika berusia 7 tahun, Imam Ath-Thabari hafal Al-Quran usia 7 tahun, Ibnu Sina, Muslim pakar kedokteran, hafal Al-Quran umur 5 tahun, Ibnu Khaldun, pakar sosilogi hafal Al-Quran usia 7 tahun.
Baca Juga: Enam Cara Mudah Bantu Palestina
Demikian pula pemimpin Muslim, Umar bin Abdul Aziz, hafal al-Qur’an ketika masih kecil. Ibnu Hajar Al-Atsqalani hafal Al-Qur’an ketika berusia 9 tahun, dan lainnya. Tak heran jika Imam Al-Ghazali pernah berkata, kalau ingin melihat masa depan umat, maka tengoklah bagaimana generasi belia hari ini.
Waktu usia dini anak, terutama di bawah 7 tahun sebagaimana hadis, anak perlu dibekali sebanyak mungkin Al Qur’an. Perdengarkan sebanyak mungkin murottal Al Qur’an, orang tuanya membaca Al Qur’an di rumah dengan suara nyaring sehingga didengar anak, dan sebagainya.
Bermain dan Bernyanyi?
Pertanyaannya adalah, apakah para orang tua sudah memiliki niat yang kuat agar anak-anaknya dapat membaca dan menghafal Al Qur’an dan menjadi generasi penegak shalat? Atau sebaliknya, anak-anaknya justeru lebih banyak diajari bermain, bernyanyi, main game, nonon tv, main jejaring sosial dan gadget-an?
Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?
Apakah anak-anak Muslim akan mengikuti arahan Piaget, yang menganjurkan pendidikan bermain bagi anak? Ataukah mengikuti pakar psikologi anak, agar anak mengikuti pendidikan musik dan bernyanyi untuk memperkuat sensitivitas psikomotorik dan afektifnya?
Atau kita serahkan gadget pada anak agar tidak menangis? Lalu mengajai anak dengan media sosial yang justeru membuat anak tidak berjiwa sosial lagi tapi malah berjiwa kerdil dan picik?
Apakah kita berharap anak-anak kaum Muslimin dapat membaca dan menghafal Al Qur’an sambil mengajarinya banyak bermain, bermusik dan bernyanyi? Lalu bagaimana dengan tarbiyah PAUD dan TK di tempat kita? Masihkah mereka para gurunya mengajari anak untuk banyak bernyanyi, bermusik campur baur dengan menghfal Al Qur’an?? Jika itu yang terjadi, sulit rasanya bagi kita untuk mendapatkan anak menjadi penghafal Al Qur’an sejak dini.
Kita mestinya malu terhadap para pejuang Muslim terdauhulu, yang amat memperhatikan Pendidikan Al Qur’an Usia Dini (PAUD). Sehingga terlahir generasi-generasi pembaca, pencinta dan penghafal dan pengamal Al Qur’an, aamiin. (P4/R02)
Baca Juga: Suriah dan Corak Bendera yang Berganti
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-20] Malu Bagian dari Iman