Jenewa, 14 Rabi’ul Akhir 1438/13 Januari 2016 (MINA) – Utusan PBB untuk Suriah Staffan de Mistura mengatakan, pertemuan Kamis (12/1) di ibukota Turki dan Rusia bertujuan mencegah eskalasi militer berbahaya dan membantu mengakhiri krisis air yang mempengaruhi jutaan orang di Damaskus, ibukota Suriah.
Menurut PBB, pertempuran di wilayah lembah Wadi Barada dekat Damaskus telah merusak infrastruktur air dan membuat sekitar 5,5 juta orang di ibukota dan sekitarnya menghadapi kekurangan air.
“Dua pertemuan sedang berlangsung baik di Ankara dan sekarang mungkin di Moskow juga, yang akan membahas aspek ini, karena air di Damaskus sangat penting,” kata de Mistura kepada wartawan di Jenewa, Kamis. Demikian Nahar Net memberitakan yang dikutip MINA.
Baca Juga: Sempat Dilaporkan Hilang, Rabi Yahudi Ditemukan Tewas di UEA
Dia mengatakan bahwa PBB telah diberitahu bahwa Pemerintah Damaskus telah mencapai kesepakatan dengan lima desa di Wadi Barada untuk memecahkan masalah, tapi dua desa menolak pengaturan, termasuk pihak yang menguasai sumber air utama.
“Oleh karena itu, ada bahaya, bahaya besar, bahaya ini dapat berkembang menjadi eskalasi militer lebih lanjut,” kata de Mistura.
Pada hari Rabu (11/1), gubernur provinsi di Wadi Barada mengatakan bahwa pemerintah Suriah telah mencapai kesepakatan dengan tentara untuk memasuki area yang dikuasai oposisi di dekat Damaskus dan memulihkan pasokan air di ibukota.
Namun, sumber oposisi membantah adanya kesepakatan.
Baca Juga: Israel Perintahkan Warga di Pinggiran Selatan Beirut Segera Mengungsi
Sebelumnya, Pemerintah Suriah menuduh oposisi di Wadi Barada, termasuk mantan afiliasi Al-Qaeda, Fateh Al-Sham Front, sengaja memotong pasokan air ke ibukota.
Namun, oposisi mengatakan, serangan pasukan pemerintah yang merusak fasilitas pemompa dan menyangkal keberadaan Fateh Al-Sham yang sebelumnya dikenal sebagai Al-Nusra Front.
Organisasi pemantau Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR) mengatakan bahwa bentrokan yang berlangsung pada Kamis di Wadi Barada adalah antara pasukan pemerintah yang didukung oleh milisi Hizbullah Lebanon melawan pasukan oposisi.
Pertempuran itu terjadi di bawah rapuhnya gencatan senjata nasional yang ditengahi oleh Turki pendukung oposisi dan Rusia pendukung Pemerintah Suriah pada 30 Desember 2016.
Baca Juga: Lima Paramedis Tewas oleh Serangan Israel di Lebanon Selatan
Gencatan senjata tidak termasuk Fateh Al-Sham dan kelompok Islamic State (ISIS).
Gencatan senjata telah menciptakan ketenangan di sebagian besar negara, tapi kekerasan sporadis terus terjadi di beberapa daerah. (T/RI-1/RS2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Militer Israel Akui Kekurangan Tentara dan Kewalahan Hadapi Gaza