Juba, Sudan Selatan, 22 Rajab 1434/1 Juni 2013 (MINA) – Seorang pejabat PBB mengatakan Jumat (31/5), bahwa lebih dari 23.500 orang telah melarikan diri dari pertempuran di negara bagian Jonglei, Sudan Selatan, untuk mencari perlindungan ke negara tetangga Uganda, Kenya dan Ethiopia.
Tim Irwin, juru bicara badan pengungsi PBB di Sudan Selatan, mengatakan sebagian besar pengungsi melarikan diri ke Ethiopia.
Irwin juga mengatakan bahwa sejak awal Mei sekitar 16.000 orang telah tiba di Ethiopia, 5.000 di Kenya dan 2.500 di Uganda. Sebagian besar mereka yang melarikan diri adalah perempuan dan anak-anak, Independent Online melaporkan yang dikutip Mi’raj News Agency (MINA).
“Sering kali orang akan tinggal di belakang untuk melindungi tanah dan mengurus ternak,” kata Irwin.
Baca Juga: Wabah Kolera Landa Sudan Selatan, 60 Orang Tewas
Pertempuran terbaru dimulai dua bulan lalu setelah pemerintah Sudan Selatan melancarkan operasi untuk menghancurkan perlawanan 10 bulan kelompok gerilyawan yang dipimpin oleh David Yau Yau, mantan kolonel militer Sudan Selatan. Awal bulan ini 24 orang tewas dalam pertempuran antara militer Sudan Selatan dan para pejuang.
PBB mengatakan bahwa ribuan warga sipil mengungsi dari rumah mereka di negara bagian Jonglei, di Pibor County tidak memiliki akses ke pelayanan kemanusiaan.
Sudan Selatan menuduh Sudan mendukung gerakan perlawanan Yau Yau dalam rangka untuk memblokir rencana Sudan Selatan untuk membangun sebuah pipa minyak sendiri melalui negara bagian Jonglei dan Ethiopia. Sudan Selatan saat ini harus mengekspor minyak melalui pipa yang dimiliki oleh Sudan. Membangun saluran pipa baru akan mengurangi ketergantungan pada Sudan.
Sudan Selatan kembali memproduksi minyak pada bulan April tahun ini, 16 bulan setelah shutdown yang disebabkan oleh perselisihan dengan Sudan atas biaya transit minyak.
Baca Juga: Erdogan Umumkan ‘Rekonsiliasi Bersejarah’ antara Somalia dan Ethiopia
Namun Sudan telah berulang kali membantah bahwa mereka tidak memiliki hubungan dengan gerakan perlawanan Yau Yau.
Sudan Selatan memisahkan diri dari Sudan pada tahun 2011 di bawah perjanjian damai 2005 yang mengakhiri perang selama beberapa dasawarsa, tapi tetap atas sengketa perbatasan, demiliterisasi dan berbagi pendapatan minyak.
Negara bagian Jonglei adalah negara terbesar di Sudan Selatan, memiliki sejarah panjang kekerasan antar-komunal yang sebagian besar terkait dengan perampokan ternak. Sejak Sudan Selatan mendeklarasikan kemerdekaan dari Sudan, serangan ternak menjadi lebih sering dan mematikan.
Menurut laporan PBB yang dirilis tahun lalu, ketidakstabilan di negara bagian Jonglei dan Sudan Selatan secara keseluruhan karena akses senjata mudah. Sebuah kampanye perlucutan senjata dari pemerintah yang diluncurkan di Jonglei tahun lalu justeru meningkatkan ketidakamanan dan disertai pelanggaran terhadap warga sipil. (T/P09).
Baca Juga: Afsel Jadi Negara Afrika Pertama Pimpin G20
Mi’raj News Agency (MINA).