Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pelajaran Berharga dari Tragedi Banjir Bali: Sesajen Bukan Penolong, Allah-lah Pelindung

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 1 menit yang lalu

1 menit yang lalu

0 Views

Sesajen yang hanyut di genangan banjir seharusnya menjadi simbol kegagalan keyakinan palsu. Sementara doa dan istighfar yang terucap dari hati ikhlas, meski tak terlihat, justru menjadi benteng terkuat manusia.(Foto: ig)

AIR bah itu datang tiba-tiba. Langit Bali yang awalnya cerah, berubah kelabu. Hujan deras turun berjam-jam tanpa henti, merendam rumah, sawah, dan jalanan. Jerit tangis terdengar di mana-mana, orang-orang berlarian menyelamatkan diri, sementara sebagian lain hanya bisa pasrah menatap harta benda hanyut terbawa arus. Inilah wajah alam ketika murka, ketika manusia sadar bahwa kekuatannya nyaris tak berarti apa-apa.

Di antara genangan lumpur, masih ada yang meletakkan sesajen di tepi jalan, berharap alam menjadi tenang. Ada pula yang menyalakan dupa, memohon kepada roh yang diyakini bersemayam di pohon besar atau batu karang. Namun, derasnya arus tak sedikitpun berhenti. Sesajen itu basah, hanyut, hilang tanpa bekas. Banjir seolah berkata, “Aku tidak tunduk pada sesajen. Aku tunduk pada Allah semata.”

Dalam kondisi genting itu, barulah hati manusia diguncang. Ingatan kepada Sang Pencipta datang terlambat, setelah semua upaya manusia tak lagi berarti. Padahal Allah telah berfirman: “Dan jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia…” (QS. Yunus: 107). Betapa jelas, bahwa hanya Allah tempat bergantung, bukan sesajen, bukan persembahan, bukan simbol-simbol tak bernyawa.

Ilmu pengetahuan sendiri tidak pernah mengenal “sesajen” sebagai penolak bencana. Para ahli meteorologi dan hidrologi menjelaskan banjir sebagai akibat curah hujan ekstrem, alih fungsi lahan, dan kerusakan ekosistem. Pohon-pohon ditebang, tanah kehilangan daya serap, sungai tak mampu lagi menampung air. Semua sebab itu nyata, bisa diukur, bisa dicegah. Maka sesajen bukan solusi, melainkan ilusi.

Baca Juga: “Gaza Lebih Berharga daripada Segalanya,” Kisah Warga Tunisia yang Menyumbangkan Kapalnya untuk Global Sumud Flotilla

Al-Qur’an jauh lebih dulu menjelaskan hukum alam ini. Allah berfirman: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia…” (QS. Ar-Rum: 41). Bukankah banjir yang melanda Bali hari ini bukti nyata dari kerusakan itu? Ketika manusia mengabaikan amanah menjaga alam, maka balasan Allah hadir agar kita kembali pada-Nya.

Sayangnya, sebagian orang masih menutup mata. Mereka menyalakan dupa, menabur bunga, atau menaruh sesajen, seolah itu bisa mengendalikan alam. Padahal, logikanya sederhana: jika sesajen benar mampu menahan bencana, mengapa rumah tetap terendam? Jika dupa bisa menenangkan amarah air, mengapa tangis korban tetap pecah? Sesajen hanyalah benda mati, tak mampu menolong bahkan dirinya sendiri.

Rasulullah SAW telah mengajarkan doa, istighfar, dan shalat sebagai benteng menghadapi musibah. Beliau bersabda: “Barangsiapa yang senantiasa beristighfar, niscaya Allah akan memberikan jalan keluar dari setiap kesusahan, kelapangan dari setiap kesempitan…” (HR. Abu Dawud). Di sinilah letak perbedaan: doa menghadirkan kekuatan, sesajen menghadirkan kesia-siaan.

Dalam ilmu psikologi bencana, keimanan yang kuat terbukti memperkuat daya tahan mental. Korban yang bersandar kepada Allah lebih tenang, lebih siap bangkit, dan lebih cepat pulih. Sebaliknya, mereka yang menggantungkan nasib pada benda akan larut dalam putus asa saat bencana melanda. Tauhid bukan hanya akidah, tetapi juga obat bagi jiwa.

Baca Juga: Ketika Doa dan Air Mata Menyatu di Baitullah, Kisah Perjalanan Umrah Arsih Fathimah

Bali yang indah kini basah oleh air bah. Namun, lebih penting dari genangan di jalan adalah genangan dalam hati: masihkah kita percaya bahwa ada selain Allah yang bisa menolong? Ataukah banjir ini cukup keras mengetuk kesadaran, bahwa hanya Allah-lah pelindung sejati?

Firman Allah menegaskan: “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi…” (QS. Al-A’raf: 96). Maka jalan keluar bukanlah sesajen, melainkan iman dan takwa. Inilah kunci keselamatan, baik dari bencana dunia maupun siksa akhirat.

Sesajen yang hanyut di genangan banjir seharusnya menjadi simbol kegagalan keyakinan palsu. Sementara doa dan istighfar yang terucap dari hati ikhlas, meski tak terlihat, justru menjadi benteng terkuat manusia. Allah berfirman: “Dan orang-orang yang kamu seru selain Allah tidak mampu menolongmu, dan tidak (pula) menolong diri mereka sendiri.” (QS. Al-A’raf: 197).

Banjir Bali harus menjadi momentum perubahan. Bukan sekadar membangun kembali rumah yang roboh, tetapi membangun kembali akidah yang rapuh. Bukan hanya memperbaiki drainase, tetapi juga memperbaiki hati agar lebih tunduk pada Sang Pencipta.

Baca Juga: Ulama dan Pena: Jihad Ilmiah yang Mengubah Dunia

Ketika air surut, ketika lumpur dibersihkan, jangan biarkan hati kembali kotor oleh syirik. Jadikan musibah ini sebagai tanda cinta Allah, yang mengingatkan hamba-Nya agar tidak tersesat lebih jauh. Karena sekeras apapun manusia berusaha, hanya Allah yang mampu melindungi.

Sesajen bukan penolong, Allah-lah pelindung. Banjir Bali bukan akhir, tetapi awal kesadaran. Mari kembali pada tauhid, karena hanya dengan itulah kita selamat—di dunia maupun di akhirat.

Semoga bencana ini menjadi titik balik. Dari keyakinan palsu menuju iman sejati, dari sesajen menuju doa, dari persembahan pada alam menuju sujud hanya kepada Allah. Karena sesungguhnya, pelindung kita hanyalah Dia, Rabbul ‘Alamin.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Salahuddin al-Ayyubi: Sang Penakluk yang Dikenang Lawan dan Kawan

Rekomendasi untuk Anda